"Kamu mau bawa aku kemana?"
"Ke tempat yang aku suka."
"Iya. Tapi dimana?"
"Bentar lagi nyampe, Des."
***
Deasy, cewek yang aku suka, sudah tahu apa yang menjadi kesukaanku, yaitu menatap dan membuat puisi tentang senja. Puisi-puisi yang baru selesai aku buat, selalu aku kirim ke WA-nya dulu, sebelum aku posting ke blog pribadi aku. Dan, dia selalu suka. Dia mengerti maksud dari puisi-puisiku, tentang senja dan dirinya.
Des, lagi apa?
Ya, lagi nunggu puisi dari kamu. Pasti kamu sekarang lagi menatap senja dan membuat puisi, kan?
Deasy pembaca setia blog aku. Dia selalu memberi komentar atau terkadang hanya memberi 'like'. Dia ternyata tetangga kelasku yang aku kenali dari nametag-nya: Deasy, yang mirip juga dengan nama blognya: storydeasy. Selain namanya yang berbeda, ketika dia melihatku, dia tersenyum, seperti telah lama mengenalku.
Feeling-ku mengatakan bahwa dia yang suka baca dan memberi komentar untuk puisi-puisiku.
"Boleh minta nomor WA kamu?"
"Boleh."
Seperti memberi kode bahwa dia juga tidak keberatan untuk aku minta nomer WA-nya. Semenjak itu, kita mulai sering chatting-an dan saling melihat image status WA masing-masing.
***
"Aku gak suka mataku ditutup kayak gini."
"Iya, tenang, ya. Bentar lagi."
"Iya, tapi aku gak suka. Aku mau pulang."
"Lho, kok, pulang."
"Aku gak suka kayak gini. Kamu mau membawa aku ke tempat dimana kamu selalu melihat senja dan membacakan puisi buatku, kan?"
"Iya."
"Aku gak mau. Aku gak suka,"
"Kenapa?"
"Kamu mau nembak aku dengan puisi? Maaf aku gak bisa. Aku gak bisa nerima kamu."
"Deasy?"
"Maaf, Fer. Aku mungkin suka dengan puisi-puisi kamu, tapi nggak untuk menerima cinta kamu."
***
Mungkin itu kata-kata terakhir yang terdengar dari mulut Deasy. Komentar dan like terakhir juga. Bahkan, dia memblokir WA-ku. Tapi, aku tidak marah. Aku terima keputusan Deasy. Mungkin karena aku terlalu ge-er dengan semua apa yang telah Deasy lakukan kepadaku. Yang aku sesalkan hanya, senja hari itu ternyata telah aku lewatkan.
Aku memang menatap senja di tempat aku biasa menatapnya. Tapi, sepertinya hari itu senja tidak berwarna. Tidak ada warna keemasan yang biasa aku lihat. Apakah ini maksud dari kutipan Seno Gumilar Ajidarma bahwa: Setiap hari ada senja, tapi tidak setiap senja adalah senja keemasan. Dan, setiap senja keemasan tidaklah selalu sama.
Atau, aku yang terlalu jauh membandingkan perasaanku yang kosong dan hampa pada hari itu dengan kutipan dari Seno Gumilar Ajidarma. Entahlah. Yang jelas, aku gagal mempunyai pacar yang suka dengan senja yang nyata, bukan dengan puisi senja yang biasa aku buat.
***
Fer, apa kabar? Maaf, ya, selama ini aku menjauhi kamu. Oh, ya. Fer. Ini aku coba buat puisi tentang senja. Dibaca, ya, Fer. Mungkin, puisi ini menjadi jawaban untuk pertanyaan yang dulu akan kamu berikan kepadaku. Semoga puisi ini menjadi senja pengganti yang dulu sempat kamu lewatkan. Senja keemasan yang telah lama kamu tunggu. Balas chat aku ini, ya, Fer.