Lima orang itu berdiri dengan gelisah setelah Wilfred memanggil mereka ke TKP. Terlebih ketika Agatha memandang mereka dari ujung kepala sampai ujung kaki, seolah melemparkan tatapan menuduh. Setelah mengitari lima orang itu, Agatha kembali duduk di kursi kerja Harold Stanley.
“Katakan alasan yang tepat kenapa bukan kalian pelakunya.” Agatha menyatukan jari-jarinya, menatap lurus ke lima orang itu.
“Kau menuduh kami yang melakukannya?” Si tukang kebun–Arnold tampak sewot. Wajahnya merah padam ketika perintah Agatha barusan seakan mengatakan mereka pelakunya.
“Ini tidak adil. Kami pekerjanya yang disalahkan!” Si pelayan wanita–Erina berusaha membela diri.
“Cukup katakan alasan. Aku tidak butuh bantahan kalian.” Agatha mulai mengeras. Tatapannya berubah tajam, seakan ingin menguliti lima orang itu sekarang.
“Aku tertidur dan bangun ketika Eliza membangunkan kami.” James si koki angkat bicara. Ia maju beberapa langkah. “Siapa sangka Tuan Stanley akan dibunuh? Dia adalah orang yang baik. Aku sangat menghormatinya. Hubungannya dengan para pelayan sangat baik, hanya kebiasaan buruk memanggil di tengah malam yang sedikit mengganggu. Aku bekerja dengannya hampir sepuluh tahun, tapi aku belum pernah melihatnya marah atau membentak kami.”
“Baik, cukup. Selanjutnya.” Agatha menyela, lalu beralih pada lelaki muda di sebelah kanan James.
Pelayan bernama Locke itu maju beberapa langkah. “Seperti James, aku menyukai Tuan Stanley yang lembut dan ramah. Bahkan tak segan memberi kami tip tambahan ketika selesai bekerja. Tidak ada musuh, dan menurutku, ini hanyalah pembunuhan acak sama seperti tiga orang lainnya.”
“Cukup.” Agatha menyela. Ia memejamkan mata, otaknya berputar menyusun bayangan kejadian pembunuhan itu.
“Jadi? Bagaimana menurut Anda?” Wilfred menuntut jawaban dari Agatha.
Perempuan itu mengangguk dengan mata terpejam, lalu membuka mata. Ia berdiri, lalu berjalan ke tengah-tengah ruangan. “Tadi malam, Tuan Stanley pulang sekitar tengah malam menggunakan taksi. Eliza yang pertama kali membukakan pintu karena kamarnya dekat dengan pintu masuk, lalu Tuan Stanley pergi ke kamarnya setelah meminta Eliza membuatkan teh.”
Agatha berhenti sebentar, ia mendekati mantel dan topi yang masih tergantung rapi. “Ketika Tuan Stanley masuk, ia menemukan pelaku sedang duduk di kursi itu.” Ia menunjuk kursi yang tadi ia duduki. “Mereka berbincang kecil seraya Tuan Stanley menggantungkan topi dan mantelnya.”
Orang-orang yang ada di sana terperangah mendengar penjelasan Agatha. “Jadi Tuan Stanley tahu akan dibunuh?”
Agatha menggeleng. “Tidak. Ia tidak tahu.”
“Lalu?” Wilfred memandangnya bingung.
“Ketika Tuan Stanley sibuk dengan mantel dan topinya, pelaku itu berjalan mendekat dengan belati di tangan kirinya, lalu menusukkan belati itu dengan tangan kanan tepat ketika Tuan Stanley berbalik, sedangkan tangan kirinya membungkam erangan Tuan Stanley.”
“Bagaimana dengan kesaksian Nona Eliza? Bukankah jarak waktunya sangat dekat?” tanya Wilfred masih tak percaya.
“Aku sudah mengukur jarak dari lantai dasar ke lantai ini, lalu kembali lagi seraya mengambil kunci cadangan dan membuat teh. Itu sekitar sepuluh menit, benar, Nona Eliza?” Agatha menoleh pada Eliza yang gemetaran.
Pelayan itu mengangguk. “Tepatnya dua belas menit.”
“Itu cukup untuk seseorang menusukkan belati, lalu membungkamnya dengan kain berisi racun agar mempercepat kematian. Pelaku berulang kali menusukkan belati, lalu meninggalkan bukti sebagai isyarat menantang polisi.
Semua yang berada di ruangan itu terperanjat. Eliza yang tak percaya menghampiri Agatha. “Bagaimana dengan kuncinya? Semua jalan keluar terkunci ketika aku menemukan tubuh Tuan Stanley! Itu tidak mungkin! Aku yakin tidak melihat orang keluar dari kamarnya!”
