Read More >>"> LOLITA - A Roller Coaster
Loading...
Logo TinLit
Read Story - LOLITA - A Roller Coaster
MENU 0
About Us  

 

“Shit..!”, aku menarik rem tangan lalu merebahkan badan dan mencoba memejamkan mata. Itulah umpatan pertamaku di tiga tahun terakhir ini. Sungguh tidak disangka lampu sudah merah sedangkan mobilku tertinggal di belakang rambu. Pikirku melayang menjauh mendekati kejadian sejam lalu. Aku masih ingat senyumnya yang berubah perlahan menjadi tangis.

Kemarin malam ia masih menelponku mengatakan kalau rindu dan ingin bertemu. Sungguh senang dibuatnya hati ini. Rindunya pun meluruh saat kita berjumpa pagi tadi. Kujemput permata hatiku itu di stasiun kereta api Kotabumi selepas menaiki KRD Seminung. Kugandeng tangannya lalu kuajak ia memasuki mobil. Tak kulepas genggaman itu seolah-olah itu adalah hari terakhir kita bersama.

“Mau kemana sayang?” kutanya ia berbasa-basi. Kami sebenarnya telah paham bahwa tak ada tempat representatif di kota ini untuk menghabiskan hari bagi pasangan muda-mudi seperti kami. Tanpa menunggu jawaban kuarahkan mobil ke pusat perbelanjaan di pusat kota yang baru saja buka. Masih sangat sepi seperti hari-hari biasanya. Kuajak ia menyeruput kopi palsu yang dijajakan di pojok depan mall sembari menghisap sebatang rokok. Seperti biasanya obrolan kami tak begitu intens karena aku lebih suka memandangi wajahnya yang bercahaya dengan senyum semanis madu itu. Namun tak berapa lama senyum itu berubah menjadi datar malah cenderung memunculkan rasa khawatir. Kutanya ia perlahan sembari menikmati sisa-sisa senyum yang belum sepenuhnya sirna. Ia mengeluarkan amplop coklat berlogo sebuah rumah sakit pemerintah terbesar yang ada di Bandar Lampung. Ku terima surat itu lalu kubaca perlahan. Saat itu juga bumi serasa berhenti berputar bagiku. Mulutku tak bisa berujar apapun. Pun dengan tubuhku yang terpaku di kursi.

“Aku tak ingin menyakitimu Mas. Maafkan aku mas” ujarnya lirih. Ia pun lantas berdiri. Sembari menyambar amplop coklat yang tadi ia berikan padaku, ia bergegas cepat, ditelan jajaran angkot kuning yang berlalu lalang sesekali. Herannya aku tak beranjak sedikitpun dari kursi. Mungkin ada sepuluh menit lamanya. Aku masih tak percaya dengan permainan “roller coaster” barusan. Dirindukan, dibuncahkan, dibelai, digenggam, ditenggelamkan lalu di campakkan.

 

Jalanan tak begitu ramai, paling hanya ada tiga sampai empat mobil berjajar di samping dan belakangku. Namun yang membuatku sebal adalah lamanya lampu merah dan juga ketidaksabaran para pengendara lain untuk segera bergegas. Beberapa saat kemudian terdengar suara klakson yang  memekakkan telinga. Rupanya pengemudi belakangku habis kesabaran. Sebegitu pendeknya kah sumbu kesabarannya. Mereka membunyikan klakson seperti orang kesurupan. Apakah ini memang sudah tabiat orang yang tinggal disini, gampang tersulut emosi sebagaimana udaranya yang juga panas menyengat. Awalnya aku memahaminya namun lama-lama aku ikut jengah juga. Sebegitu tidak mengenakkannya keadaan siang ini seharusnya ia tetap harus mengendalikan diri. Fakta bahwa lampu masih merah dan ketiadaan polantas yang mengatur tak lantas membuat ia bisa semena-mena. Sungguh tidak seberapa dibanding penderitaanku saat ini.

 

Lampu tak kunjung menghijau. Suara klakson pun semakin nyaring. Amarahku tak lagi bisa dibendung. Aku pun teringat akan besi panjang pengungkit dongkrak yang tersimpan di bawah jok mobil. Aku segera keluar dari mobil dan mengambil besi panjang itu secepat mungkin. Dengan terus ku ayun-ayunkan ku dekati mobil dibelakangku yang kali ini tak lagi membunyikan klaksonnya. Kulihat seorang gadis dengan muka ketakutan di dalamnya. Nalarku benar-benar sudah hilang. Pertama kali kuhantamkan besi itu ke spion sebelah kanan dengan kerasnya. Kulihat jeritan yang tak kudengar suaranya. Aku masih belum puas. Aku pun naik ke kap depan mobil sedan itu. Sepertinya lebih dari tiga kali kuayunkan besi panjang itu ke kaca depan hingga hancur tak bersisa. Aku sudah tak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya karena orang-orang ramai berkumpul. Mereka memegangiku dengan sangat kuat bahkan ada yang memukul bagian belakang kepalaku. Yang kuingat terakhir hanyalah tangisan bersimbah air mata dari gadis di dalam mobil sedan dengan tatapan tajam yang membunuh.

