Suatu pagi aku berkendara menelusuri kebun singkong berhektar-hektar, di sebuah pinggiran kota.
Kubuka jendela lalu kumatikan pendingin udara.
Indah menggugah kalbu, terang menyingkap gelap.
Pun begitu saat mata ini memandangmu, Ibu.
Wajahmu yang mulai keriput tak sedikitpun mengurai rupa,
Laksana ribuan kilometer jalan raya baru tempat kami berkendara.
Kutelusuri jalanan hingga siang menyapa datang.
Aku pun berteduh dirindangnya pohon Tanjung, di depan sebuah embung kecil.
Sungguh semilir angin yang menentramkan, sungguh cantik berkilauan, biru atau hijau.
Lalu …
Kulihat lalu lalang anak sekolah, mengayuh sepeda berkeringat, ikut lelah aku dibuatnya.
Pun saat melihat gerak langkahmu, Ibu.
Berderap dari satu tempat ke tempat lainnya, dari kampung hingga perkotaan, dari Sigli sampai Skouw, memastikan belanja negara tersalur sempurna.
Kami jadi malu dibuatnya, Ibu.
Kami sering mengeluh oleh remeh temeh problematika bangsa macam hutang negara, subsidi BBM, pertumbuhan ekonomi, ekspor-impor, keseimbangan primer, harga minyak bumi, nilai tukar rupiah, pemerataan pembangunan, infrastruktur, jaminan kesehatan, atau beasiswa pendidikan tanpa kami mau mengusapkan jari untuk ikut mempelajarinya.
Kami benar-benar buta huruf fungsional, Ibu.
Kami tak tulus mencintaimu.
Aku pun menyapa sore dengan sedih.
Betapa ia menenggelamkan mentari dengan segala rupa manfaatnya.
Tetiba kami teringat lagi akan engkau, Ibu.
Satu dekade lalu, rapat maratonmu berhari-hari telah menyelamatkan bangsamu dari resesi ekonomi global. Berbagai tanya tajam terarah kepadamu, waktu itu. Akankah bangsa ini selamat dengan harga minyak mentah setinggi itu? Dengan tahun politik yang menisbikan kinerjamu? Hingga engkau harus “pergi” meninggalkan kami.
Mata uang tidak hancur, Ibu. Pabrik tidak tutup, bank tak jadi kolaps, begitupun harga yang tetap stabil. Sayangnya hanya sedikit yang mengingat itu.
Perjuanganmu mengingatkanmu pada ibu kandungku sendiri, yang kuhardik karena lupa membuatkan susu sebelum lelapku, padahal ia sibuk seharian menjaga kami. Itu lah penyesalan terbesarku dalam hidup.
Saat malam benar-benar kelam, semakin dalam sujudku pada-Mu Tuhan.
Kali ini dalam terang, Ibu, meski ini di Way Serdang.
Wahai Tuhan yang Maha Agung.
Jangan biarkan Ibuku lelah mencintai dan membangun negeri. Jangan biarkan ia sendirian.
Wahai Tuhan yang Maha Kasih.
Jangan biarkan tangan-tangan kekar nan jahat merenggutnya dari kami.
Wahai Tuhan Pemilik Seluruh Alam.
Hebatkanlah bangsa ini hingga kami nanti bisa bercerita kepada anak cucu kami, betapa hebatnya engkau.
by enhaac
beginningnya udh menarik banget, sukses yaa, tlng like ceritaku juga https://tinlit.com/read-story/1436/2575. semga cerita kita bisa terbit yaa. amin.
Comment on chapter Untukmu Ibu Ani