Bulan ini aku telah menjadi seorang suami dari seorang istri yang cantik dan baik. Suami dari Nadia Almira. Aku menikahinya setelah 2 tahun kami menjalani hubungan LDR Jogja - Bali. Sekarang, kami menetap bersama di Jogja atas keinginan Ibuku. Hidup kami bisa dibilang berkecukupan. Dengan aku sebagai karyawan akunting di sebuah hotel dan Nadia sebagai pemilik butik di tengah kota. Tapi, hanya ada satu yang kurang.
"Mas, malam ini mau aku masakin apa?"
Aku menelan air ludahku sendiri. Pertanyaan yang aku pun tak bisa menjawabnya. Seakan-akan ada seorang guru fisika yang memberiku soal yang tak pernah kupelajari sebelumnya.
"Eh, kamu belum tahu ya? Di seberang jalan dekat pom bensin itu ada rumah makan baru. Aku sempat diajak ke sana sama temanku. Coba ke sana, yuk!" Aku melihat dengan jelas perubahan raut wajah Nadia saat aku mengatakannya.
Tapi sesaat kemudian ia tersenyum tipis. "Boleh. Aku ganti baju dulu ya?"
Aku mengangguk perlahan.
Bukannya aku tidak menghargai usahanya untuk memasakkan sesuatu untukku. Namun, aku juga tak ingin membiarkan lidahku terus-terusan mencicipi masakan yang tak karuan rasanya itu.
Sempat ia membuat sop ikan buntut. Dari tampilannya sudah menarik. Bahkan, aku sempat ingin dengan lahap memakannya. Ternyata, rasanya jauh dari yang kubayangkan. Rasa amis bercampur asin sangat mengganggu selera makanku. Sejak itu, aku baru tahu bahwa ia adalah koki terburuk yang pernah kutemui.
Oh, Tuhan... semoga Ibuku tak pernah datang kesini dengan tiba-tiba.
"Mas, setelah kuhitung-hitung, pengeluaran kita lebih banyak di makanan. Kita terlalu sering beli makan di luar. Bagaimana kalau mulai besok, biar aku saja yang memasak di rumah?" tanya Nadia sebelum kami tidur.
Sebenarnya, tentang pengeluaran yang dikatakan Nadia itu benar. Tapi aku ragu jika disuruh memberi pendapat.
"Kamu suka banget masak, ya?"
"Loh, Mas ini bagaimana sih? Kan, aku istrinya Mas. Kalau nggak bisa masak, apa guna aku jadi seorang istri? Bukannya dulu kamu bilang wanita itu harus bisa memasak?"
Aku memalingkan wajahku ke arah lain.
"Aku kan bisa belajar masak dari resep-resep di internet, Mas. Jaman sudah canggih, mana mungkin aku tidak mengerti internet.” Nadia memainkan ponselnya, kemudian menunjukkan layarnya padaku. “Nih, besok aku mau nyoba bikin ayam goreng saus tiram untuk makan malam kita. Kelihatannya enak, kan Mas?”
Aku tak tahan melihat wajah sumringah Nadia. Aku mengangguk ragu lalu membawanya ke dalam pelukanku. “Ah, istriku memang hebat!”
***
Pagi ini, aku terbangun tanpa Nadia di sebelahku. Aku bergegas bangun dan menyiapkan diriku untuk berangkat bekerja. Saat keluar kamar, kudapati Nadia baru kembali dari pasar sambil membawa banyak sekali barang belanjaan.
“Selamat pagi, Mas. Di meja makan aku sudah siapin roti panggang dan teh manis hangat tuh,” kata Nadia sambil merapikan barang belanjaannya.
Aku sedikit menghela nafas lega karena yang tersedia hanya roti panggang. “Makasih, ya istriku.”
Aku memakan sarapanku dengan lahap. Hingga tiba saatnya aku menyeruput teh manis hangat yang Nadia buatkan untukku. Seketika aku hampir tersedak karena rasa manis yang luar biasa. Aku heran bagaimana dia bisa menyuguhkan ini untukku. Apa dia tidak mencicipi apa yang ia buat sebelumnya?
“Kenapa, Mas?”
Nadia menghampiriku cepat.