“Apa kau yakin?” Agatha menyeringai. “Ketika seseorang menemukan orang mati, maka ia akan terkejut dan terfokus pada mayat itu. Di saat itulah pelaku memanfaatkan kesempatan untuk kabur, lalu berbaur ketika Eliza membangunkan pelayan lain.”
Agatha menoleh pada para pelayan yang berbaris. “Pelakunya salah satu dari mereka.”
Raut wajah mereka berubah, menatap Agatha tidak terima. “Tunggu!” James angkat bicara. “Ini tidak masuk akal! Itu artinya Tuan Stanley membiarkan pelaku itu duduk dan berbincang? Apa hal itu tidak membuat Tuan Stanley curiga?”
Agatha menggeleng. “Menurut kesaksian beberapa pelayan tentang kepribadiannya, korban memiliki hubungan yang baik dengan para pelayannya. Pastinya, ia sangat memercayai kalian dan membiarkan kalian berbincang meski sudah larut malam.”
“Jadi? Siapa pelakunya?” Gerard bertanya seraya melipat kedua tangan dan bersandar pada dinding. Ia menatap Agatha lurus, menuntut perempuan itu untuk segera menjawab.
“Seseorang dengan gerakkan yang cepat, tenaga yang kuat, lalu kemampuan bicara yang baik.” Agatha memperhatikan pelayan-pelayan itu seraya menyeringai. Ia mengangkat tangannya, menunjuk satu-satu pelayan itu bergantian, lalu berhenti pada James. “Kau adalah pelakunya, Tuan Koki.”
“Apa?! Ini tidak benar! Kenapa aku melakukan ini?” James tampak panik, wajahnya memerah dengan rahang yang mengeras. Lelaki itu menatap Agatha dengan tajam, menunjukkan penolakan yang luar biasa.
“Mudah saja. Kau terbiasa menggunakan pisau di dapur, menusuk seorang lelaki paruh baya tentu tidak akan menyulitkanmu. Gerakkanmu sebagai koki juga harus cepat dalam menyajikan makanan, tapi yang membuatku yakin kau pelakunya adalah ….” Agatha berhenti sejenak, lalu menghampiri James. Ia menarik paksa lengan James yang sejak tadi disembunyikan di saku celana dan menarik kain yang menutupi pergelangan James. Tampak bekas cakaran yang memerah, menandakan luka itu belum lama didapatkan. Ada beberapa bintik-bintik putih di sekitaran pergelangan tangan dan penemuan itu membuat Agatha menyeringai.
“Tanda yang sama dengan tanda di kuku tangan kanan korban. Ini cukup untuk menerangkan bahwa kau pelakunya.” Agatha melepaskan tangan James, lalu membiarkan Wilfred dan dua petugas lain menahan lelaki itu.
Semua pelayan itu terkejut. Bagaimanapun mereka tahu bahwa James adalah koki andalan Tuan Stanley. Lelaki itu sangat menghormati Tuan Stanley, tapi kenapa?
“Bisa-bisanya kau melakukan ini, BAJINGAN!” Locke sontak menarik kerah pakaian James, lalu segera ditahan oleh Wilfred. “Tuan Stanley telah menyelamatkan nyawamu, tapi kau masih melakukan ini, HAH?!”
James menyeringai, lalu dengan cepat menarik revolver yang ada di saku petugas di sebelahnya. Ia menarik pelatuk ke langit-langit, lalu mundur beberapa langkah. Wilfred dan Gerard sontak menodongkan senjata pada James, namun lelaki itu terus mundur sehingga menabrak jendela.
James tersenyum pada Agatha. “Ternyata gosipmu itu memang benar. Aku terkejut kau bisa mengetahuinya. Tapi sayangnya, menangkapku itu tidak mudah.”
James membuka jendela dengan cepat, lalu melompat ke bawah sebelum Wilfred dan petugas lainnya bergerak. Wilfred menengok ke luar jendela, lalu memerintahkan petugas yang berjaga di depan untuk mengejar James.
“Kita harus bergerak cepat!” Gerard memerintah, lalu segera bergegas ke lantai dasar bersama Wilfred dan Agatha.
Dua lelaki itu berlari dengan cepat mengejar James yang berada jauh di depan, sedangkan Agatha berlari seraya memperhatikan sekitar. Ia mempelajari rute-rute, kemudian memotong jalan. Perempuan itu melalui jalan kecil, lalu tepat ketika ia sampai di ujung jalan, matanya mendapati James sedang berlari ke arahnya.
