Strand, London. Pukul 23.12
Harold Stanley menatap nanar foto keluarga kecil di genggamannya. Anak di tengah-tengah orangtuanya tersenyum lebar, seakan kembali menghantamnya dengan dosa di masa lalu. Ia menarik napas panjang, lalu kembali memasukkan foto itu ke saku jasnya, kemudian melangkah keluar gedung firma hukumnya. Ketika taksi melintas, ia menyetop taksi, kemudian masuk dan menyebutkan alamat rumah yang ia tempati.
Lelaki itu terdiam selama perjalanan. Sebuah rutinitas yang dilakukan sejak dua puluh tahun. Tepatnya setelah kegagalan pertamanya dalam menyelamatkan nyawa seseorang.
Jalanan London saat itu tampak sepi. Hanya beberapa manusia yang melintas. Harold memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang menggebu saat ini. Bahkan kasus itu belum berhasil dipecahkan meski ia telah menyelidikinya selama ini.
Taksi itu berhenti di depan rumah bercat putih dengan pintu coklat tua. Setelah membayar taksi, ia turun, lalu membuka gerbang hitam. Ia mengetuk pintu beberapa kali, hingga akhirnya seorang pelayan membukakan pintu.
“Buatkan aku teh dan antarkan ke kamar,” ucapnya pada pelayan, lalu bergegas ke kamarnya.
Pelayan itu beranjak ke dapur seraya menggerutukan sikap majikannya. Demi waktu tidurnya yang berharga, ia membuat teh itu dengan cepat, lalu mengantarkannya ke lantai dua. Pelayan itu mengetuk pintu beberapa kali, namun tidak ada jawabannya. Ia merotasikan bola matanya kesal, lalu kembali mengetuk pintu sedikit kuat. Tetap tidak ada jawaban.
Ia memberanikan diri untuk memutar kenop pintu, tapi terkunci.
“Oh Tuhan! Jangan bilang lelaki tua ini tertidur!” Pelayan itu menggerutu lirih, lalu kembali turun ke lantai dasar untuk mengambil kunci cadangan dan memanggil pelayan lain untuk membantunya. Ia kembali naik, lalu meletakkan teh itu di atas meja kecil di lorong kamar dan membuka pintunya.
Tepat ketika pintu terbuka, bau anyir darah menyeruak. Penasaran, ia melangkah masuk seraya menutup hidung dengan telapak tangan.
“Tuan Stanley?” panggilnya sedikit khawatir.
Tidak ada jawaban.
Tepat ketika membuka tirai tempat tidur, matanya membulat, lalu melangkah mundur. Napasnya terengah-engah, darah seakan mendesir di dalam tubuh si pelayan. Detik kemudian, ia menjerit seraya menangkupkan kedua tangannya di wajah.
Harold Stanley telah dibunuh.
***
Di tengah ruangan bercat putih dengan ukiran-ukiran emas itu, perempuan bersurai coklat muda tampak duduk bersila dengan buku tebal bersampul merah darah di pangkuan. Mata tajamnya membaca jeli tiap kata yang tertulis. Gaun megar ala Victoria berwarna putih bermotif hitam tampak berantakan dibuatnya. Tangan kanannya memangku dagu, sedangkan tangan kirinya membalikkan halaman buku, lalu berpikir sejenak. Ia menoleh ke arah pintu ketika terdengar suara hak sepatu yang perlahan mendekat, lalu berhenti di depan pintu ruangan.
Perempuan itu menghela napas, lalu menutup buku dan berdiri. Ia melangkah menuju rak buku tua yang tak jauh darinya, meletakkan kembali buku itu ke tempat kosong. “Tidak ada gunanya Anda berdiri di sana, Tuan Machmillan.”
Pintu terbuka. Lelaki berusia lima puluhan dengan setelan formal dan topi baret khas polisi Inggris itu masuk. “Instingmu selalu tajam, Agatha.”
