"Pagi Dewi," sapa rekan kerja di kantor.
"Iya pagi," balasku dengan senyuman terpaksa.
Mungkin mereka berpikiran ada sesuatu hal yang sedang terjadi padaku, yes right! Bener banget. Ini semua tak lain adalah karena keputusan Pak Taufiq yang mengharuskan aku dan Simo kembali berpartner.
Kenapa harus Simo sih? Kan bisa partner sama Kak Dito? Pak Reno? Tika? Fina? Kak Reza juga, kenapa harus cuti sih? Iiissshhh nyebelin.gerutuku sembari menatap laptop sesekali mengetik laporan.
Jam di dinding tercetak angka 11.02, sudah jam segini tapi pekerjaanku terbengkalai.
Ini semua gara-gara Simo.ucapku merapikan meja kerja yang berantakan, lalu mengetik laporan.
"Mbak Dew, ayo kantin." ajak Fina masuk ke ruang kerjaku.
"Loh? Lu kenapa gak maksi? Udah, ayo maksi dulu. Ntar gue bantu deh kerjaan lu." Tika menggeret tanganku mengajak ke kantin.
Setibanya di kantin, Fina memesan makanan dan minuman sedangkan aku dan Tika duduk menunggu di kursi kantin yang letaknya di pojokan.
Dari kejauhan, pandangan mataku tertuju pada Simo yang sedang makan siang bersama Kak Ical, Kak Reza, Kak Reno dan Pak Rudi. Simo tertawa terbahak-bahak, melihat ekspresi Simo membuatku seketika tersenyum.
Jujur, baru kali ini aku melihat Simo bisa tertawa seperti itu. Tawanya seperti lepas tidak ada beban. Tidak seperti biasanya, tawa yang kaku dan hanya formalitas saja.
"Hei Dew...." panggil Tika sembari memukul tanganku.
"Heh, apa Tik?" tanyaku gelagapan.
"Lu ngapain? Senyumin apa sih?" tanya Tika penasaran, ia kemudian menoleh ke arah yang aku lihat.
"Ciyeee, jangan dilihatin Mbak Dew, Simo emang udah berubah, sepertinya dia berubah sejak pertengkaran hebat kalian deh." tutur Fina sembari meletakkan makanan.
"Iya, Simo sekarang udah banyak berubah." imbuh Tika.
"Jangan-jangan perubahan Mas Simo karena love kamu Mbak Dew." ucap Fina terkikik.
Uhukk
Dengan sigap Simo memberikan air mineral yang masih bersegel kepadaku.
"Makasih." ucapku sembari membuka tutup botol kemudian meneguknya.
"Sama-sama," balas Simo tangan kirinya mengambil sesuatu dari dalam saku celananya.
Simo mengusap sisa makanan yang belepotan di sekitar mulutku, tangannya gemetaran membuat hatiku berdebar jantung serasa copot.
Gak-gak, ini perasaan apa sih? Jangan bilang ini cinta? Gak-gak. No way. Ah palingan ini cuma reaksiku aja.gumamku.
Aku dan Simo saling memandang, bahkan suara riuh di area kantin kita abaikan. Simo tersenyum sebelum akhirnya meninggalkanku, meninggalkan debaran hati yang semakin menggebu, seolah di dalam dada berlarian hendak keluar.
Aku berusaha menyembunyikan perasaan yang belakangan ini kurasakan, hanya Rika-sahabatku yang mengetahuinya.
Simo acap kali cemburu saat aku ngobrol dengan rekan kerja cowok, sempat ia marah pada Vino teman kampusku karena mengantarkanku pulang larut malam.
Perhatian dan kecemburuan Simo semakin hari semakin tergambar jelas di raut wajahnya, sayangnya ia tidak mau mengatakan sejujurnya. Berbagai cara kulakukan, nyatanya ia tak kunjung mengungkapkan sampai akhirnya Ijazah Sarjana Akuntansi Negara dari STAN kudapatkan.
Dorongan dari rekan kerja di kantor seolah tidak berhasil, nyatanya di kursi tunggu Bandara aku tidak melihat Simo menampakkan batang hidungnya.
20 menit berlalu, Simo tak kunjung juga datang.
"Sepertinya hanya aku yang merasakan cinta, sebaiknya cukup ku pendam saja rasa ini. Aku juga tak punya nyali untuk memulai, apalagi Simo selama ini seolah tak menggubris kode-kode yang kuberikan."