Tuan berwajah mendung duduk sendirian. Matanya berkabut. Pahitnya bubuk kahwa tak cukup masif menawarkan sakit di dada. Terlihat jelas hancurnya. Porak-porandanya. Yang dicintai sudah berlalu. Mengucapkan kata pamit yang tak sedap di rungu dan kalbu. Setelah setahun bersama dalam keterbiasaan, nonanya hengkang bersama orang lain. Membawa serta sebelah hatinya dan sestoples kue kering sebagai kawan minum kopi yang sebelumnya rutin tiba saban petang.
Di sudut yang berbeda …
Puan beraroma hujan memandangi derai presipitasi di luar melalui jendela kaca. Matanya turut basah, persis hatinya. Pemuda mentari yang menggebuki perasaannya ingkar janji dan mendua. Memercikkan pedih dan perih pada luka yang menganga. Dia paham, mentari dan hujan bukan pasangan yang klop. Keduanya bakal membias menjadi pelangi, kemudian hilang.
"Dua hati yang remuk. Hmmm …."
Satu entitas tak kasatmata memandangi keduanya dengan tertarik. Perasaan dan hati manusia terlalu seru diutak-atik. Jemari panjang berkuku sewarna darah pun menjentik. Sebentar lagi, satu kisah baru akan terbetik.
"Kopinya, Mbak. Silakan dinikmati."
Si puan mengusap bulir bening yang menggantung di pucuk mata, menoleh.
"Tapi saya nggak pesan, Mbak."
"Memang bukan Mbak yang pesan. Tapi itu, di sana. Katanya buat Mbak yang duduk di sini." Telunjuk sang pegawai kafe mengarah ke seorang tuan berekspresi muram di sudut seberang. Sontak si puan kian bingung, bercampur berang. Siapa laki-laki asing yang begitu lancang?
Kafe ini sepi. Tidak apa-apa bila ada sedikit keributan di sini, batinnya. Dia butuh pelampiasan emosi untuk hatinya yang ringsek.
"Permisi, Mas. Anda yang pesankan kopi buat saya? Maksudnya apa ya? Anda kenal saya?"
Sang tuan menarik diri dari palung kontemplasi. Mendapati gadis asing marah-marah di hadapan membuatnya bingung.
"Maaf?"
"Kopi ini," ucap si puan sembari meletakkan cangkir kopi ke atas meja, "Anda pesankan buat saya? Saya tidak pernah meminta. Dan saya tidak merasa mengenal Anda."
Ini terlalu rumit, alis si tuan bertaut. "Sebentar. Dari tadi saya di sini dan sama sekali nggak memesan apapun buat siapapun kecuali kopi ini," dia menunjuk cangkir kopinya yang tinggal separuh dan sudah tak lagi beruap, "untuk diri saya sendiri."
"Tapi tadi kata Mbak pelayannya, Anda yang pesankan buat saya."
"Pelayan yang mana?" tanya si tuan sembari bangkit.
"Yang it--" Telunjuk sang puan terhenti di udara. Matanya bingung menelusuri sekeliling kafe. Selain karena tak ditemukannya gadis pengantar kopi tadi, dia juga baru menyadari busana gadis itu berbeda dengan seragam pelayan.
"Yang mana?"
Si puan geragapan. "Pokoknya tadi ada yang datang dan bilang begitu." Suaranya mencicit di akhir kalimat. Dia sendiri mulai ragu pada pernyataannya.
"Hmm?"
"Ya …, begitulah pokoknya!" Si puan mendesah, menyerah. "Intinya tadi ada yang datang dan ngasih kopi ini, katanya dari Anda. Tapi sudah nggak perlu. Maaf sudah berlaku nggak sopan dan membuat keributan."
Namun, langkahnya tertahan. Satu tangan kekar menyentuh sikunya.
"Nggak bisa begitu, Mbak." Suara si tuan terdengar. "Saya memaafkan Mbak, tetapi saya perlu prosesi yang lebih sopan buat sebuah perkenalan. Saya Kaffa, dan Mbak?"
Si puan mengerjap. Pelan-pelan rasa panas merambati mukanya.
"Saya Raina."
Semua adegan itu terekam jelas dalam penglihatan sosok wanita yang tak terendus eksistensinya di meja seberang. Dia terkikik senang.
@NinaKim ya ampun makasih ya. Makasih juga udah mampir :')