Ini adalah simfoni hidupku. Simfoni kesedihan.
Duduk termangu menatap pertunjukan orkesta yang disuguhkan, ia datang seorang diri. Pertunjukan tampak hambar walau ia tau musik yang disuguhkan begitu menakjubkan karena beberapa penonton menatap kagum kecuali dengannya yang terlihat tak menikmati. Sibuk melamun. Sibuk dengan dunianya sendiri. Banyak beban pikiran yang bermunculan di kepala. Memenuhi ruang dalam kepala. Menyebalkan. Suara-suara dalam kepalanya sudah seperti simfoni yang terus berputar tanpa diminta. Kegundahan hatinya membuat ia tak fokus menyaksikan pertunjukan. Pertunjukan yang seharusnya ia nikmati justru terasa hambar. Secinta apa pun ia akan musik, jika lingkungan sekitar tak mendukung. Ia bisa apa. Kemudian memori dalam otaknya memutar kejadian beberapa hari yang lalu. Di mana kegundahan hatinya dimulai.
“Musik engga menjamin masa depan kamu. Kamu pasti tau itu.”
“Ibu sudah mendaftarkan kamu di jurusan manajemen dan bisnis. Jangan menolak lagipula ada temen kamu juga di situ. Ibu yakin dia pasti akan jagain kamu.”
Tangannya mengepal, suara musik yang mengalun tak bisa ia tangkap sepenuhnya. Harusnya ia tidak datang jika berakhir tidak menikmati seperti ini padahal sudah lama ia ingin menyaksikan pertunjukan orkesta. Tapi setelah berada di dalam, bahkan duduk di kursi paling depan. Ia sama sekali tak menikmati pertunjukan. Pikirannya melalang buana. Tak lagi di tempat. Hatinya masih saja diliputi rasa gundah. Perkara memilih jurusan yang tak kunjung menemui titik membuat hatinya gelisah. Ibu tetap melarangnya masuk jurusan musik dan justru mendesak untuk masuk jurusan manajemen yang sama sekali bukan bidang minatnya. Walau ibu bicara dengan nada penuh keyakinan jika ia pasti bisa melalui hari-hari pertamanya di jurusan yang ibu pilih karena ada ‘orang itu’ tapi ia tidak sejalan dengan sang ibu. Ia tak seyakin sang ibu. Musik adalah dunianya, semesta dalam dunianya ia sebut simfoni. Dan sayangnya, simfoni dalam hidupnya merupakan simfoni kesedihan. Ia menjalani hidup bukan atas kemauannya sendiri. Ia benci dengan dirinya yang tak bisa menjalani hidup seperti apa yang ia mau. Ditambah kisah cintanya tak semulus orang kira.
“Aku engga tau kalau kamu jadi nonton orkesta, aku pikir kamu engga jadi nonton.”
Langkah kakinya terhenti, pertunjukan telah berakhir dan ia baru tau jika orang itu juga datang terlebih tidak datang sendiri.
“Ah, iya kalian belum saling kenal ya? Ini Diandra, pacar aku. Di, kenalin dia Nala, temen blangsak aku. Eh engga ding, dia mah maung kalau galaknya kambuh.”
Ia menatap laki-laki itu tajam, lantas tersenyum canggung pada gadis di sebelah laki-laki itu apalagi ketika gadis yang bernama Diandra memperkenalkan diri. Wajahnya cantik, ia terlihat anggun dan dewasa berbeda jauh dengannya yang berpenampilan cuek dan terkesan boyish.
“Kata Bunda, kamu mau masuk jurusan manajemen juga ya? Udah gede gini masa Bunda nyuruh aku jagain kamu, makanya cari pacar juga sana. Biar ada yang jagain.”
Dan salah satu faktor yang membuatnya berat menerima usulan ibu untuk masuk jurusan manajemen bukan hanya karena ia ingin masuk jurusan musik tapi juga karena ada laki-laki itu di sana. Laki-laki, teman kecilnya dan juga cinta pertama sekaligus bertepuk sebelah tangannya. Hatinya makin gundah. Apa yang seharusnya ia pilih? Dan simfoni kesedihannya baru saja dimulai.