Udara malam begitu panas meski mungkin tidak bagi orang lain. Kulempar saja jaket tebalku ke jok belakang karena telah membuat banjir keringat hingga membuat bajuku basah. Bergegas aku keluar dari mobil. Rupanya angin yang berhembus kencang di luaran tak cukup membuat tubuhku mendingin. Suara angin malam yang bergesekan dengan dedaunan malah menimbulkan bunyi yang menyayat hati membuat bulu kudukku berdiri sebagian. Segera saja kuketuk pintu rumah Dina dengan agak kencang. Tak segera ada suara menyahut sehingga kukeraskan lagi ketukanku. Ini adalah apel malam mingguku yang kelima sepanjang tahun 2019 ini.
Saat membuka pintu, Dina menatapku dengan heran.
“Kamu kenapa, Mas? pucat sekali wajahmu?,” tanyanya memberondong.
Aku tak buru-buru menjawab, langsung duduk tanpa menunggu aba-aba untuk masuk ke dalam rumah. Dina juga tak menunggu jawabanku. Ia malah masuk lagi ke dalam rumah untuk mengambil segelas air putih. Ia mengerti bahwa aku hanya perlu menenangkan diri.
Segera kuteguk es tawar yang tak lagi dingin itu di sela-sela tatapan penuh tanda tanya Dina. Kutarik nafas dalam-dalam setelahnya.
“Sepertinya aku telah membuat kesalahan fatal, Na”, ujarku pelan.
Dina ikut menarik nafas dalam-dalam. Dia mendekatiku, memegang tanganku lalu memelukku erat. Aku menikmati pelukan itu. Bau tubuhnya yang harum dan juga hangat dekapannya membuat tubuhku menjadi lebih dingin.
“Aku melihat tubuhnya terkapar bersimbah darah, Na. Aku melihat tubuhnya kejang setelah terlindas mobilku.” ujarku sembari melepas pelukannya.
Dina terkejut bukan kepalang. Dia menghempaskan tubuhku kebelakang.
“Kita harus menghubungi Polisi, Mas. Kamu tidak bisa menabrak orang lalu kabur begitu saja.” ujarnya
“Marissa, Na. Dia itu Marissa. Aku sangat mencintainya. Mengapa aku bisa membunuhnya.”
Aku memang sangat mencintainya. Dia terkadang menemani malam-malamku di ranjang. Sering kubelai keningnya hingga ia tertidur pulas. Sangat kusesali mengapa ia keluar rumah malam ini.
“Apa kamu bilang, Mas?” tanyanya penuh amarah.
“Kamu selingkuh terus kamu bunuh dia. Kamu memang biadab, Mas. Aku ga sudi sama kamu, Mas. Sekarang juga kamu keluar dari rumah ini”, hardiknya padaku dengan kasar.
Rupanya Dina telah salah paham padaku. Ketakutanku, kengerianku, dan rasa bersalahku membuat ceritaku tak terangkai sempurna. Aku memohon kepadanya untuk diberi waktu menjelaskan kejadian sesungguhnya. Perlahan dengan terbata-bata ku ceritakan semua yang terjadi ditengah kemarahannya yang membabi buta.
Aku telah mempersiapkan seikat bunga plastik dan juga sekotak coklat untuk Dina, kekasih yang baru kuajak berpacaran sebulan yang lalu. Memberinya coklat dan bunga di malam valentine tentu menjadi hal yang bakal mengesankan. Tak bermaksud ber-alay ria karena toh aku tak akan mengajak ia kemana-mana, cukup dirumahnya saja.
Kukeluarkan pelan-pelan mobil dari garasi karena lampu depan mati sejak sore tadi. Sungguh gelap jalanan depan rumah. Saat kuinjak gas sedikit saja dan roda berputar kedepan terasa ada yang terlindas oleh roda depan sebelah kiri. Aku pun turun untuk melihat. Ditengah kegelapan itu kulihat Marissa, kucing kecilku meregang nyawa terlindas oleh mobilku sendiri. Aku memang menyukai kucing, namun melihat tubuh mungilnya tercabik-cabik, sungguh aku tidak bisa. Wajahku pucat pasi karena perutku kosong sebab muntah yang tak bisa kutahan.
“Ikutlah denganku sekarang, Na. Bantu aku menguburkannya”, ajakku. Dina hanya melongo mendengar semua penjelasanku. Meski begitu ia tetap mau mengikutiku dari belakang.