“Ini minum dulu,” katanya seraya menyuguhkan segelas air putih padaku. Aku segera menghabiskannya daengan segera.
Kemudian, ia duduk di depanku lalu menuangkan tehnya sendiri. Nadia meminumnya dengan santai. “Kurang manis ya, Mas?”
Aku terkejut bukan main. KURANG MANIS KATANYA? Astaga, ini bahkan lebih dari sekedar manis!
“Nad, menurutku ini sudah manis,” kataku dengan tak enak hati.
“Ah, yang benar?” Nadia menyeruput tehnya sekali lagi lalu terdiam sebentar. “Ini kurang manis! Aku tidak merasakan apapun sama sekali, Mas.” Lalu ia beranjak ke dapur mengambil setoples gula dan meletakkannya di meja makan. Ia pun memasukkan 2 sendok gula ke dalam cangkir tehnya.
Dengan sigap aku segera menjauhkan teh yang Nadia buat sendiri sebelum ia meminumnya.
“Kenapa, sih Mas?” tanya istriku yang aneh itu.
“Kamu nggak mau belajar masak sekarang?” Aku mengalihkan perhatiannya. Jujur saja, sebenarnya aku tidak ahli dalam hal ini.
Nadia menepuk dahinya sendiri. “Oh, iya! Hampir saja aku lupa! Mas, kamu nggak berangkat? Hati-hati di jalan ya,” katanya sambil mencium tanganku.
Aku memeluknya dengan erat dan mengusap-usap kepalanya. “Aku berangkat ya, istriku. Jaga diri di rumah…”
Kakiku melangkah pergi dengan ragu. Mungkin hari ini aku harus memercayainya.
“Mas, maaf aku belum bisa masak untuk malam ini. Ada urusan mendadak di butik yang harus aku selesaikan. Maaf ya, Mas. I love you!”
Aku hampir saja berteriak kegirangan karena mendapat SMS dari Nadia. Aku mendapat berita bahagia itu saat sedang jam istirahat kantor. Wah, aku tak perlu khawatir! Sebelum pulang, aku menyempatkan diriku untuk membeli sebungkus sate ayam untuk kubawa pulang.
“Sayang, aku pulang!” sapaku saat memasuki ruang tamu. Namun, tidak ada suara yang menyahutiku.
Apa masih belum pulang? Padahal sudah hampir jam 8 malam. Aku segera menelepon istriku, berharap dia dalam perjalanan pulang. Sekali, dua kali, tak ada jawaban kudapat. Hingga sambungan yang kesepuluh pun, Nadia tak mengangkat telepon dariku. Aku harus menyusulnya!
“Halo, Mas? Maaf ya, aku baru pulang.” Tiba-tiba saja Nadia datang menghampiriku.
“Kenapa baru pulang? Habis ngapain aja?”
“Eh, kamu ini. Istrinya pulang, bukannya disuruh istirahat dulu malah ditanya macam-macam.” Satu lagi yang membuatku terkejut. Suara ibu.
Ibu datang setelah Nadia. Aku segera mencium tangannya dan membantu membawakan barang-barangnya.
“Ibu kok mendadak datang?” tanyaku.
Ibu terkekeh. “Kenapa kamu? Nggak suka ya, Ibu datang?”
“Bukannya begitu, Bu. Aku kan nggak ada persiapan sama sekali.” Dalam hati aku bersyukur karena Nadia tidak jadi memasak.
“Memangnya Ibu mentri? Isi acara persiapan segala haha.”
“Aku ke dapur dulu ya, mau siapin makan malam.”
“Em, Nad, aku ada beli sate tadi. Kamu nggak masak kan?” Aku memastikan kembali kalau Nadia benar-benar tidak memasak.
“Eh? Siapa bilang? Tadi, waktu Ibu telepon aku mau ke sini, aku buru-buru masak. Baru deh, ke butik. Tunggu ya, Mas, Bu.”
Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Apa yang harus kulakukan sekarang? Ibu pasti akan tahu betapa buruknya masakan Nadia dan lagi, aku takut jika Ibu mengatakan sesuatu yang dapat menyakiti hati istriku.
Aku terpaku setelah Nadia pergi ke dapur.
