KEPERCAYAAN SIRNA SELAMANYA
Prolog
“Kepercayaan ibarat selembar kertas, sekali saja ia ter-REMAS dan KUSUT dia tidak akan bisa kembali sempurna”
Namanya Zahra Ashyfa, seorang gadis biasa, sekilas tidak ada yang istimewa dari dirinya, begitu pula dengan wajahnya. Dia tidak pula gadis dengan segudang prestasi yang banyak dikagumi kaum Adam. Zahra berasal dari keluarga biasa dan sederhana.
Hal yang istimewa dari Zahra ialah, dia tidak pernah berprasangka buruk pada orang-orang yang dikenalnya. Dia juga tidak pernah membenci apalagi menyimpan dendam pada siapapun yang telah menyakiti hatinya. Hingga akhirnya dia bertemu dengan satu orang yang membuat kepercayaannya sirna dan keistimewaannya pudar.
Iqbal POV
Iqbal seorang mahasiswa yang aktif diorganisasi dan kampus. Dia banyak meraih prestasi akademis sejak sekolah dasar. Iqbal berasal dari keluarga yang berada tapi dia selalu rendah hati sehingga banyak teman-teman yang menyukainya.
Iqbal sangat tertutup dengan teman dan sahabat nya mengenai diri, keluarga dan pahitnya perjalanan hidup mendapatkan pengakuan atas prestasinya. Iqbal selalu menampilkan kelebihan-kelebihan yang ia miliki, berharap dapat membuatnya melupakan hal pahit dari perajalanan hidupnya.
Di kelasnya ada seorang wanita yang membuat Iqbal penasaran, seorang wanita yang berbusana syar’i dengan wajah yang teduh, seolah ingin memperingatkan Iqbal untuk tidak hanya menyibukkan diri pada urusan dunia, namun juga akhirat.
Zahra POV
Ada yang berbeda hari ini, salah seorang teman di kampus tiba-tiba menyapa ku dengan ramah. Dari sorot matanya aku tahu, pria itu tertarik padaku. Kalau bukan karena itu untuk apa dia repot-repot tersenyum ketika melihat seorang gadis biasa yang tidak pernah bicara padanya.
Tapi jika benar apakah aku siap membuka hati ku lagi? sudah dua tahun belakangan aku tidak pernah lagi memikirkan persoalan hati, bukan tidak ingin, hanya saja hatiku masih kecewa pada sosok yang dulu pernah mengisi hariku dan hanya menyisakan luka dihatiku. Aku takut hal itu akan terjadi kembali padaku.
Hari ini Ibu menelpon ku menceritakan kesedihannya karena Ayah akan keluar kota tiga bulan lamanya, ini pertama kalinya Ayah pergi selama itu. Aku hanya bisa menenangkan Ibu, mengingatkannya untuk tidak khawatir, meski sebenarnya aku sendiri khawatir. “Urusan pekerjaan apa yang membuat Ayah harus pergi selama itu?” kataku.
Iqbal POV
“Sungguh aku sangat penasaran dengan duhai mu Zahra”. Bagaimana tidak penasaran?. Hampir tidak pernah aku melihat dia berinteraksi ataupun sekedar bersenda gurau dengan lawan jenis. Pun ketika dia berbicara pada teman laki-laki hanya obrolan singkat seputar perkuliahan atau hal-hal penting lain yang dia bicarakan.
Kalau dengan ku, belum pernah kami bicara hingga aku kumpulkan keberanian untuk mencoba menyapanya. Siang itu di lorong kampus, “Assalamu’alaikum Zahra.” Sapaku sembari menunjukkan senyum terbaik ku lengkap dengan lesung pipi yang aku yakin menyempurnakan senyumku siang itu padanya.
Seketika aku merasakan kekecewaan luar biasa karena dia hanya menjawab “Wa’alaikumussalam” sambil menunduk dan segera berlalu dihadapanku. Dan aku yakin dia tidak menyaksikan senyum terbaik yang aku berikan. Tapi semua hal itu malah membuatku semakin penasaran untuk terus mencoba mengenalnya.
Zahra POV
Aku semakin sering bertemu dengan Iqbal. Dan dia selalu tersenyum ketika berpaspasan denganku. Selalunya aku segera menunduk ketika pandangan kami tidak sengaja bertemu. Dia selalu mencuri pandang disaat perkuliahan berlangsung.
