Abyan Prananda.
Di sekolahku, siapa yang tidak tahu nama itu? Murid di sebelah kelasku yang sudah banyak menyumbang piala untuk sekolah, terutama di bidang olahraga Basket. Ditambah dengan takdirnya yang memiliki wajah rupawan, membuat semua murid perempuan tahun ini tertarik padanya.
Ya, termasuk aku.
Hanya saja aku sadar diri bahwa aku tidaklah cantik, jadi aku tidak pernah berani mendekatinya secara terang-terangan. Paling berani hanya menyapanya saat berpapasan di jalan. Tidak lebih.
Tapi, sepertinya dari beberapa kali menyapanya itu muncul sebuah harapan. Karena entah mengapa belakangan ini Abyan selalu mondar-mandir ke kelasku, walaupun hanya sebentar, tapi dia menyapaku lebih dulu setiap kali datang.
“Hai, Mysha.” Seperti itu Abyan menyapaku, menyebut namaku dengan ekspresi senang yang langsung kubalas lambaian tangan padanya.
Tapi, tunggu, Abyan tidak langsung pergi setelah menyapaku. Saat ini dia justru semakin berjalan masuk ke kelasku dan… menghampiriku?!
Apa kali ini dia memang datang untuk menemuiku?
“Gua mau ngomong sama lu, Sha. Boleh minta waktu lu sebentar?”
Damn! Ini seperti mimpi!
“Boleh, sekalian ke kantin mau gak?” Aku bukan orang yang percaya diri, tapi secercah harapan yang membuatku berani mengajaknya seperti itu.
“Oke, ayo.”
Setelah itu aku dan Abyan benar-benar ke kantin bersama, jalan beriringan dengan suasana canggung seperti yang pernah kulihat di sinetron!
Wahh.. aku ke kantin bersama murid populer, dibelikan makan dan minum juga. Aku merasa mendapat jackpot duduk berdua di kantin bersama Abyan seperti ini!
“Pelan-pelan aja makannya, jam istirahat masih 20 menit lagi kok.” Abyan sengaja meledekku.
Iya, aku yakin dia sengaja. Karena pasalnya dari awal aku berusaha memakan makananku dengan cara seanggun mungkin hingga menjadi lambat.
“Harusnya gua yang bilang kayak gitu,” aku meledeknya kembali sambil menunjuk mangkuk baksonya yang sudah kosong, sukses membuatnya tertawa dan menampilkan deretan gigi putihnya.
Aku tidak bohong, tapi Abyan terlihat tampan sekaligus lucu saat tertawa.
“Hahaha ini karena gua laper, Sha. Gua belum makan abis latihan basket tadi.” Terdengar seperti alasan, tapi aku tidak peduli.
“Oh iya, lu mau ngomong apa sama gua?” tanyaku setelah meneguk minumanku, menatapnya penuh tanya dan perhatian.
Jujur, aku gugup sekali saat ini.
“Oh iya.. hmm itu, Sha. Memang sih kita baru deket belakangan ini. Tapi…”
Astaga! Jantungku semakin berdebar kencang!
“Tapi dari yang gua liat, lu orangnya baik, asik juga kalo diajak ngobrol begini. Jadi…”
Iya, apa? Apa?? Apa???
“Lu mau gak bantuin gua deket sama temen sebangku lu, Sha?”
Krekk.
Jangan tanya itu suara apa, itu adalah suara patahan hatiku. Rasanya? Wah, luar biasa sakit!
“Gua… gak bisa.” Gumamku sambil menatapnya sendu. Lalu, selang beberapa detik aku langsung pergi meninggalkannya setelah menaruh selembar uang untuk membayar makanan dan minumanku.
Kalau dipikir-pikir, harusnya ini bisa kugunakan sebagai kesempatan untuk tetap dekat dengan Abyan. Membantunya dekat dengan teman sebangkuku pasti membuat kita jadi sering bertemu. Tapi, sepertinya aku tidak sekuat itu sampai harus mengorbankan perasaanku sendiri.
Aku memang menyukainya, tapi bukan berarti aku rela menyakiti hatiku sendiri.
THE END.