Pemuda dengan rahang tegas dan bahu tegap itu berjalan mendekatiku. Senyumnya teduh sama halnya dengan tatapan miliknya. Setelah kuamati dari jauh, dia berhenti berjalan disaat berjarak satu meter dari hadapanku, dia mulai membuka suara. Senyumnya tidak pernah luput sedikitpun.
"Siang Ace, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Pulang kuliah langsung ke cafe tempat biasa ya."
Namanya Gilang. Laki-laki yang menyandang sebagai sahabat kecilku itu memang sering menghabiskan waktu bersamaku selesai kuliah. Jurusan kami berbeda. Aku jurusan Farmasi dan Gilang jurusan Tehnik. Selain itu, aku yang baru saja sarjana satu sudah ketinggalan jauh dengan Gilang yang mengambil sarjana dua.
Pukul enam sore. Setelah menyelesaikan seluruh tugas dan kelas tambahan, aku memesan ojek online untuk pergi ke cafe yang ditunggu Gilang.
"Jadi kamu mau mengatakan apa?" Tanyaku langsung ke intinya. Gilang menatap mataku intens, senyumya mengembang. Jantungku berdebar-debar.
Bisakah sehari saja kamu tidak membuatku jatuh hati?
Gilang terkekeh kecil. Lesung pipitnya terlihat jelas, pipinya merona, sepertinya ia sangat malu mengungkapkan sesuatu.
"Gilang?"
Gilang berhenti tertawa, kemudian memegang punggung tanganku lalu mengelusnya. Aku benar-benar terkejut.
"Ace, umur kita 'kan sudah dewasa. Bukankah sudah waktunya kita untuk menikah?" Gilang menatapku dengan serius. Aku bingung ingin ber-ekspresi senang atau ragu. "Kalau aku ingin menikah, tidak masalah lagi bukan? Kamu juga sudah waktunya untuk menikah."
"Aku... menikah?" Kataku dengan naga gugup. Gilang mengangukkan kepala. "Tapi, dengan siapa?"
Aku tahu jawabannya, namun aku hanya memancingnya.
Gilang mengulum senyumnya. "Dengan seseorang yang menerima sisi burukmu."
"Gilang sendiri dengan siapa?"
Raut wajah Gilang kembali cerah, pipinya terlihat merona. Aku semakin menerka hal-hal aneh.
"Ada seorang gadis yang aku cintai selama ini," seru Gilang dengan napas menderu. Aku semakin tersenyum lebar. "Orang tuaku sudah merestui hubunganku dengan gadis itu. Dua hari yang lalu aku baru saja melamarnya."
Aku menyerngitkan dahi heran. Senyumku belum luntur. "Melamar? Kenapa aku baru tahu? Dengan siapa?"
"Gadis itu bernama... "Gilang mengecilkan suaranya membuatku memukul pundaknya keras. "Aku malu bilangnya."
"Ya ampun Gilangg!!" Aku benar-benar gemas dengan wajah malu laki-laki itu.
"Senia."
"Apa?" Aku mendengar jelas, namun ingin meyakinkan diriku.
"Nama gadis itu Senia." Gilang terkekeh kecil, senyumnya memang tidak selebar tadi, namun cukup menguatkan keyakinanku. "Aku akan menikah dengannya minggu depan."
Lantunan musik bernada rendah mengisi ruang di dalam telingaku. Aroma serbuk kopi tercium harum. Mentari senja memudar dengan perlahan. Tertutup dirgantara yang terbangun bak dinding pembatas. Aku jatuh. Terjebak dalam alur yang justru tak sesuai impian.
Aku berusaha tersenyum, "Aku turut bahagia."
Huaa gantung sangat