Tak jarang pula dia menyapa di tengah keramaian. Menjadikanku pusat perhatian teman-teman sekelas kala itu. Bagaimana tidak? Seorang aktivis sepertinya menyapa gadis seperti ku. Dia yang banyak dikenal dan dikagumi oleh banyak orang, khususnya para wanita. Sedangkan aku adalah gadis yang tidak istimewa. Tentu saja mereka berpikir begitu beruntungnya aku bisa disapa olehnya.
Sejujurnya aku takut berada pada situasi yang membawa urusan hatiku. Aku terlalu rapuh untuk itu, terlebih aku belum siap untuk jatuh lagi, karena ketika mengenal seseorang terlalu dalam selalu menghadirkan harapan yang tinggi, dan hanya menyisakan rasa sakit.
Iqbal POV
Minggu pagi ku coba untuk menghubunginya. Dan betapa senangnya aku karena dia membalas chat-chat yang aku kirimkan. Seminggu kemudian aku mengajaknya untuk makan malam berdua dengan alasan ada banyak hal yang ingin aku diskusikan.
Malam begitu cepat berlalu hingga rasanya begitu sedikit waktu yang aku habiskan bersamanya. Tidak banyak hal yang sempat kami bicarakan, hanya seputar perkuliahan dan sedikit menyinggung masalah hati. Setelah itu aku mengantarnya pulang ke kost nya.
Setibanya di depan kostnya, aku utarakan isi hatiku padanya. Karena terlalu gugup, Zahra tidak mendengar apa yang aku sampaikan. Aku pun terpaksa mengulanginya dengan suara bergetar, karena malu aku langsung bergegas pulang.
Aku menghabiskan malam dengan hati gelisah, “Apakah dia mau menerima ku atau tidak? besok harus aku tanyakan jawabannya!” gumamku. Aku harus siap dengan jawaban yang akan diberikan nya besok. Tentu aku pun tahu dia bukan gadis yang akan dengan mudahnya menerima perasaan seseorang.
Zahra POV
Seperti yang ku duga, cepat atau lambat dia pasti akan mengungkapkannya. Aku tidak terkejut saat mendengarnya. Dia dengan ekspresi yang belum pernah aku lihat sebelumnya, mengungkapkan isi hatinya padaku. Entah jawaban apa yang akan ku beri. Yang ku tahu kini bunga-bunga cinta mulai tumbuh dihati.
“Haruskah ku terima dia dan menjalin hubungan yang Allah benci?” kataku. Jujur, jika menuruti kata hati ingin saja aku terima. Namun aku terlalu malu, malu pada teman-teman yang telah banyak aku nasehati namun gagal menerapkan pada diri sendiri.
Aku ceritakan hal ini pada sahabatku, dengan tegas dia menjawab, “Tawarkan pernikahan pada nya, jika berniat baik tentu dia akan menerima, namun jika dia hanya main-main, maka dia akan menjauh, satu hal yang harus kamu tahu Ra, jangan pernah menjalin hubungan yang kamu tahu pasti, bahwa Allah sangat membencinya!”. Dengan penuh pertimbangan, aku memilih untuk menolaknya.
Iqbal POV
Sejak tadi malam mataku tidak bisa terpejam, aku memikirkan apa jawaban yang akan diberikan Zahra. Dini hari, ku coba menanyakannya. Aku mulai percakapan dengan mengucapkan salam, lalu dengan hati-hati ku tanyakan apa jawaban atas pengakuanku tadi malam.
“Iqbal, aku tidak menyalahkan mu karena menyukaiku. Aku memang bukan wanita yang sempurna tanpa dosa, masih banyak kesalahan yang ku perbuat. Namun aku tidak ingin menjalin hubungan yang tidak disukai oleh Nya. Jika kamu berniat baik, kenapa tidak kamu datangi saja orang tua ku?”. Jawaban Zahra.
Aku tahu akan sulit menjadikan Zahra sebagai pacarku, namun aku tidak menyangka dia tawarkan pernikahan. Dia pun tahu, aku maupun dia belum siap untuk itu. Namun apa yang harus aku perbuat?. Mungkin ini tawaran pertama dan terakhir untukku. Bagaimana jika aku tolak? aku tidak rela Zahra kelak dipersunting pria manapun di dunia ini. Namun aku belum siap, pun aku sebelumnya tidak pernah mempersiapkan apapun.
