Gemuruh tepuk tangan terdengar membahana, ketika seorang pemuda bertubuh kekar dan berambut gondrong yang diikat menjadi satu ke belakang berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Matanya berkilat penuh kemenangan pada seorang pemuda yang berdiri tidak jauh darinya. Senyum meremehkan tercetak di bibirnya, melihat tubuh pemuda di depannya yang sudah penuh lebam dan luka akibat permainan kasarnya. Permainan one on one membuatnya lebih leluasa untuk melampiaskan seluruh emosi. Baginya tidak ada yang lebih menyenangkan saat ini, selain melihat pemuda itu hancur di depan matanya.
Arga berdiri, bertumpu dengan salah satu kakinya. Napasnya satu-satu, seolah ditarik paksa dari paru-parunya. Pandangannya mengabur dengan tubuh yang sudah mati rasa. Di tengah rasa sakit yang mendera, bibirnya justru tersenyum tipis. Senyum penuh kepasrahan, jika saat ini ia harus kehilangan napasnya. Bukankah tidak ada lagi yang bisa ia harapkan dalam hidupnya? Ia sudah siap menyambut kehancuran.
Tepat ketika ia baru saja berdiri dengan kedua kakinya, seseorang kembali menabrak tubuh lemasnya dengan keras. Tubuh ringkihnya terbanting, kepalanya menghantam lantai semen, tanpa melakukan perlawanan. Matanya memandang menerawang pada langit gelap di atasnya. Seruan penonton yang semula terdengar bergemuruh, semakin lama semakin menghilang. Telinganya berdengung, pandangannya menggelap. Dan di detik berikutnya, ia telah kehilangan kesadaran sepenuhnya. Tenggelam dalam kedamaian yang telah mengulurkan tangan padanya. Di bawah rintik hujan yang mulai turun satu per satu, ia akhirnya menyerah pada luka dan takdir yang sudah digariskan semesta.
Di tempat berbeda, seorang gadis tengah bertarung antara hidup dan mati. Suara elektrokardiograf di samping brankarnya berbunyi cepat. Napasnya tersengal-sengal, matanya mulai terasa berat. Perlahan namun pasti, mata itu mulai tertutup. Derasnya hujan dan gelegar guntur, seolah mengantarkannya untuk melangkah menuju tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya
Di bawah derasnya hujan dan sebelum dua pasang mata itu tertutup rapat, mereka menyampaikan pertanyaan yang hampir serupa pada semesta; “bisakah kita kembali dipertemukan dengan jalan takdir yang berbeda?”
Terima kasih, kak @IndyNurliza π
Comment on chapter Prolog