Perempuan yang dipanggil Agatha itu tersenyum miring, lalu ia berdiri menghadap lelaki itu. “Ada kasus apa hari ini? Aku pikir, aku mulai bosan sekarang. Tidak ada buku kasus yang lebih menarik dari milik detektif candu bertopi. Sepertinya, detektif-detektif Inggris benar-benar bodoh sekarang.”
“Tidak ada gunanya mengumpat mereka. Mereka memang mahluk bodoh yang perlu waktu lama untuk memecahkan kasus. Bahkan Scotland Yard sudah kehilangan kejayaannya.” Lelaki itu tersenyum, lalu menghampiri Agatha dan memberikan sepucuk surat. Surat yang mengharapkan bantuan Agatha untuk ikut andil dalam penyelidikkan pembunuhan yang telah terjadi berturut-turut dalam sebulan ini.
Agatha mengambil surat itu, lalu membaca isinya sekilas. Ia menghela napas. Ini sudah surat yang keempat dengan isi serupa dalam minggu ini. Ia sadar kejeniusannya dibutuhkan, tapi ia tidak tertarik dengan pembunuhan yang dilakukan berulang kali dengan cara yang sama. Membosankan. Tapi tidak ada salahnya untuk datang dan meledek Scotland Yard sekali lagi, termasuk meledek lelaki tua di hadapannya ini.
“Baiklah. Aku akan datang, tapi tolong jangan urusi aku secara ketat,” ucapnya seraya melipat kembali suratnya.
“Setidaknya kau butuh satu pengawal.”
Agatha menggeleng keras. “Jangan atur aku seolah aku adalah anak kandungmu, Tuan Gerald Machmillan. Kau terapkan saja aturan bodoh itu pada anak-anakmu!”
Gerald menggedikkan bahunya, lalu tersenyum miring. “Bagaimana jika kau memilih sendiri?”
“Tetap tidak!” Suara perempuan itu meninggi. “Pengawal-pengawal itu terlalu bodoh untukku! Bahkan aku yakin bisa membunuh mereka tanpa ketahuan. Lagipula, tidak akan ada yang mau menjadi pengawalku.”
Gerald mengangguk-angguk menyerah. Perempuan ini memang keras kepala. Sebenarnya, ia sendiri yakin kalau Agatha akan menimbulkan masalah jika memiliki pengawal. Perempuan itu terlalu cerdas dan kejam untuk pengawal yang tak berdosa. Gerald memutar balik tubuhnya, lalu berjalan menuju pintu.
“Terserah saja. Pastikan nyawamu selalu aman nanti,” ujar lelaki itu meledek sebelum menutup pintu.
“Dasar orang tua bodoh. Memangnya dia pikir aku siapa, huh?” Agatha mendesah kesal, lalu kembali pada rak buku tua. Jemarinya bergerak, menelusuri judul-judul buku di hadapannya.
“Apa-apaan? Apa benar tidak ada kisah yang baru?” Ia menggerutu kesal, lalu mengambil satu buku kisah detektif candu bertopi dan membacanya. Buku yang tampak usang, tampak kotor dan beberapa halaman terlepas akibat terlalu sering dibaca.
“Memang tidak diragukan. Kisahmu adalah yang terbaik di Inggris, Tuan Detektif Candu Bertopi,” ujarnya dengan senyum bangga.
***
Mobil Rolls Royce Silver Cloud berhenti di depan rumah bercat putih tempat terjadinya pembunuhan tadi malam. Gerald dan Agatha turun. Kedatangan mereka disambut oleh lelaki berwajah pucat dengan rambut kecoklatan bernama Wilfred Blake. Wilfred menjabat tangan Gerald dengan semangat.
“Tak kusangka Nona Machmi–“
“Kim.” Agatha memotong cepat sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya. Ia mengalihkan pandangannya pada lelaki itu. “Agatha Kim, bukan Machmillan. Sekali lagi kau memanggilku dengan nama itu, maka aku akan pergi.”
