Minggu 22.00
Aku melenguh melihat jam dinding yang menjadi bukti malamnya hari. Sudah tiga jam aku hanya berguling-guling di atas kasurku. Tak mengantuk, tapi juga tak ingin melanjutkan aktivitas. Lebih tepatnya lagi, aku tidak ingin waktu bergerak menuju esok pagi.
"Hah.." desahku lagi, kini beralih duduk dengan kedua kaki kudekap di depan dada. Pandangan mataku melamun pada layar ponsel yang remang karena sudah kuatur mode proteksi mata.
*ping*
"Hai Jen, masih online? Belum tidur?"
Sebuah pesan singkat muncul di aplikasi whatsapp-ku. Mataku membulat segar, kau kah itu? Sungguh??
Lantas cepat-cepat kubalas, "Belum.. Aku tidak bisa tidur."
Tak lama, datang sebuah balasan, "Kenapa?"
".... Aku takut."
"Takut karena?"
"Besok adalah hari pertamaku masuk kuliah. Aku takut, entah kenapa."
"Hehe, sudah biasa, bukan?" jawabmu. Aku tersenyum mengingat-ingat bahwa kita memang sudah bersama cukup lama, seakan memang tidak ada lagi hal yang tidak kamu ketahui tentangku.
"Iya, seperti biasa, An. Aku benci selalu seperti ini setiap ingin memulai hal baru. Aku harus bagaimana? :( ," ketikku dengan emotikon sedih.
"Bacalah tulisan-tulisanmu dulu. Bukankah kamu sering menulis kesimpulan dari kesulitanmu sendiri? Kamu pasti bisa menjawabnya."
"Tidak mempan, An. Orang itu aku sendiri yang menulis. Aku yang menulis kesimpulan di akhir kesulitan itu juga pasti akan mengerti bagaimana aku di awal kisah selalu ketakutan. Efek membacanya kurang besar untuk sekarang."
Lama Aan tidak membalas. Aku sedih lagi. Kupikir ia tertidur, padahal aku berharap ia masih mau menemaniku.
15 menit kemudian..
"Kalau begitu ayo cerita denganku, tumpahkan segala keluh kesahmu." balasnya.
Aku tersenyum sumringah, tapi tidak lantas menunjukkan kebahagiaanku. Kubalas, "Benar nih? Ah, tapi kamu kan sibuk, An. Kamu pasti punya masalah sendiri. Ceritaku pasti tidak lebih penting bagimu."
"Tidak kok," balasnya cepat. "Ayo cerita saja, aku tunggu."
"Bohong. Sebentar lagi juga kamu tidur pasti."
"Tidak sayang.. Atau kamu mau kita bertemu?"
Ya Tuhan, dia perhatian sekali, gumamku sambil tersenyum.
"Sekarang ya?" tantangku padanya dengan niat bercanda. Sayangnya, setelah itu Aan tidak lagi membalas pesanku.
Hatiku kecewa. Bahkan dengan bodohnya aku duduk di dekat jendela kamar hanya untuk memastikan apakah ia menganggap kalimatku dengan serius dan sungguhan akan datang ke rumah. Tapi rasanya tidak mungkin, ini sudah hampir pukul 12 malam.
*Dengg!! Deng!!..*
Suara jam gantung di rumah mengagetkanku setengah mati. Aku terlonjak, mataku terbuka, dan bunyi jam itu hilang.
Jantungku berdegup kencang. Apa aku baru saja memimpikan Aan? Aan menghubungiku!
Cepat-cepat kuraih ponselku di atas nakas, tidak ada pemberitahuan apa-apa di sana. Tampilannya masih tetap sama yaitu riwayat chat Aan yang berhenti di aku, setahun yang lalu.
Di bulan ini, setahun yang lalu, kejadian yang nyaris sama telah terjadi. Aan mengalami kecelakaan dalam perjalanan malam ke rumahku. Kekasihku itu sudah meninggal dunia. Dan dia.. Dia hanya baru saja mengunjungiku lagi lewat mimpi.
Mungkin ia tahu, aku sedang dalam kesusahan. Tapi ia juga tahu, bahwa ia tidak mungkin mendatangiku lagi seperti malam itu.
Mungkin ini adalah pengingat manis darinya agar aku terus hidup dengan kuat, ada ataupun tidak ada dirinya.
"An, aku rindu.."
Waaah, aan sdh tiada, sefih :(.
Comment on chapter 1Btw aku agak bgung dgang "jawabmu" ap mngkin mksdnya "jawabku'?
Overall sgt mnarik da udah rapi. Semangat buat lnjutin!
Kmu jga boleh ksh sran k crtaku.