"Lia!" Teriaknya.
Dia yang kumaksud adalah Alvin. Teman sekelas yang luar biasa. Bukan masalah fisik, tetapi masalah bagaimana kami saling menerima diri. Saling terbuka satu sama lain.
"Apa, Vin?" Balasku.
"Lu tahu gak mana Karin?" Tanyanya.
Jujur aku senang, tapi bagaimana ya? Sejak dulu dia menyukai Karin yang notabenenya adalah sahabatku. Kenapa seluruh takdir itu tidak bisa kompatibel dengan perangkat lunak milikku?
"Tadi dia latihan drama sama Dani." Jawabku.
Ah, sebegini lucunya masa remajaku.
Aku suka dia, dia suka sahabatku, sahabatku suka dengan orang lain.
.
Ombak kecemburuan menghantam terumbu karang kewarasanku. Aku benar-benar benci dengan Karin. Apa kelebihan yang dimiliki Karin?
Tapi dia sahabatku?
Aku tidak bisa menusuk dari belakang. Oke, bagaimana jika terang-terangan. Memperbaiki! Sekarang saya sangat gila, Sayang!
.
Aku mulai mencoba meruntuhkan tembok kekaguman pada Alvin. Tuhan sungguh baik. Tuhan membantuku.
Lembayung senja berbicara agar aku pulang cepat. Tapi aku masih duduk di kelas hanya untuk duduk dan menggalau ria. Aku berada di bawah meja. Suara derap langkah kudengar jelas.
"Karin ...." Sapa suara. Aku tahu itu milik Alvin.
"Apa, Vin?" Jawab Karin. Aku benar bukan?
"Aku suka denganmu. Bukan sebagai teman. Bukan sebagai pengagum. Itu tak terdefinisi." Ujar Alvin.
Apa Dia menyatakan cintanya? Oh tuhan? Mengapa ada sungai kecil mengalir di wajahku sesuka hati saat hatiku tak sedang suka?
"Oh, terus gimana?" Jawab Karin.
"Aku tidak ingin kita pacaran atau apa. Hanya suka biasa. Karena menyukaimu sebegitu luasnya." Jawab Alvin.
Aku menangis dalam. Hingga suaraku hilang ditelan legamnya kesedihan. Mereka hanya tersenyum satu sama lain aku melihatnya. Mereka serasi. Tidak ada celah bagiku.
.
Senja tadi lembayung menyuruhku pulang, tapi aku tetap tinggal.
Senja tak marah dan aku pun tak ramah.
.
Aku pun tak marah pada Alvin yang tak pernah tahu siapa senantiasa disini menunggunya. Itu karena aku tahu.
Aku tahu seberapa besar Alvin mencintainya.
Dan aku rela mundur perlahan demi meniti jalan yang tak kunjung mereda hujan.
Barangkali kita bisa bersimpang, aku akan sangat senang.
Aku tahu.
Dan hal itu adalah alasan aku untuk menjadi Anagapesis. Menghilangkan rasamu, mencari rutinitas yang baru.
.
"Udah selesai nulis FFWC2-nya?" Tanya Adinda padaku.
"Iya sudah, Din." Jawabku.
"Galaumu ada faedahnya juga ya?" Ujar Adinda.
"Kalau aku menang, aku akan berterima kasih pada orang yang bikin aku galau!" Jawabku.
Kami tertawa. Jangan isi masa mudamuhanya dengan galau oke? Jika sudah terlanjur punya Manfaatkan, oke? Lalu injak-injak sumber galaumu itu dengan sehimpun prestasi. (Mungkin dia yang gagal move on, bukan kamu).
Terimakasih sudah membaca :)
<3 dari penulis /// w ///