Kejadiannya terjadi begitu cepat, sehingga membuat Wilfred atau Gerard hampir tidak menyadari bahwa perempuan itu disandera. Tubuh kecil Agatha terangkat, membuat perempuan itu berjinjit. Ia melirik pistol yang menempel di pelipisnya dari ekor mata, sedangkan James melotot pada Gerard dan Wilfred disertai senyum penuh kemenangan. James memaksa Agatha mengikuti beberapa langkah ke belakang, menjauh dari Wilfred dan Gerard yang tampak mengangkat kedua tangannya.
“Jika kalian bergerak, maka perempuan ini akan mati.” Nada lelaki itu penuh kemenangan, sementara Gerard dan Wilfred tampak berang, memelototi James penuh amarah.
Tepat ketika James hendak melarikan diri, seorang lelaki berkulit putih porselen menahan pergelangan tangan James yang memegang pistol, lalu menarik tubuh James untuk berputar dan menjatuhkannya. Selama satu-dua detik Wilfred, Gerard, maupun Agatha terdiam bagaikan patung. Sambil meraung buas James berhasil membebaskan diri dari cengkeraman lelaki berkulit putih porselen dan hendak melarikan diri. Tapi sebelum ia sempat meloloskan diri, Gerard dan Wilfred sudah menerkamnya bagai anjing-anjing pemburu. Lelaki diborgol, lalu pergulatan yang hebat pun terjadi. Orang itu begitu kuat dan buas sehingga Wilfred dan Gerard hampir-hampir tak mampu menghadapinya. Ia memilikitenaga di luar kemampuan manusia biasa, seperti orangyang terserang epilepsi. Wajah dan tangannya dipenuhi luka-luka akibat usahanya menerobos jendela tadi, namun hilangnya darah seakan tidak mengurangi perlawanannya.
Baru setelah lelaki berkulit putih porselen itu melepas kain yang menutpi lehernya dan setengah mencekiknya, James menyadari bahwa perlawanannya tidak membuahkan hasil.
“Ini bukan salahku! Semua ini adalah rencana lelaki itu!” James berseru seraya berusaha melonggarkan cekikan kain lelaki berkulit putih porselen itu.
Mereka mengernyit, lalu Agatha memberi isyarat agar melonggarkan cekikannya. Ia menghampiri James seraya melepas pisau kecil dari bawah sepatunya. “Siapa lelaki yang kau maksud?” Agatha bertanya seraya mengarahkan pisau itu ke leher James.
“Brook! Dialah yang–“
Pistol menyalak sebelum James berhasil menyelesaikan kalimatnya. Peluru itu melesat tepat ke kepala James dan hampir mengenai Agatha jika lelaki berkulit putih itu tidak menarik ke sisinya. James ambruk dengan kepala bersimbah darah dan mata yang melotot. Jantung Agatha berdetak cepat, lalu tanpa sadar ia mundur beberapa langkah. Wilfred dan Gerard sontak menoleh ke sumber suara, namun mereka tidak melihat pelakunya.
Tak lama suara sirine mobil polisi terdengar dan beberapa petugas medis tampak memindahkan tubuh James dengan tandu yang dibawa empat orang. Wilfred bergegas masuk ke dalam mobil diikuti beberapa petugas lain, sedangkan Agatha masih mematung. Matanya menjelajah. Ia memperhatikan setiap sudut sekitar, lalu hendak mencari pelaku, namun Gerald menahannya.
“Itu berbahaya. Kita perlu investigasi lebih lanjut.”
Agatha mengigit bibir bawahnya, rasa tidak puas muncul dalam dirinya. Dengan terpaksa perempuan itu menuruti Gerald untuk masuk ke dalam mobil.
“Siapa namamu?” tanya Gerard pada lelaki putih porselen yang berdiri kaku di sebelahnya.
Lelaki itu menoleh. “Noct Winnight.”
“Ah. Nama yang unik.” Gerard mengeluarkan kartu nama dari saku jas, lalu memberikannya pada Noct. “Datanglah ke alamat ini. Ada yang ingin kuberikan padamu sebagai tanda terima kasih kejadian tadi.”
Noct menerima kartu nama itu, lalu membaca nama belakang Gerard. Machmillan. Itu artinya, perempuan itu adalah Agatha. Ia tersenyum, lalu memberi hormat. Gerard menanggapinya dengan senyuman, lalu menyusul Agatha masuk ke mobil.
Dari balik kaca mobil, Agatha memperhatikan lelaki putih porselen yang tampak berjalan santai seraya memakai syalnya kembali. Wajah lelaki itu tampak asing, tidak seperti orang Inggris kebanyakan. Garis wajahnya tegas, namun raut wajah lelaki itu tampak datar seakan tidak memiliki emosi. Meski begitu, Agatha sedikit terkejut lelaki itu mau menolongnya tadi. Perempuan itu mendengus, lalu memejamkan mata seraya melipat kedua tangannya.
***
@niel54 Makasihhhh
Comment on chapter Prolog