Hari ini, tepat 1 tahun lalu kau memberiku sebuah pena dalam balutan rasa yang mengakukan diri sebagai cinta. Pena yang terlalu rajin menghambur-hamburkan isi, belagak akan abadi.
Seminggu lalu, dengan pena itu kupakai menulis sebagaimana biasa, pada sebuah surat dengan alamat penerima istimewa. Di pojok atas kertas terpatri namamu dengan garis tulis yang tak biasa, ada getar yang membuatnya buyar. Namun, surat itu tak pernah sampai, karena aku hanya ingin berdiskusi dengan diri sendiri, mengadu pada hampa yang menyesakkan. Tintaku mengering, penaku terhenti, yang tertoreh hanya kosong dan sepi.
Sudut mataku menangkap segaris cahaya diantara tirai tirai jendela, membelah remang dalam lelah. Sama sekali tidak membatuku keluar dari napas kesedihan yang gelap pekat menutupi kesadaran. Lalu, berandai andai-andai pun menemui titik mulai.
Andai hari itu masih ada, aku akan kirim potongan tiket teater, sketsa wajahmu dari mulai yang paling sempurna sampai hanya garis dasar penyok, dari selarik kata hingga berbait doa … semua tentang kita akan kukirim sampai tidak ada sedikit pun tempat di kamarmu yang tidak tertutupi kenangan. Aku juga akan mengirim diriku!
Embun terbentuk di tepi mata saat ratusan kertas tanda kita pernah saling tergila-gila nyaris tandas dilalap api. Aku paham betul, ingatan itu tidak hanya terpenjara dalam kata atau benda yang dapat dilapuk energi kimia maupun fisika. Ingatanku hidup di atas tubuhmu yang tak mungkin kuseret ke sini dan kuringkus dengan selimut untuk turut dibakar. Lagi pula, masih ada kelabilan yang memberangusku dalam ketakutan dan kekhawatiran tentang seberapa lama warasku dapat bertahan. Sebagian dariku ingin kamu pergi, berbalik menjalani kehidupan sendiri sendiri. hidupku, hidupmu, tapi sebagian lain dari aku berdemokrasi, “Raditya! Raditya! Raditya!” Bersorak mengidupkan dan berdoa agar panjang umur.
Surat itu tak pernah sampai. Tintaku surut sedangkan cinta ini tetap pasang. Bagai terserap dalam satu titik kosmik, tubuhku enggan berbalik ke arah yang berlainan, kuhadapi bumbungan asap yang mulai menghitamkan jendela. Kabut imajinari mengepul di atas kepala, turut serta memenuhi udara. Andai hujan dapat turun di kamar, membasuh luka, membuat setiap air mataku terhitung pasti tanpa terasa sia-sia. Aku hanya berandai-andai di muka cerita yang bubuk dalam abu bisu.
Surat undangan pernikahan kamu dengan wanita yang bukan aku datang lebih dulu sebelum aku mengirim surat tentang betapa rasaku masih tumbuh dan terawat. Aku marah! Kenapa tintanya habis ketika aku akan menulis kata terakhir : “Kamu akan jadi ayah.”Aku lagi-lagi menangis, merasa sesak bukan main. Pintu digedor terlalu keras, mereka berteriak tentang apa yang aku lakukan sampai asap keluar dari kamar.
Ayolah, aku hanya ingin membakar semua hal yang memiliki nilai kenangan dan jejaknya. Aku? Ya, aku juga punya nilai dan jejak itu.