Perempuan itu masuk tanpa menghiraukan Gerald yang menghela napas panjang dan Wilfred yang kebingungan. Dua lelaki itu menyusul Agatha menuju lantai dua rumah itu. Ada dua pelayan perempuan yang berdiri di tengah ruangan, saling berdekatan, takut menghadapi tatapan Agatha yang tajam. Pandangan perempuan itu menjelajah ke seluruh ruangan, baik tangga, lantai, dinding, atau lampu-lampu mewah di langit-langit. Kemudian ia mulai menaiki tangga yang melingkar. Matanya tetap awas, sesekali ia merunduk seraya mengangkat rok di bawah lutut yang ia kenakan.
Agatha tersenyum miring, kemudian melanjutkan langkahnya. “Kalian belum menggeledah tempat ini?”
Wilfred itu mengangguk. “Sama sekali.”
“Baiklah. Kupikir kau memiliki detektif-detektif yang hebat. Aku berharap tidak banyak yang bisa ditemukan.”
Sebuah lorong setelah tangga membawa mereka ke tempat kejadian. Wilfred membuka pintu, lalu mempersilakan Gerald dan Agatha masuk. Kamar itu berbentuk persegi panjang dan lumayan luas, namun terkesan sempir karena banyaknya perabotan. Dindingnya dilapisi kertas dindin berwarna merah tua, beberapa bagian tampak kotor, dan sedikit kekuningan. Terdapat tempat tidur berukuran besar tempat korban terbaring, lalu di seberangnya terdapat meja kerja kayu ukir. Agak jauh dari meja, terdapat perapian dengan rak merah yang berisi kertas-kertas dan buku-buku tebal. Satu-satunya jendela di ruangan itu tampak bersih, hanya ada sedikit debu di bagian ujung-ujungnya.
Agatha mengamati semua itu, lalu kini terpusat pada tubuh yang terlentang tidak bergerak di atas tempat tidur dengan mata kosong menatap langit-langit. Tubuh itu adalah mayat Harold Stanley yang merupakan pengacara terbaik nomor empat di Inggris. Berperawakan sedang dan berbahu lebar. Rambutnya hitam lurus dan berjanggut tipis. Mantel panjang yang dikenakan malam itu tampak digantung rapi di samping tempat tidur. Hanya tersisa kemeja putih dan celana panjang berwarna hitam. Topi bulat tergantung rapi bersama mantel. Tangan mayat itu mengepal, sedangkan kedua lengannya membentang. Kedua kakinya saling mengait, dan wajahnya tampak kaku dengan rongga mulut terbuka. Seakan menghadapi kematian yang menyakitkan akibat belati kecil yang menancap di dada kirinya.
“Seluruh ruangan terkunci rapat, bahkan pelayan yang menemukan mayat ini harus mengambil kunci cadangan di lantai dasar. Ketika ia kembali dan membuka pintu, tubuh lelaki ini sudah berada di atas tempat tidur dengan belati kecil menancap di jantungnya. Begitu?” Agatha mengulang kembali kronologi yang ia baca di surat yang diberikan Gerald.
“Benar sekali.”
“Ini yang keberapa?” Agatha menoleh pada Wilfred.
“Empat.”
“Jelaskan padaku keadaan korban sebelumnya,” perintah Agatha seraya mendekati mayat itu, mengecek keadaan mata, kulit, pergelangan tangan, dan leher.
“Tiga lelaki dengan keadaan yang tidak beda jauh dari sekarang.”
“Usia?”
“Sekitar lima puluhan.”
“Ketiganya?” Agatha bertanya sekali lagi. Ia berdiri menghadap Wilfred.
Wilfred mengangguk. “Tidak jauh beda, kubilang.”
Agatha mengangguk-angguk. “Baiklah. Kau bisa memindahkan mayat ini sekarang, sementara aku harus bicara dengan pelayan yang menemukan mayat ini.”
