Seperti debu musim kemarau yang bisa tersapu oleh hujan, mungkin seperti itulah perasaan yang tadinya menggebu-gebu, meradang, dan membuncah bisa menguap begitu saja tak bersisa. Pasalnya memang karena hubungan yang tidak bisa diperbaiki. Dipertahankan hasilnya nihil. Diselamatkan hasilnya mustahil. Maudy—perempuan berumur dua puluh dua tahun yang sedang sibuk dengan skripsinya berpendapat begitu. Status berpacaran dengan Satya yang hampir berjalan dua tahun hanya membuatnya uring-uringan tidak jelas karena kelakuan Satya yang kerap membuatnya jengkel. Kesibukan laki-laki itu setiap hari hanya dilimpahkan untuk urusan kantor dan waktu luangnya digunakan untuk nongkrong dengan teman-temannya. Maudy seperti serpihan debu yang tidak berarti apa-apa untuk Satya. Kekasih yang tidak dianggap. Karena hal inilah ia mengajak pacarnya untuk mengadakan pertemuan.
Jam tujuh malam di sebuah restoran yang cukup ternama di kota Bandung. Satya menemui Maudy yang ingin bertemu dengannya. Ia yang memilih tempatnya meski awalnya perempuan itu menolak untuk bertemu di restoran yang menarik tarif mahal untuk sekali makan.
“Tumben kamu ingin bertemu malam hari, Dy?” tanya Satya yang sudah duduk di kursi. Ia menatap wajah pacarnya yang gugup.
“Sebenarnya ada sesuatu yang aku ingin bicarakan dan nggak perlu di tempat semewah ini, Kak,” ucap Maudy sambil memainkan jari-jari tangannya. Ia sudah memikirkan keputusannya untuk berpisah dengan Satya.
Satya mengernyitkan dahi. “Hal yang serius ya? Kamu mau bahas skripsi?” tanya Satya.
“Bukan, Kak. Ini menyangkut hubungan kita,” jawab perempuan itu tanpa memandang ke arah Satya.
“Kita pesan makanan dahulu ya. Kita bicarakan itu sambil makan,” kata Satya yang mulai melihat daftar menu.
Di sela-sela saat makan, Maudy menatap Satya. Ia melihat ke arah laki-laki yang tampak lelah dari gurat matanya. “Kakak kurang istirahat ya? Mata Kakak kelihatan lelah sekali?” ucapnya.
Satya tertawa. “Iya. Kan aku cari uang untuk masa depan kita.”
Mendengar itu Maudy tersedak. Dengan sigap Satya segera menyodorkan minum untuk pacarnya. “Sebenarnya aku mengajak Kak Satya mengobrol ingin membahas tentang hubungan kita. Aku ingin minta putus, Kak,” ucapnya lirih namun masih bisa didengar Satya.
Mendengar itu mata Satya membulat. “Kenapa, Dy? Kamu bosan denganku?”
“Tidak, Kak. Aku hanya merasa hubungan kita semakin renggang saja. Kalau kita memaksakan untuk tetap bersama, aku takut salah satu dari kita tersakiti,” ucap Maudy.
Satya memegang tangan Maudy. “Aku cinta sama kamu, Dy. Kalau kamu merasa akhir-akhir ini, aku sibuk dan tidak memperhatikan kamu. Aku memang sengaja untuk memberimu waktu untuk fokus dengan skripsimu dan aku fokus dengan kerjaanku. Semua ini aku lakukan karena aku ingin menikahimu, Dy,” ucapnya.
Mendengar itu Maudy tampak terkesiap. Ia baru saja menyadari bahwa yang egois adalah dirinya. Ia harusnya lebih memahami keadaan.
“M-maaf, Kak. Aku yang egois dan nggak tahu diri,” ucapnya.
“Sudah tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Kita perbaiki semuanya bersama-sama ya,” kata Satya sambil tersenyum lembut. Seketika hati Maudy luluh kembali.
Sebuah perjuangan untuk memahami pasangan tidak hanya dilakukan dengan seberapa ia mampu bertemu denganmu setiap hari atau mampu membalas chat-mu setiap waktu. Perjuangan juga bisa dilihat dengan seberapa gigih ia melakukan tanggung jawabnya untuk merancang masa depan yang cerah untuk bisa bersama denganmu sampai hari tua.
-0-