Hati mereka tak dapat berpaling. Cinta itu tak pernah pudar digerus waktu. Hanya ada satu nama yang selalu melekat di ingatan. Mereka selalu sabar dan setia menunggu. Hingga akhirnya, takdir memberikannya kesempatan lagi untuk sekedar berbalas sapa pada cinta pertamanya itu, setelah bertahun-tahun berpisah tanpa kabar.
"Aku mencintaimu," ucap Bian dengan lembut.
Zya seolah membisu, terdiam tanpa jawaban. Raut wajahnya memerah dengan mata berbinar, menatap sang pujaan hati dengan bahagia. Bian mengerlingkan matanya sebagai isyarat meminta jawaban.
"Aku juga mencintaimu," balas Zya dengan semangat.
Getar ponsel menyadarkan mereka dari lamunannya. Dari bayang indah masa lalu, masa putih abu-abu. Dari peristiwa yang tak pernah bisa dilupakan, walau hanya sebuah drama anak SMA. Drama cinta yang diperankan oleh Zya dan Bian dahulu.
"Maaf, kalau dulu aku punya salah padamu. Karena entah kenapa, kini kamu sering hadir di mimpiku. Aku takut jika aku benar punya salah dan belum dimaafkan, makanya aku mimpiin kamu."
Kalimat itu keluar dari hati yang terdalam. Dari seorang gadis yang penuh harap, yang sebenarnya dirinya sendiripun tahu, bahwa itu adalah secuil rindu yang berkamuflase di dalamnya. Rindu yang mungkin tak pernah berujung temu, pikirnya. Karena rindu dan cinta yang menyatu itu, tak pernah berani diungkapkannya secara jujur.
"Kamu gak punya salah apapun, Zya. Lalu, setelah ini, berarti aku sudah tidak ada lagi di mimpimu, kan? Karena semuanya sudah jelas."
Kalimat yang tak sepenuhnya ada di relung hati Bian, terpaksa keluar sebagai tanggapan kepada gadis pujaannya. Beragam rasa memenuhi benaknya dan tak tahu harus merangkai kata seperti apa. Karena kejujuran hatinya, belum berani diutarakannya.
Zya termenung. Terdiam tanpa arah tentang cintanya. Tak tahu bagaimana menjelaskan pada hatinya sendiri. Tentang bagaimana selanjutnya, entah harus berbuat apa setelahnya. Bian, pemuda yang dicintainya, tak pernah bisa dimilikinya secara nyata. Bagi sang gadis, tanggapan dari Bian membuat hatinya terasa sakit, perasaannya berkecamuk tak karuan. Bagaimana mungkin, gadis itu bisa melupakan atau sekedar menolak kehadiran orang yang sejak bertahun-tahun lalu singgah di hatinya. Pun, sampai saat ini masih tetap bertahan di hatinya dan selalu membuatnya bahagia, walau hanya sejenak datang di mimpinya, misalnya.
Sementara itu, raut kekecewaan dan penyesalan terlihat jelas pada diri Bian. Karena mungkin, tak semestinya kalimat itu dilontarkannya atau justru seharusnya dia berkata jujur mengenai cintanya pada Zya, gadis pujaannya itu.
Kini, mereka menatap lekat buku tahunan sekolah, di sela-sela deras hujan di luar sana, di kota yang sama tempat mereka tinggal. Pikiran mereka melayang, menerawang jauh ke memori beberapa tahun silam, saat takdir pertama kali mempertemukan keduanya di sekolah yang sama. Berharap takdir dan waktu ke depan, dapat membawa pada kisah yang berakhir bahagia, dapat mengubah bayang impian menjadi nyata. Bersama keduanya, yang kini hanya bisa dipandangnya satu sama lain dari tempat yang berbeda, dalam lembaran foto di masa SMA.
Mungkin, sampai kapanpun, dua hati yang tak pernah jujur akan perasaannya satu sama lain, berarti pemiliknya hanyalah menggenggam perasaan, menggenggam harapan. Hanya menggenggam bayangan semu tanpa bisa memiliki.