"Aku menyukai sahabatmu. Dia jauh lebih mandiri, juga lebih menyenangkan. Maaf kalau menyakitkan, tapi aku ingin jujur untuk menghargai kamu dan hubungan kita."
Belasan tahun aku hidup, belum pernah aku mendengar ucapan yang tiap katanya begitu menikam. Bertubi-tubi, tanpa ampun. Aku pikir aku benar-benar akan mati. Dadaku sesak mendengar ucapan laki-laki ini, kekasihku yang hanya bisa kupertahankan selama tiga bulan. Demi Tuhan! Aku betul-betul pecundang!
Aku benci dirinya! Bagaimana bisa dia menghargai hubungan kami dengan menyakitiku begini??! Dan sahabatku ... kenapa harus dia? Haruskah juga memberitahu kekuranganku dibanding sahabatku, membuatku merasa seperti barang rusak?!?!
Tentu saja tak kukatakan itu semua padanya. Kalau tujuannya putus, aku tidak akan semudah itu diputuskan! Lihat saja, akan kuperjuangkan hubungan kami!
"Kita coba perbaiki dulu ya?" Tanyaku menahan tangis. Aku tak mau terlihat lemah dan manja. Dia menangguk.
***
"Mba, cheesy pastanya masih lama?" Tanyaku gusar.
"10 menit lagi ya," kata pelayan ramah. Dadaku berdebar. Inilah langkah pertama perjuanganku. Aku tahu dia suka pasta, tapi aku tidak pernah membuatkannya. Bukan tidak mau, aku memang tidak bisa memasak. Tapi aku tidak menyerah! Aku yang tidak pernah membelikannya apapun kini berniat mampir ke tempat kerja paruh waktunya dengan membawa makanan kesukaannya.
"Ini Mba," kata pelayan itu. Aku bahagia melihat cheesy pasta yang sudah terbungkus rapi.
"Sendok-garpunya dua ya, mau dimakan bareng," kataku dengan senyum mengembang.
"Mau makan bareng pacar ya?" Kata Mba pelayan ramah itu. Senyumku makin lebar.
"Kenapa ngga bikin sendiri aja? Biar lebih spesial?" Harapanku menyurut mendengarnya. Kutatap bungkusan cheesy pasta yang sudah ditambah sepasang sendok-garpu. Cheesy pasta ini mulai terlihat seperti aku, kehilangan keistimewaannya ...
***
Aku mencari bahan-bahan cheesy pasta di pasar swalayan. Kepalaku berkedut mengingat usaha terakhirku dengan makanan yang kubeli untuknya. Semula semua berjalan lancar. Dia terkejut, tersenyum bahagia dan melahap pasta itu. Aku tersenyum lega. "Dia kembali," begitu pikirku.
Dengan setengah menerawang dan keterampilan seadanya, aku mulai memasak menggunakan resep online. Hal ini tidak pernah kulakukan karena tak kuminati. Kini kusentuh demi perjuangan menjadi spesial kembali.
Merebus pasta, memarut keju, semua ini membuat mataku panas. Aku teringat bagaimana dia bercerita tentang spesialnya sahabatku sambil memakan cheesy pasta itu.
Akhirnya selesai, makanan buatanku yang pertama kali. Tidak begitu sulit ternyata, rasanya pun lebih enak dari dugaanku. Tapi aku tidak senang. Aku tidak puas.
Aku ke tempatnya, meminta maaf karena terakhir bertemu aku memarahinya, karena hatiku sakit mendengar kekagumannya terhadap sahabatku.
Melihat cheesy pasta bikinanku, wajahnya bersinar. Dia memaafkanku. Aku menatapnya dengan air mata menggenang yang tak dia sadari.
Apa kamu juga tak ingin minta maaf karena membicarakan perempuan lain di depanku? Seolah aku hanya sahabat, hanya teman curhat.
Dia membuka wadah cheesy pasta bikinanku, aku melihatnya seperti dalam gerakan lambat. Makanan yang kubuat pertama kalinya dengan susah payah ... yang istimewa bagiku ...
Dia tidak sepadan ...
Aku menahan suapannya. Dia menatapku dan kini dia bisa melihat air mataku. Aku menarik nafas, pelan dan panjang. Kusesap semua perih yang terbawa. Aku harus terbiasa, karena tidak ada gunanya lagi membohongi diri. Aku sudah kehilangan dia jauh sebelum dia pergi.