Menunggu paling lama bukanlah menunggu karna jarak, melainkan menunggu hati seseorang untuk kembali. Aku mengalami sendiri hal itu. Aku dan dia dekat secara jarak, tetapi jauh untuk perasaan. Karna satu kesalahanku di masa lalu, aku membuatnya menjauh. Dia, Asral, laki-laki yang pernah sangat dekat denganku. Aku sudah berulang kali meminta maaf dan menjelaskan kesalahpaham yang dulu terjadi, namun dia tetap tidak mau mendengarkan.
“As, dengerin penjelasanku yaah.” Aku mencoba lagi untuk menjelaskan padanya.
“Udah, An. Stop. Jangan bahas masa lalu, aku perlu ngelanjutin hidup begitu juga kamu.” Dia menatapku dengan sorot lelahnya.
“Tapi, aku gak mau kamu ngejauh dari aku.” sudut mataku tanpa terasa mengeluarkan air mata.
“Hey, denger. Kita itu masa lalu, di masa sekarang hanya ada Aku dan Kamu. Kita masih bisa berteman, gak ada yang perlu kamu takutin. Dulu sebelum kita bersama kita adalah sahabat, dan sekarang pun kita masih sahabat.” Asral memegang kedua bahuku dan mengatakan itu semua dengan yakin. Sedangkan aku, harus mati-matian menahan agar tangisku tak pecah.
“Kamu tahu, hubungan kita gak bisa kembali seperti dulu. Kamu memang masih sahabat aku, tapi kamu gak lagi sedekat dulu. Aku mohon maafin aku yaa…” tangisku tak bisa kutahan lagi, aku menagis sesengukan di depan Asral.
“Hey, Anjani. Kamu jangan nangis.” Asral memelukku erat dan masih hangat seperti dulu.
“Aku mau kamu.” ucapku di sela-sela tangisku.
“Aku bakal selalu di samping kamu, tapi untuk kembali bersama. Aku minta maaf, aku gak bisa.”
“Kamu mau aku nunggu ?? berapa lama, aku bakal nunggu kamu.” Aku melepas pelukannya dan menatap matanya dengan sorot putus asa.
“Gak ada yang perlu ditunggu. Kita jalani kehidupan kita masing-masing, dan aku akan selalu disini ngawasin kamu.”
“Gak bisakah kita ngejalani hidup ini sama-sama ??”
“Maaf, An. Kamu gadis kecilku, jangan lemah hanya karna aku.”
Aku kembali menangis dan Asral kembali memelukku. Aku yang untuk kesekian kalinya menyesali perbuatan ku dulu. Dulu, aku tak bermaksud untuk menduakan Asral. Hanya saja ada orang lain yang bisa membuatku tertawa di saat Asral tidak bersamaku. Kesalahan terbesarku adalah aku menganggapi orang itu, dan kini aku harus kehilangan Asral.
Setelah pertemuanku dengan Asral malam itu, aku mengurung diri di dalam kamar. Aku menjauh dari orang luar dan segala berita mengenai Asral. Hingga sebuah berita mengejutkanku, Asral mengalami kecelakaan.
Aku keluar dari kamar dan segera menuju ke RS, tak kupedulikan lagi penampilanku yang acak-acakan. Setelah sampai aku segera menuju ke UGD, tempat Asral ditangani. Hampir setengah jam aku menunggu dengan cemas diluar, seorang dokter keluar dan menyuruhku masuk, karna Asral ingin bertemu denganku.
“Asral…” panggilku mendekati ia yang terbaring lemah di ranjang RS.
“An….” Aku menggenggam uluran tangannya. Air mataku sudah tak terbendung lagi.
“Kamu jangan nangis, aku baik-baik aja kok. Kamu gadis kuat, gak boleh jadi lemah cuman gara-gara aku. Aku bakal terus ngawasin kamu dari sana, kamu yang baik-baik disini. Aku sayang kamu, Anjani.” setelah mengucapkan sederet kalimat itu, garis di monitor menjadi lurus, tangan yang berda di genggamanku terkulai, dan Asral menutup mata.
“Aralll!!!”
Asral ku sudah pergi, dan aku akan tetap menunggu untuk bisa bersamanya.