Hampir setiap hari yang dilakukannya hanyalah menyembunyikan diri didalam rumah. Menopang dagu dekat jendela kamar lantai dua, menatap jalanan dari balik tirai transparan yang menyamarkan wajahnya dari bidikan mata. Ia terus memperhatikan yang dilakukan orang-orang disekitarnya. Dengan santainya mereka menikmati hidup tanpa adanya beban. Ia hanya tersenyum menikmati pemandangan yang sangat indah baginya.
Tidak pernah sekalipun ia merasakan hal itu. Kini ia juga sudah tidak ingin lagi berurusan dengan orang lain. Kini cukup hanya memikirkan diri sendiri karena hanya itu yang bisa ia lakukan. Sesuatu dalam dirinya mengharuskannya untuk menjauhi orang lain, ia tidak ingin mendapatkan pandangan aneh untuk kesekian kalinya, pandangan yang cukup menakutkan seolah memberi kutukan. Menghabiskan waktu di dalam rumah terasa lebih baik daripada harus bersosialisasi. Ia juga tidak ingin membuat sang Ibu terus bersedih dan disalahkan karena ulahnya yang memang terkadang sulit untuk dikendalikan. Ia ingin tahu alasan MEREKA selalu mengikuti dan karena MEREKA juga ia terkadang berubah menjadi sosok yang mengerikan bahkan untuk kedua orang tuanya sendiri. Setelah ia tersadar hanya ada perkataan yang menyakitkan dan pandangan menakutkan yang ia terima dari orang sekitarnya.
Alyea Liarnoc Orim. Gadis remaja 15 tahun itu tidak mengerti maksud orang tuanya memberikan nama “Liar” di tengahnya. Hal itu membuatnya sering diejek teman-temannya, apalagi setiap kali ia mengamuk, meski tanpa sadar tapi nama “Liar” terlalu mencolok seolah menjadi identitasnya. Teman-temannya sengaja melupakan nama depannya, mereka lebih sering memanggilnya dengan nama Liarnoc dan hal itu selalu terjadi disemua tempat dimanapun ia berada.
Kehidupannya sering dihabiskan untuk berpindah rumah dan sekolah. Bukan karena tugas orang tuanya yang mengharuskannya ikut pindah melainkan karena Alyea yang membuat orang tuanya sering mencari tempat tinggal baru. Alyea sudah bosan melakukan hal itu karnea harus beradaptasi di tempat baru, padahal hal itu tidak akan merubah apapun. kemanapun ia pergi tidak akan ada yang ingin berteman dengannya. Ia hanya berharap bisa terlepas dari MEREKA, tiga bayangan yang selalu mengikutinya sejak pertama kali ia membuka mata dan hanya ia seorang yang bisa melihatnya. Entah datang darimana dan siapa MEREKA yang menggunakan pakaian prajurit— ala zaman perang— lengkap dengan senjata masing-masing. MEREKA seperti patung berjalan tanpa ekspresi ataupun interaksi. Bahkan tidak ada satu jawaban yang keluar dari mulut MEREKA setiap kali Alyea mengajukan pertanyaan. MEREKA hanya memberikan penglihatan aneh yang berakhir dengan Alyea yang berceloteh, menangis dan amukan yang membuatnya tidak mengenal dirinya sendiri.
Alyea yang semakin tumbuh perlahan menerima dan mulai menekan amukannya meski itu menyakiti dirinya sendiri. Ketika saat itu terjadi ia hanya mengunci didalam kamar merangkul erat dan kuat tubuhnya yang gemetaran dalam kegelapan, Ia menangis tanpa bersuara dan menekan kuat dirinya agar tetap tersadar. Ia tidak ingin membuat Ibunya bersedih dan dijauhi oleh orang sekitar, namun seberapa kuat Alyea menekan ada hari dimana ia benar-benar tidak bisa menahan dirinya sendiri. jika ia mulai merasakan dalam keadaan setengah sadar ia pasti akan menghampiri Ibunya untuk meminta maaf lalu mengunci kamar.
“Hey… Alyea. Mengapa kau masih belum membereskan kamarmu?” Tanya sang Ibu lembut masuk ke kamarnya yang masih berantakan.
“Akan aku rapikan Bu. Aku ingin melihat lingkungan disekitar rumah ini sebentar saja Bu,” ucap Alyea pelan menopang dagunya dijendela kamarnya.
“Kau bisa melihatnya setelah kau membereskan kamarmu. Kalau kau mau kau boleh berkeliling,” ucap sang Ibu tersenyum.
Liya Orim. Sang Ibu yang sangat mencintai Alyea lebih dari apapun ketika ia melihat mata mungil Alyea yang bercahaya. Namun ia tidak menyangka kehidupan selanjutnya yang terjadi pada Alyea, ia hanya berpikir jika anaknya yang sangat jarang sekali menangis dan terluka selalu diselamatkan oleh malaikat pelindung seperti kata para Orangtua terdahulu. Kenyataannya semua itu salah, ia mulai curiga dengan tingkah laku Alyea yang ketika itu berumur 7 tahun, amukannya yang sulit dikendalikan membuat Liya kewalahan. Dan disaat itu Liya mulai sering melukai Alyea, lalu memeluknya dengan erat meminta maaf sembari menangis padahal yang membuat Alyea menangis dan ketakutan bukanlah hukuman ataupun pukulan dari Ibunya melainkan ucapan dan wajah sang Ibu yang tidak tahan dilihatnya.
