“Dar, kita putus aja yah!”
Kata perpisahan itu terdengar jelas dari balik ponsel layar sentuh yang Adhara tempel 3 detik lalu di telinganya.
Putra namanya, pria yang Adhara pacari setahun belakangan ini.
Saat melihat nama Putra di layar ponselnya, Adhara mengharapkan kata-kata manis dari pria itu seperti: kamu dimana sekarang? Mau aku jemput? Kamu pasti lelah kerja seharian? Kau sudah makan malam? Ayo makan malam bersama!
Nyatanya tidak.
Pria itu hanya menelponnya untuk megucapkan kata yang paling Adhara benci didunia, perpisahan.
“apa?” tanya Adhara ingin memperjelas pendegarannya.
“Ya, gue mau putus!” ulang Putra, dengan nada santai.
“gue bosen sama elo!” sambungnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Siapapun bisa kah kau menghilangkan aku dari bumi ini, setidaknya pindahkan aku ke planet mars, atau kau ingin lebih mudah? Buat aku lupa ingatan."pintah Adhara dalam hati.
“hahahaha.” Adhara membuat tawa di ujung sana, walau nyatanya ia ingin sekali menangis.
Tidak, Adhara tidak akan menangis, walau itu hanya setetes,
Adhara takkan membiarkannya, walau pria bernama Putra itu tidak ada di hadapannya, walau sekarang ini ia berada di jalan sepi dengan kaki telanjang, rambut acak-acakan dan hak sepatunya lepas, persetan dengan semua itu.
Disaat seperti ini ia hanya bisa mengelak, jelas dia tidak mau kalah dari Putra, dia tak bisa menerima dirinya diputuskan seperti ini.
“emang sejak kapan sih kita pacaran?” jawab Adhara dengan nada ketus.
“maksud lo?”
Adhara tak menjawab, ia langsung mematikan ponselnya dan tampa rasa belaskasih melemparnya masuk ke dalam tasnya.
**
Adhara berhenti disebuah toko swalayan seberang jalan raya sana. Ia ingin mampir sebentar untuk istirahat dan membeli sandal.
Sekarang ini Adhara tengah duduk bersandar di kursi halte bus, dengan tatapan kosong memandang ke arah jalan raya yang sepi. Aneh, padahal ini baru jam sebelas lewat satu menit.
Entah,
Adhara tak peduli,
yang ia tau semesta selalu membuatnya sendiri.
Semesta yang takkan pernah membuatnya bahagia,
Jika orang mengatakan bumi tempat Adhara perpijak sekarang ini indah,
Bagi Adhara, bumi ini tidak lebih dari hamparan gurun pasir tak berujung,
tak ada kehidupan,
dan tak ada Samudra disana.
Iya, Samudra.
Pria yang sudah empat tahun lamanya menghilang dari kehidupan Adhara.
Menghilang membawa semua rasa cinta Adhara,
Sampai Adhara sendiri tak bisa mencintai orang lain,
Tapi bukan itu yang membuat Adhara sedih, melainkan karena Samudra menghilang bersama dengan seorang wanita.
Wanita yang tak Adhara ketahui dengan jelas siapa,
Yang Adhara tau wanita itu sempurna untuk Samudra.
Adhara tak pernah mempertanyakan wanita itu pada Samudra,
Ia terlalu takut menerima kenyataan,
Walau pada akhirnya Adhara pun menyerah,
Menyerah pada kenyataan yang terjadi saat itu,
Menyerah pada semesta yang tak pernah berpihak padanya.
Menyerah pada Samudra yang meninggalkannya tanpa sepatah katapun.
Adhara bangkit dari tempat duduknya, bus yang ia tunggu sudah tiba.
Adhara duduk di dekat jendela yang terbuka lebar.
Ia melipat tanganya di jendela itu kemudian membaringkan kepalanya,
Membiarkan angin malam bebas membelai wajah beserta rambutnya,
“semesta, bolehkah aku memohon. Mungkin akan terdengar egois. Tapi bisa kah kau kembalikan Samudra padaku? Aku merindukannya.”