Wilfred menuruti kemauan perempuan itu. Ia turun ke lantai dasar, memerintahkan dua polisi yang berjaga di depan, kemudian menghampiri dua pelayan perempuan, dua pelayan laki-laki, koki, dan penjaga kebun yang duduk di ruang tamu. Pelayan-pelayan itu tampak berbisik ketika ia perlahan mendekat, lalu berdiri di hadapan pelayan perempuan.
“ElizaTodd?” Wilfred menyipitkan mata, lalu tertuju pada pelayan perempuan berkulit putih pucat dengan bintik merah di area pipinya yang maju ke hadapan Wilfred. Perempuan itu gemetar.
“Tidak perlu takut. Kami hanya meminta Anda untuk memberi kesaksian.” Wilfred berujar ramah, lalu membiarkan pelayan itu berjalan mendahuluinya.
Ketika sampai di kamar, Eliza bersama Wilfred menghampiri Agatha yang duduk di meja kerja Harold seraya memejamkan mata. Perempuan itu bersandar, jari-jarinya menyatu dan menyangga dagunya.
“Bisa kau ceritakan kejadiannya, Nona Todd?” Agatha membuka mata, lalu menatap Eliza menyelidik.
"Dengan senang hati akan kuceritakan semua yangkuketahui," kata Eliza.
“Di rumah ini, ada empat pelayan yang membereskan rumah. Semua pekerjaan dimulai pukul lima pagi dan harusnya berakhir pada pukul sembilan malam. Tuan Stanley orang yang displin. Ia berangkat pukul tujuh pagi dan pulang paling larut pukul delapan malam, tapi tadi malam, ia pulang pukul sebelas malam. Pelayan lain telah tertidur, lalu aku mendengar suara ketukan pintu dari kamarku yang berada di lantai dasar. Aku bangun dan membukakan pintu. Tuan Stanley memintaku membuatkan teh dan mengantarkan ke atas. Di sinilah kejadian itu terjadi. Saat aku naik dan mengetuk pintu kamar, aku tidak mendapat jawaban atau mendengar suara apa pun. Aku kembali turun untuk mengambil kunci cadangan, lalu kembali ke atas, tapi saat aku membuka pintu, Tuan Stanley sudah terbaring dengan belati yang menancap di dadanya. Semua terjadi begitu cepat, tanpa suara apa pun.”
“Kau yakin tidak mendengar apa pun? Atau ada orang lain di sekitar rumah?”
“Yakin. Tidak ada orang lain di sekitar rumah. Jendela terkunci rapat, begitu juga dengan pintu kamar.”
“Itu artinya korban mengunci pintu dari dalam. Apa kalian menemukan kuncinya di dalam?” Agatha beralih pada Wilfred.
“Ya, kami menemukannya. Tapi bukankah ada yang aneh dengan kasus ini? Mantel dan topi yang dikenakan korban ditemukan tergantung rapi. Itu artinya, korban tidak menyadari dirinya akan dibunuh, tapi ketika belati itu menancap, setidaknya ia akan mengeluarkan erangan kesakitan. Bukankah aneh?”
Agatha mengangguk-angguk. “Kau cukup pintar menyimpulkan kerumitan kasus ini. Otakmu berkembang lebih dari yang kuduga.”
“Hei, jangan meremehkanku begitu.”
“Apa yang kau lakukan ketika menemukan majikanmu sudah meregang nyawa?” Agatha tak memedulikan protes dari Wilfred, menambah kekesalan lelaki itu.
“Aku memanggil semua pekerja di rumah ini.”
“Ah baiklah.” Agatha bangkit dari duduknya. “Panggil semua pelayan ke kamar ini. Kita akan rekayasa ulang kejadian pembunuhan Harold Stanley.”
“Kau sudah menemukan pelakunya?” tanya Wilfred tampak tak percaya.
Agatha menyeringai. “Tidak butuh waktu lama untukku memecahkan kasus, Tuan Blake.”
***
@niel54 Makasihhhh
Comment on chapter Prolog