"Hai, Will. Sudah lama?" aku duduk di kursi kosong di hadapan William.
"Oh, hai, Nana. Barusan. Tumben mengajak ketemu di sini. Bagaimana kuliah hari ini?"
"Ya, lancar. Aku sedang tidak ingin pulang cepat, lagipula di rumah ramai."
Aku bangkit, memesan satu porsi churros dan greentea latte kepada pelayan. Dan kembali dengan membawa pesanan itu. William tidak memesan apa pun, dia tidak bisa makan. Aku memasang earphone, agar orang-orang tidak menganggapku aneh bicara sendiri.
"Jadi, ada apa? Kau mengajakku ke sini bukan hanya untuk menemanimu minum, kan?"
"Hahaha ... tidak ada apa-apa. Hanya .... Will, kau pernah patah hati?"
"Ya, dua kali, sewaktu masih hidup. Kau juga tahu."
"Hehehe~"
"Kau bisa cerita apa pun padaku, kapan saja."
"Iya, aku tahu," aku terdiam sejenak. "Will, sepertinya aku mendapat karma."
"Maksudmu?"
"Kau ingat dulu aku pernah tak mengacuhkan laki-laki yang sedang dekat denganku? Saat itu kedekatan kami bubar karena tiba-tiba aku tidak tertarik lagi padanya. Aku mengabaikannya, membalas pesannya dengan singkat tanpa perhatian lagi. Lalu, sepertinya sekarang aku yang berada di posisinya. Dulu aku yang meninggalkannya lebih dulu, sekarang aku yang ditinggalkan lebih dulu. Will, apa aku mendapat karma?"
Sahabatku yang kukenal lima tahun lalu itu menatapku sejenak, yang kubalas dengan sorot melankolis. "Bisa jadi. Tapi, aku tidak akan berkomentar dulu. Lalu?"
"Lalu sekarang kami tidak lagi saling menyapa hangat seperti dulu! Tidak ada lagi, "Selamat pagi, gimana kabar? Apa agenda hari ini?", atau, "Selamat malam, selamat istirahat." Kami tiba-tiba menjadi orang asing yang pernah dekat. Bukankah itu lucu? Aku―astaga! Kenapa lagu macam itu diputar di saat begini!"
"Mungkin pemilik kafe juga sedang sepertimu. Abaikan saja. Lalu bagaimana?"
Aku mendesah kesal karena lagu yang terdengar amat menyedihkan itu. "Aku bingung, serba salah. Aku tidak ingin pergi, tapi sepertinya dia ingin aku pergi. Aku bertanya-tanya masih adakah aku di hatinya?" aku nyaris meneteskan air mata ketika lagu itu mencapai reff.
"Hei, sudah, jangan menangis. Kau tahu, dengan karma hidup bisa menjadi adil. Mungkin aku yang tidak kunjung pulang ini juga sedang mendapat karma karena pernah menyakiti Mama dulu. Kalau memang begitu, bagiku tidak keberatan. Bukankah kau bisa jadi lebih dewasa dengan rasa sakit? Yeah, itu juga kalau kau bisa mengambil hikmah dan maknanya."
Aku sedikit terisak, lalu dengan pelan aku berkata, "Jadi, sekarang aku harus bagaimana?"
"Menjadi ciptaan Tuhan yang patuh, lah," jawab William acuh tak acuh, sepertinya dia mulai gerah. "Maksudku, pasrah saja dengan apa yang diputuskan Tuhan, seperti aku yang pasrah menunggu kapan waktu pulang. Bukankah kau sudah cukup berjuang untuk mempertahankan dan menyapa laki-laki bernama Rick itu? Kau lupa cerita kakak kandungmu, Nina? Kalau memang kalian berjodoh, suatu hari nanti Tuhan juga akan mempertemukan lagi. Seperti Nina dan Hans."
"Tapi, tapi, aku takut kesepian."
William menepuk jidat. "Astaga. Kau punya Tuhan, kau punya aku. Kalau kau tidak bisa atau sungkan bercerita pada teman-temanmu. Kau bisa datang pada Tuhan atau aku. Tidak perlu khawatir, Na."
Air mataku kembali menggenang di pelupuk. "Will, aku jadi ingin memelukmu. Hiks ... andai saja kau masih hidup ...."
"Sudahlah, habiskan pesananmu. Lalu kita pulang."
Hai, tulisanmu sangat bagus. Ceritanya pun menarik. Dan kebetulan mirip dengan apa yang aku alami. Tapi sayang, dalam kisahku, ujungnya Rick kembali padaku. Terus berkarya ya!