Yoga menimbang kertas di depannya. Pagi ini ketika bangun dan hendak berangkat ke kampus, di bawah pintu kamar kosnya terselip selebaran. Pemuda yang baru tidur empat jam demi mengerjakan skripsi itu tertawa kecut. Sekecut isi selebaran yang ia genggam.
PILIH PRESIDEN NO.3 DIJAMIN KEHIDUPAN KALIAN AKAN DIMUDAHKAN
Bla, Bla, Bla. Mata Yoga pusing membacanya. Dari nama belakang si calon presiden yang ketika tersenyum terlihat memaksa itu, Yoga bisa tahu jika ibu pemilik kosnya memiliki hubungan keluarga dengannya. Mungkin itu adiknya, kakaknya atau malah mungkin keponakan jauh? Tidak ada yang tahu. Faktanya pagi ini selebaran itu ada. Yoga tak peduli. Ia remas kertas dan melemparnya ke keranjang sampah yang hampir penuh. Pemuda itu segera mandi lalu berganti pakaian. Hari ini ada jadwal bimbingan skripsi bab 4 miliknya yang tak kunjung selesai.
“Yog, udah baca kertasnya? Itu selebaran punya Bu Yanti. Denger-denger sih si calon nomor 3 itu masih keponakan jauhnya. Seminggu lagi kan kita balik ke rumah nih buat nyoblos, pilih aja. Bu Yanti bakal bagi-bagi duit 300 rebu, Bro.” Arlan mencerocos di depan Yoga.
“300 ribu?” Kali ini Yoga berhenti acuh. Seakan ingin meyakinkan dirinya jika tidak salah dengar.
“Iyaa, lumayan buat traktir pacar,” bisik Arlan.
Yoga berjalan dengan isi kepala mengambang. 300 ribu bisa dipakai untuk mentraktir Lia di restoran fast food kesukaannya sekaligus menonton film dengan paket diskon 50% minggu ini.
“Kamu nggak pernah ngajak aku ngerayain hari jadian lo, Yoga,” kata Lia, tiga bulan lalu. Tahun ini menginjak tahun ketiga mereka pacaran.
Spanduk capres nomor 3 terpampang di dekat trotoar kampus. Wajah semringah namun matanya menyimpan keculasan. Entahlah, di mata Yoga, semua politikus negeri ini adalah jelmaan iblis. Baik di muka namun bengis perilakunya. Yoga tak jadi menyeberang. Ia amati wajah capres itu. Senyum lebar itu mendadak berubah menjadi senyum Lia. Peci di kepala berubah menjadi rambut Lia yang membuat Yoga tergila-gila karena saking halusnya.
Sepanjang proses revisi dengan dosen pembimbing, Yoga hanya teringat pada 300 ribu dan Lia. Malamnya Yoga pun bermimpi tentang Lia yang membawa uang 300 ribu, tawa gadis itu selebar tawa capres nomor 3.
Persetan dengan dosa, pikir Yoga.
Mengikuti barisan teman-temannya di ruang tamu kos, Yoga menerima 300 ribu dari Bu Yanti. Nanti di saat nyoblos, dia diminta untuk membuat postingan video singkat di bilik pemilu sebagai bukti kalau memang memilih capres nomor 3. Yoga menandatangani surat perjanjian di atas materai. Yoga bahagia. Ia gandeng gadis pujannya menuju sebuah restoran sushi, bukannya fast food.
“Waah thanks ya, Beib. Aku suka banget sushi,” Nova, kekasih Yoga yang lain berkedip kegirangan.
Yoga meremas tangan Nova, sedangkan tangannya yang lain mengirim pesan minta putus kepada Lia.