Kalau kata Afita, antara apel sama semangka lebih enakan jeruk. Kalau kata Dinda juga antara jambu sama leci lebih enakan manggis. Tapi menurutku, kedua istilah tadi nggak lebih membingungkan dari memilih antara gebetan sama sahabat sendiri.
Fiuhhh!
Kalian tahu? Kemarin Bobi menembakku. Iya, di kelas sewaktu mau pulang. Aku nggak nyangka dia yang katanya anti cewek itu malah menginginkanku jadi pacarnya. Sudah satu tahun sejak masuk ke sekolah ini aku mengincar dia. Dan sampai sekarang rasa itu masih ada. Meski sempat nggak yakin kenapa tiba-tiba dia melakukan hal tersebut, aku juga nggak ingin munafik kalau bilang nggak bahagia. Nyatanya saat itu juga aku ingin berteriak kencang jika saja Leon nggak menatapku tajam dari jendela.
Hmm, sahabatku sejak SD itu ada di sana, bersembunyi di balik jendela sembari menunggu jawabanku untuk Bobi. Aku tahu dia orangnya over protektif. Leon nggak pernah suka aku dekat sama cowok lain. Seperti kemarin, dia sampai mendobrak pintu kelas untuk menarikku pulang. Padahal peraturan tetangga sebelah nggak boleh ada siswa yang masuk kelas siswa lain.
Mengingat hal itu membuat pusing di kepalaku kian bertambah saja. Aku sama sekali belum memberikan kepastian sama Bobi. Aku harap dia sabar menunggu. Cepat atau lambat aku harus segera menemuinya.
"Hey!"
"Astagfirullah!" Aku tersentak saat bahuku ditepuk seseorang. Kualihkan mataku yang sebelumnya menatap bakso ke sumber suara.
Leon, cowok blasteran Indonesia-Rusia yang tak lain adalah sahabatku sudah berdiri sambil menyengir seolah nggak bersalah.
"Ngapain, sih, dateng-dateng ngagetin aku?!" seruku. Dia malah terkekeh. Ngeselin, kan?
"Kamu aja yang ngelamun nggak denger aku panggil-panggil." Leon duduk disampingku.
"Ada apa?" tanyaku sambil mengernyitkan alis. Dia terdiam sejenak, lalu menatapku dengan tatapan yang nggak bisa kuartikan.
"Kamu ada ketemu Bobi hari ini?"
"Enggak."
"Bohong!"
"Ih, aku nggak bohong, ya. Lagian kamu kenapa nanya gitu?" Sikap over protektifnya mulai keluar.
"Aku cuma nggak suka kamu deket-deket sama dia. Pokonya aku minta kamu jauhin cowok itu!"
"Kamu sebenernya kenapa, sih, Le? Nggak cuma kali ini, sejak dulu kamu nggak suka aku deket sama cowok selain kamu. Kamu inget Irham? Aku nggak tau kamu apain dia sampai nggak masuk sekolah tiga hari. Le, plis ... nggak usah terlalu over sama aku. Aku udah gede, tau mana yang buruk sama enggak." Tanpa sadar aku mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini kusimpan. Mataku berkaca-kaca.
Leon menatapku sendu. Dia mengambil tanganku untuk digenggamnya. "Maaf, aku bukan mau larang kamu sama cowok lain, Pril. Aku cuma takut, takut kalau kamu lupain aku. Aku nggak mau kamu lupa sama sahabat kamu sendiri kalau udah punya pacar. Maaf kalau selama ini kamu merasa dikekang." Aku menangis. Leon bangun untuk memelukku.
Aku tidak ingin menyakitinya, tapi aku juga nggak mau terus melukai hatiku hanya untuk memaklumi sikapnya. Bolehkah aku marah? Bolehkah aku mengatakan ini tidak adil? Ternyata begini rasanya berada di posisi dilema antara sahabat sendiri sama gebetan.
"Kalau kamu mau pacaran sama dia, nggak papa. Tapi aku pamit pulang ke negara asalku, ya."
Tuhan, tenggelamkan saja aku sekarang.
mungkin bodyguard tetanggamu itu leon yang menyamar...