Zahra POV
Ku tawarkan pernikahan karena aku tidak ingin menjalin hubungan yang dibenci oleh-Nya. Seperti dugaan ku, dia menolaknya!. Dipertemuan kedua kami, dia menceritakan alasan penolakannya, dia belum siap, namun dia juga tidak terlihat mempersiapkan apapun. Dia inginkan pernikahan megah lagi meriah agar acara sakral yang terjadi sekali seumur hidup itu dapat dikenang dengan manis.
Tentu aku kecewa karena ternyata pria yang sudah mulai masuk ke relung hatiku itu ternyata bukan pria ‘gentleman’ yang ingin membuat rasa itu menjadi halal. Memang aku pun mengakui aku belum siap untuk membangun sebuah keluarga, namun aku terlalu takut pada azab neraka atas dosaku menjalin hubungan yang Dia benci. Aku tidak butuh pernikahan mewah, cukup yang sederhana. Aku tidak butuh harta berlimpah, karena berjuang bersama dari nol sudah cukup membuatku bahagia.
Namun tampaknya bukan saat ini waktunya, karena Allah tahu, waktu, cara, dan dengan siapa aku harus berjuang bersama menggapai surga-Nya.
Iqbal POV
Aku mencoba membuat Zahra mengerti akan keputusanku, aku ingin Zahra menyerah dan menjadi pacarku. Aku hanya ingin ada seseorang yang menemaniku, menyemangatiku, dan menjadi alasan agar aku lebih semangat menggapai cita-citaku. Kelak ketika aku sudah memiliki pekerjaan yang bisa menjanjikan masa depanku, akan ku lamar dia untuk menjadi penyempurna agamaku. Ah! membayangkan nya saja sudah membuatku bahagia.
Namun kenyataan itu kembali berputar dikepalaku, belakangan ‘dia’ selalu menghubungi ku dan mencurahkan perhatiannya padaku, bagaimana jika Zahra tahu status ku saat ini? akan kah dia memaafkan ku?
Zahra POV
Hari ini aku kembali bertemu dengannya. Seminggu yang lalu kami sepakat untuk tidak saling memberi kabar ataupun sekedar ‘chatting’, namun nyatanya tidak terlaksana sesuai kesepakatan dan aku sekarang malah berada di sini dengannya. Aku sedang berada di kota kecil yang berbatasan dengan kota tempat aku menuntut ilmu. Kota ini sangat berarti untuknya, tempat kelahirannya. Aku dipertemukan dengan bundanya, seorang yang lembut dan baik hati, menurutku. Kami pun sempat berkeliling kota ditemani bundanya. Sore harinya aku kembali ke kostku.
“Sekarang kamu aku kenalkan sebagai teman kampusku, tapi nanti akan aku kenalkan sebagai calon bidadari surgaku“, bisiknya sebelum akhirnya tersenyum dan pergi. Hari yang sempurna. Sebelum aku tidur, aku mengupload moment kebersamaan kami hari itu.
Suara dering telepon membangunkan tidurku, tepatnya pukul 22.30 malam.
“Assalamu’alaikum Ayah, tumben nelpon malam-malam begini?” Penjelasan Ayah membuat mata ku bergenang air mata, seluruh tubuhku seakan remuk dan tak berdaya. Malam itu juga ditemani Zizi aku berangkat ke rumah sakit.
Iqbal POV
Pagi-pagi sekali Zizi teman satu kamar Zahra menghubungiku, dia mengatakan bahwa Ibu Zahra sedang dirawat di rumah sakit, aku segera menuju rumah sakit yang disebutkan oleh Zizi. Di sana aku melihat Ibu Zahra terbaring lemah dengan terpasang alat bantu pernapasan dimulutnya, disampingnya ada Zahra dan Zizi, dan dikursi belakang ada satu orang laki-laki paruh baya dan wanita berusia kepala 2.