Liya sangat mencintai dan melindungi Alyea jika ada orang yang mengganggunya layaknya seorang Ibu tapi terkadang ia seperti peraturan yang siap memberi hukuman ketika Alyea membuat ulah lagi. Liya mulai lelah dan tidak mengerti Alyea yang terus menerus membuatnya seakan menyerah menjalani hidup. Karena hal itu pula Liya harus kehilangan pekerjaan untuk menjaga Alyea. Liya masih ketakutan setiap kali meninggalkannya meski Alyea sudah beranjak remaja, padahal ia sudah mengetahui perjuangan anaknya yang mulai mengendalikan dirinya. Mau tidak mau Liya harus memberanikan dirinya untuk tidak mengekang Alyea.
Pengendalian dirinya membuahkan hasil membuat sang Ibu sadar atas sikapnya selama ini. Liya mulai terbuka dan mencoba paham untuk mendengar setiap rinci cerita yang dijelaskan anaknya tapi lagi-lagi cerita yang selalu sama itu tetap tidak dimengerti oleh Liya. Akhirnya Liya menceritakan hal itu kepada suaminya Orim Agra, Orim yang merupakan seorang karyawan sering melakukan perjalanan dinas, karenanya ia jarang dirumah setiap kali Alyea mengamuk. Meski Orim tidak percaya, tapi ia tidak menampik jika ada sesuatu yang aneh pada Alyea. Walau Orim hanya sesekali melihat Alyea mengamuk, tapi ia sering merasakan efek yang diakibatkan oleh Alyea, karena selama ini Orim-lah yang selalu mencari tempat tinggal baru untuk mereka berdua.
Orim dan Liya sepakat membawa Alyea untuk berobat. Berbagai jalan ditempuh untuk mengobati Alyea dari Psikiater sampai rumah sakit jiwa tapi itu tidak membuahkan hasil. Bahkan sang dokterpun menganggap Alyea normal sedangkan orang “Pintar” mengatakan Alyea mempunyai teman yang tidak terlihat yang selalu mengikutinya. Baik Orim ataupun Liya, bahkan orang yang pernah dekat dengan Alyea berpikir jika ia memiliki kekuatan supernatural atau supranatural.
Mendengar begitu banyak komentar dan saran yang didengarnya membuat mereka berpikir aneh dan macam-macam. Orim yang melihat mimik wajah istrinya langsung menghentikan semuanya dan membiarkan begitu saja sampai ada keajaiban yang datang padanya. Orim tidak menyerah tapi ia berserah, karena tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Alyea juga tidak memperdulikan apapun yang dilakukan orang tuanya, meski hal itu bertentangan dengan hatinya tapi ia tetap melakukannya. Ia lakukan semua itu demi orang tuanya walau ia tahu semua itu tidak akan berdampak apapun padanya. Alyea yang terlihat tidak peduli dalam lubuk hatinya selalu menaruh harapan yang paling diinginkannya setiap kali ia berpindah tempat. Tidak seperti harapan sebelumnya yang ingin mendapatkan teman, melainkan agar ia bisa menjadi dirinya sendiri dan menikmati apapun yang diinginkannya. Alyea ingin merasakan seperti apa rasanya berbaur dengan yang lainnya meski tanpa harus ada ikatan.
“Alyea…,” Panggil sang Ibu.
“Ya Bu….”
Sang Ibu memeluknya. “Semoga kau akan selalu bahagia anakku.”
Ucapan Liya membuat Alyea menangis, begitupun dengan Liya yang tidak sanggup melihat anaknya terus menderita entah karena apa. Penderitaannya membuat rasa sakit yang tidak bisa ditahan seperti tertusuk ribuan jarum bahkan lebih sakit dari itu.namun Liya hanyalah manusia biasa yang terbawa amarah dan emosi melihat tingkah laku Alyea yang mengamuk. Liya juga tahu jika anaknya tidak hanya menopang dagu memandang lingkungan sekitarnya melainkan sedang berpikir tentang dirinya.
“Maafkan aku Ibu. Karena diriku hal ini terus terjadi. Tapi MEREKA selalu mengikuti kemanapun aku pergi,” kata Alyea tidak kuasa menahan tangisnya.
“Maafkan Ibu juga nak, Ibu mohon satu hal padamu jangan kau ceritakan MEREKA lagi,” ucap Liya. Ia bukannya tidak mendengarkan lagi namun ia tidak sanggup untuk mendengarkannya.
“Apa Ibu masih belum mempercayaiku?” ucap Alyea menatap sang Ibu.
Liya juga sudah belajar dari kejadian sebelumnnya. Meski bertentangan dengan hatinya tapi Liya harus mengatakan sesuatu yang membuatnya tidak marah. Sejenak Liya juga menatap Alyea dan tersenyum, “Ibu mempercayaimu”. Liya mengecup keningnya dan memeluknya kembali dengan erat.
Liya terpaksa mengatakan hal itu agar Alyea tidak terus bersedih. Ia baru saja pindah ke tempat yang baru dan Liya tidak ingin merusak momen itu. Liya tidak mengerti dengan MEREKA yang selalu disebut oleh Alyea, tapi sebenarnya MEREKA seperti pelindung untuk Alyea. Banyak kejadian aneh yang terjadi pada Alyea sejak Ia masih kecil. Ia dengan mudah selamat dari kejadian apapun. Liya hanya menganggap anak tidak berdosa itu diselamatkan oleh malaikat penjaganya. Tapi seharusnya hal itu tidak terus terjadi padanya sampai ia beranjak remaja. Banyak temannya sampai gurupun sering mengatakan jika Alyea aneh. Ia begitu mudah lolos dari marabahaya bahkan teman sekelasnya yang paling nakalpun terluka ketika mencoba untuk menjahilinya termasuk Liya sang Ibu yang pernah merasakan juga ketika ia memukuli Alyea yang sedang mengamuk.