“Dimas!”
Aku hampir terkesiap mendengan seruan Ibu. “Kenapa, Bu?”
“Kamu nggak dengar pertanyaan Ibu ya? Ibu kan tadi nanya, gimana kerjaan kamu?” Ibu menegaskan kata per kata dengan tekanan.
“Oh, maaf Bu. Em, lancar kok. Tahun ini kemungkinan aku bakal diangkat jadi staff tetap di sana. Tapi ya, harus memenuhi syarat-syaratnya terlebih dulu, Bu.”
“Wah, hebat! Kamu pasti bisa, Mas. Ibu yakin.”
“Saya juga yakin Bu, kalau Dimas bisa,” sambung Nadia yang sudah datang membawa seporsi ikan bakar jumbo.
Ya Tuhan, semoga kali ini datang keajaiban.
Makan malam kali ini membuatku memanjatkan doa lebih panjang dari biasanya. Aku memerhatikan Ibu mulai mengambil bagiannya. Aku dengan ragu pun ikut mengambil bagianku. Kuperhatikan ikan itu dengan saksama.
“Wah, enak sekali Nadia! Dari mana kamu belajar memasak seperti ini?”
Apa? Tidakkah aku salah dengar? Ibu memuji masakkan Nadia! Aku mencoba merasakannya sendiri. Wah, tak disangka! Ini adalah masakan terbaik yang dibuat oleh Nadia.
“Dari internet, Bu,” jawab Nadia tersipu.
Malam itu adalah sebuah keajaiban bagiku. Aku berharap keajaiban itu menjadi kenyataan yang bertahan selamanya. Namun, itu semua di luar kendaliku.
“Nad…”
“Mas…”
“Boleh aku bicara duluan?”
Nadia mengangguk. Ia tidak berani menatapku saat aku mengajaknya untuk berbincang sebentar sebelum kami tidur.
“Benar, ikan bakar tadi kamu yang memasaknya?”
Nadia menggeleng perlahan. “Maaf, Mas. Aku nggak mau mengecewakan Ibu.”
Aku menghelas nafasku berat. “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu beli?”
Sesaat, Nadia tak menjawab pertanyanku. Ia malah beranjak dan mengambil sesuatu di tasnya. Sebuah amplop coklat besar yang bertuliskan “Medical Result.” Amplop itu berpindah tangan padaku.
“Apa ini, Nad? Kamu dapat darimana?”
Aku tidak ingin segera membukanya. Sungguh!
“Mas, aku kehilangan indera pengecapku. Aku nggak bisa merasakan apapun. Dua hari yang lalu aku udah periksakan ke dokter semenjak aku sadar, bahwa setiap masakan yang aku buat nggak pernah bikin kamu senang. Ternyata dokter bilang, memang ada kerusakan.” Nadia berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar hingga keluar, namun berhasil dikalahkan oleh isak tangisnya.
Aku merangkulnya ke dalam pelukanku. Aku berusaha menenangkan istriku yang cantik ini. Seberapa hancur hatiku saat mengetahui bahwa dia adalah istri yang tak bisa memasak, lebih hancur hatinya yang harus menerima kenyataan pahit ini seumur hidupnya.
“Maafin aku, Mas. Aku gagal jadi istri yang sempurna buat kamu. Aku nggak bisa bikin kamu bangga. Dulu, kamu bilang kalua kamu suka wanita yang pintar masak, tapi aku nggak bisa, Mas…”
“Nad, aku nggak pernah minta kamu untuk jadi istri yang sempurna. Nggak pernah dan nggak akan. Aku malah sangat beruntung karena udah dapet istri yang baik dan cantik hatinya seperti kamu, Nadia. Nanti kita pikirkan jalan keluarnya, ya?”
Hanya itu yang bisa kukatakan untuk menenangkannya. Tangisnya tak mampu berhenti. Aku tak tahu seberat apa masalah ini untuknya. Aku sebenarnya merasa sangat bersalah karena telah menuntut Nadia untuk memberiku rasa yang sempurna untuk hasil masakannya. Maafkan aku, karena tanpa sadar telah memintamu menjadi yang sempurna untuk aku, yang jauh dari sempurna…