“SYAHDAAAAA SINIIII....CEPETAN DAFA UDAH MULAI ITUHHH...” Laila berteriak dari depan kelas. Diikuti anak-anak perempuan lainnya yang ikut mengerubuti selsar sekolah yang langsung menghadap ke lapangan basket.
“IHH CEPTAN ITU LIAT...” Laila datang menghampiriku yang sedang malas-malasan dikelas.
“Males tau La, udah nggak ngfans gue sama dia.”
“Loh kok bisa? Kan dia keren banget main basketnya. Ganteng juga sih hahaha... thats the point” mata Laila berbinar-binar.
“Tau gak, dia itu penakut sama cewek. Cemen banget kan.”
“Ahh masa...?” selidik Laila. “Tau dari mana emang?”
“Taulah kan dia les di tempat Bu Mariam. Gue yang ngajarin dia beberapa kali, masa iya dia kalau gue ngajarin nggak mau deket-deket sama gue. Sama cewek yang lain juga sih sepengetahuan gue. Kayaknya dia alergi deh sama cewek. Jangan jangan dia....”
“STOP...STOP... oke, wait dont yu ever-ever suudzon. kok loe nggak ngasih tahu sih kalau Dafa les di Bu Mariam juga?”
“Emang penting?”
“Penting banget Nurulia Syahda.. pokoknya semua tentang Dafa itu penting banget. Gue malah mau bikin fanbasenya dia. Biar kayak selebgram-selebram gitu.”
“Selebaran kali bukan selebgram hahaha..”
“Gue serius Syahda. Terus apalagi-apalagi yang lo tau tentang Dafa?” tanya Laila antusias, bahkan ia menyiapkan buku catatan dan ulpen yang kini sudah ia pegang bersiap mencatat setiap ceritaku, bak jurnalis jaman dulu yang belum mempunyai perekam suara.
“Apa ya, oh iya. Ini ternyata Dafa itu tahun kemarin nggak naik ke kelas tiga. Dia ngulang di kelas dua karena nilainya jeblok banget. Emang sih dia pinter main basket, tapi nilainya ancur banget. Nah dia itu malu harus ngulang, makanya dia minta pindah sekolah. Terus ya makanya di ikut les bu Mariam. Untuk memperbaiki nilai-nilainya itu.”
“Oke noted. Eh tapi beneran kan lo jadi udah nggak ngfans sama dia lagi?”
“Iya..ilfil guweee...”
“Nggak suka lagi sama dia? Cius?”
“Iyya laila canggung..laila canggung...laila resah hatinya bingung...” balasku dengan menyanyikan lagu, kalau aku tidak malas mungkin aku akan sekalian bergoyang.
“Hahaha sipp.. soalnya gue akan mundur kalau lo masih suka sama dia.”
“Ihh apaan sih, suka sama dia! Nggak ya, no way. Gue itu Cuma ngfans sama bakat main basketnya itu. Nggak lebih.”
“Okay..okay... Lagian gue mah apa atuh dibanding elo Da. Cantik, pinter, mandiri dan rajin menabung. Perfect pokoknya. Mana mungkin ada cowok yang berani nolak loe.”
“Heiii cantikan elo kali. Gue mah biasa aja. Buktinya si onoh nggak mau deket-deket sama gue. Udah ah, kenapa sih ngomongin dia terus. Capek gue mau tidur. Mumpung nanti jam kosong.” Aku mengusir Laila dan merebahkan kepalaku kembali di meja.
*
“Halooo Syahda..!!” sapa Laila semangat dan lebih ceria daripada biasanya. Jelas dia ceria, di depannya ada Dfa, cowok yang jadi selalu menjadi tema perbincangan dia setiap hari. Seakan-akan Dafa itu seorang artis sekelas Shawn Mendes. Laila hari ini sengaja menjemputku dari tempat Bu Mariam, dia ingin melihat Dafa di luar sekolah katanya. ‘Gue itu pengen liat Dafa diluar sekolah apa dia ganteng seperti biasa saat pakai seragam, atau ganteng banget kalau pakai pakaian biasa.’ Jelas Laila yang memohon padaku agar aku boleh menjemputnya, eh ralat menjemputku agar bisa bertemu dengan Dafa maksudnya.
“Hai juga Dafa....” Laila menyapa Dafa dengan genit, Dafa hanya membalasnya dengan sedikit senyum.
“Eh iya, Dafa mau ikut kita nggak? Kita mau makan di cafe baru yang lagi hits di deket sini. Katanya enak loh makanannya.” Tambah Laila lagi. Aku membelalakkan mataku ke arah Laila sebagai kode ‘ini nggak ada dalam agenda kemarin’. Laila membalas dengan sedetik tatatapan memelas dan memohon yang seakan berkata ‘Please Syahda cantik, kali ini aja.’ Lalu kembali menatap Dafa dengan penuh harap dan ceria. Aku mengiyakan dengan berat hati.
“Hemm boleh juga, kebetulan gue juga laper banget abis disiksa sama dia nih.”
Laila senang bukan ampun, terlihat senyumnya terkembang tidak tertahankan. Kalau di film-film anime pasti sudah ada bunga-bunga bertaburan disana-sini.
“Enak aja, emang tadi gue mencambuk lo apa. Otak lo aja yang emang kapasitasnya kecil. Disuruh ngerjain sal gitu aja nggak selesai-selesai”
“oke-oke stop pemirsa, sebelum terjadi perang dunia selanjutnya. Mending kita langsung berangkat ke TKP yuk.” Laila memotong, dan menuntunku ke motornya.
Kami segera berangkat menaiki motor masing-masing. Aku membawa motor Laila dan memboncengnya di belakang, sedangkan Dafa menggunakan motornya sendiri mengikuti kami dari belakang.
Saat makan bersama aku dan Dafa lebih banyak diam, obrolan di dominasi oleh Laila yang bercerita apa saja dan menanyakan hal-hal yang menurutku nggak penting-penting banget untuk ditanyakan. Dafa pun menanggapi semua pertanyaan dari Laila, bak artis yang tengah jumpa pers. Tiba-tiba saja aku mendapatkan SMS dari Ibu untuk segera pulang untuk membantunya di warung makan sederhana yang di kelola nya sendiri atau dibantu aku atau bapak saat tidak bekerja.
“La, gue duluan ya. Ibu gue minta gue buat bantuin di warung. Eh iya ini uangnya untuk bayar makanan gue”
“Eh gak usah Syahda sayang, biar gue bayarin aja ya.” Ia mengerlingkan matanya, tanda ia tidak mau dibantah.
“Oke deh, tapi besok gantian gue ya yang traktir. Gue duluan ya Dafa. Bye semua” aku pun langsung keluar dan menaiki angkutan umum yang mengetem di dekat sana.
Iya juga yang lembek itu cimol. Joke mu asik.
Comment on chapter WithAku msh nunggu lnjutannya.
Tulisanmu juga udah rapi.
Kmu juga boleh kasih saran ke ceritaku