“Assalamu’alaikum” sapaku sambil melangkah masuk. Laki-laki tua itu menatapku heran, aku baru akan memperkenalkan diri sebelum Zahra mengajak ku keluar dari ruangan tersebut.“Ibu kamu sakit apa?” Zahra pun menjelaskan dengan berurai air mata, mata sembabnya kembali meneteskan air mata yang tak bisa dibendung. Darah tinggi ibunya kambuh setelah tahu Ayah nya menikah lagi diam-diam. Dan wanita yang bersama Ayahnya di dalam adalah wanita tersebut. Aku tertegun, bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Dengan kaku aku mencoba menenangkan Zahra.
Sejak hari itu aku bolak-balik rumah sakit untuk menemani Zahra menjaga Ibunya, dan Zizi bergantian dengan ku menemani Zahra, serta Ayah dan Ibu ‘tiri’ Zahra sesekali ikut berjaga.
Sudah tiga hari dan Ibu Zahra tidak kunjung sadar, Zahra selalu membaca ayat-ayat al-Qur’an di samping Ibunya dengan berurai air mata. Matanya yang sayu kini tampak kemerahan, aku sangat prihatin melihatnya. Ayah Zahra beberapa kali memintanya untuk istirahat di kostnya, namun Zahra tetap bersikeras tidak akan meninggalkan Ibunya. Aku hanya bisa menatap wajahnya yang letih dengan sedih, sedang Ayah dan Ibu tirinya tidak bisa memaksa Zahra.
Zahra POV
Entah sudah berapa lama Ibu terbaring di sini, hatiku hancur setiap kali Ayah datang berkunjung membawa wanita itu. Ayah selalu saja berusaha menjelaskan semuanya padaku, aku tidak ingin mendengar apapun penjelasannya, yang aku tahu Ayah sudah menduakan Ibu yang selama ini setia kepadanya.
“Cukup Ayah! Ara tidah butuh penjelasan apapun, lebih baik Ayah tidak usah muncul lagi di hadapan Ara dari pada Ayah datang bersama perempuan ini!” kataku.
Sejak itu aku tidak pernah melihat perempuan itu lagi, Ayah selalu berkunjung sendirian. Tapi meski begitu aku tetap membencinya. Sejak Ibu dirawat, aku tidak membuka sosial media, siang itu aku pun membukanya, chat dari grup membengkak, dan beberapa chat dari teman-teman yang mencoba menghiburku. Mataku tertuju pada sebuah DM dari seorang perempuan, Tika_Rahma. Dia menanyakan ada hubungan apa aku dengan Iqbal. Dia juga mengatakan bahwa dia adalah tunangan Iqbal.
Tentu saja aku tidak percaya, yang ku tahu Iqbal pernah cerita kalau perempuan ini adalah tetangga sekaligus teman masa kecilnya. Lalu aku meminta bukti pertunangan mereka. Tika mengirimkan aku foto cincin tunangannya beserta beberapa foto pertunangan mereka.
Hatiku seketika remuk, hancur, aku sedih dalam lamunanku. Aku di kejutkan dengan suara ‘Line’, lalu ku buka. Chat itu dari Iqbal! Sontak ku memilih untuk tidak membalas nya. Malamnya, ketika ku asyik membaca al-Qur’an, tiba-tiba Ibu kejang-kejang dan detak jantungnya semakin melambat. Dengan teriakan yang cukup keras, aku berusaha memanggil dokter, namun sebelum dokter melakukan ‘Defibrilasi’ pada jantung Ibu, Ibu sudah meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Belakangan ini banyak yang terjadi dalam hidupku, Ayah yang menikah diam-diam, Ibu yang sakit dan akhirnya meninggal karena tidak mampu menerima kenyataan, Iqbal yang ternyata telah bertunangan. Di satu sisi aku malah merasa di posisi perempuan yang merusak kebahagiaan perempuan lain: Tika. Aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama seperti istri muda Ayahku. Aku memilih untuk tidak berkomunikasi lagi dengan Iqbal, aku menjalani aktivitasku di kampus seperti biasa, dan kini aku menjadi sangat tertutup terhadap siapapun.
Aku mungkin terlihat tegar setelah semua yang terjadi padaku. Namun, ketika sendirian air mata tidak dapatku bendung. Ayah ataupun Iqbal sama saja dimataku, aku kecewa. Sejak saat itu kepercayaan ku kepada siapapun sirna selamanya.