 

Aku adalah Mardian, seorang sales supervisor perusahaan rokok di kota kecil ini. Aku lulus dari kampus swasta di bilangan Depok tiga tahun lalu. Bekerja jauh dari keluarga adalah tantangan tersendiri. Apalagi pergi ke kota sejauh ini yang kerap dianggap sebagai gudangnya pelaku begal. Lolita adalah gadisku yang kutemukan di dalam kereta saat perjalanan Kotabumi –Tanjung Karang pada Sabtu pagi kala itu. Ku ajak ia berkenalan sejak pertama mata ini memandangnya. Bau harum tubunya, wangi semerbak rambutnya membuatku mati gaya. Ternyata ia masih kuliah, ujarnya. Tugas kuliah membuatnya bolak-balik dari Bandar Lampung ke Kotabumi. Kami pun bertukar nomor telepon hingga akhirnya menjadi sepasang kekasih. Aku mengunjunginya ke Bandar Lampung tiap akhir pekan tiba. Dia adalah celoteh di kesepianku. Ia bisa menjadi angin yang menderu, musik yang mengalun merdu atau kembang api menjelang maghrib yang membuat malam tak jadi mencekam. Aku mencintainya melebihi diriku sendiri.

 

*

 

Aku menarik rem tangan lalu merebahkan badan dan mencoba memejamkan mata. Sungguh tidak disangka lampu sudah merah sedangkan mobilku tertinggal di belakang rambu. Sungguh aku dilanda bahagia luar biasa. Pikirku melayang menjauh mendekati kejadian sejam lalu. Aku masih ingat senyumnya yang begitu manis seperti tak habis-habis.

Kemarin malam aku menelponnya mengatakan kalau rindu dan ingin bertemu. Sungguh senang hati ini. Rinduku meluruh saat kita berjumpa pagi tadi. Kujemput permata hatiku itu di stasiun kereta api Kotabumi selepas menaiki KRD Seminung. Kugandeng tangannya lalu kuajak ia memasuki mobil. Tak kulepas genggaman itu seolah-olah itu adalah hari terakhir kita bersama.

“Mau kemana sayang?” kutanya ia berbasa-basi. Kami sebenarnya telah paham bahwa tak ada tempat representatif di kota ini untuk menghabiskan hari bagi pasangan muda-mudi seperti kami. Tanpa menunggu jawaban kuarahkan mobil ke pusat perbelanjaan di pusat kota yang baru saja buka. Masih sangat sepi seperti hari-hari biasanya. Kuajak ia menyeruput kopi palsu yang dijajakan di pojok depan mall. Seperti biasanya obrolan kami tak begitu intens karena aku lebih suka memandangi wajahnya yang bercahaya dengan senyum semanis madu itu. Namun aku tak boleh berlama-lama. Tujuanku mengajaknya bertemu adalah karena ketidaksabaranku untuk segera menyatakan keinginanku untuk menikahinya. Segera kuberlari kecil meninggalkannya menuju parkiran mobil. Kuambil seikat bunga yang kusembunyikan di bagasi. Aku kembali dengan bunga dibalik badanku. Saat di depannya aku pun berjongkok. Kumantrakan rayuan standar seperti yang biasanya ada dalam film televisi.

“Bunga ini mungkin hanya akan wangi sehari saja. Maukah kamu menggantikannya seumur hidup kita. Mengharumkan hari-hari kita hingga akhir hayat”.

Tak keluar sepatah kata pun dari bibirnya yang mungil dan renyah itu. Ia hanya mengangguk diiringi tangisan misterius. Entah karena bahagia atau sedih. Aku pun memeluknya erat. Ia menangis semakin kencang. Aku tak tahu benar apa yang ia rasakan, namun yang pasti aku bahagia sekali. Kami pun bermimpi tentang apa yang akan kami rengkuh di masa depan. Aku menginginkan ini itu dan ia hanya mengiyakan saja. Meski matanya berlinang aku yakin bahwa hari ini ia bahagia sebagaimana diriku. Kulihat binar kebahagiaan di mata sendunya itu. Sungguh binar itu tak menghilang sampai kita memutuskan sejenak untuk berpisah.

Jalanan tak begitu ramai, paling hanya ada tiga sampai empat mobil berjajar di samping dan belakangku. Namun yang membuatku sedikit kesal adalah lamanya lampu merah dan juga ketidaksabaran para pengendara lain untuk segera bergegas. Beberapa saat kemudian terdengar suara klakson yang  memekakkan telinga. Rupanya pengemudi belakangku habis kesabaran. Sebegitu pendeknya kah sumbu kesabarannya. Mereka membunyikan klakson seperti orang kesurupan. Apakah ini memang sudah tabiat orang yang tinggal disini, gampang tersulut emosi sebagaimana udaranya yang juga panas menyengat.

Lampu tak kunjung menghijau. Suara klakson pun semakin nyaring. Aku teringat sekotak kue brownies yang Lolita bawakan tadi. Masih tergeletak rapi di jok tengah. Begitupun seikat bunga sisa yang tadi tak kuberikan kepadanya. Segera kuambil kue dan bunga itu. Dengan penuh gembira kuhampiri pengemudi mobil yang sedari tadi tak sabar menunggu. Kuketuk kaca mobilnya perlahan. Seorang perempuan muda dengan kedua anaknya yang sedang asyik bermain membuka kaca itu dengan raut muka bersalah. Kuberikan senyum terbaikku dan semua yang ada di genggamanku.  Ia meminta maaf lantas  berterima kasih. Aku hanya membalasnya dengan senyum. Sungguh tak ada yang bisa merusak kebahagiaanku hari ini.

 

*

 

Suara klakson yang sangat nyaring membangunkan lamunanku. Rupanya lampu telah hijau dari tadi. Meski di dalam mobil ber-AC keringatku tetap saja turun bercucuran. Dari samping kanan kulihat pengendara motor sinis menatapku. Mungkin ia sebal dengan orang yang melamun saat menyetir. Aku tersadar dengan apa yang barusan terjadi. Segera kuinjak gas dalam-dalam. Aku sudah tidak punya banyak waktu. Aku tak ingin kehilangan permataku meski harus tergores olehnya. Aku terlanjur mencintainya melebihi diriku sendiri.

Setelah dua jam perjalanan sampai juga aku di rumah kontrakannya. Aku menunggunya disitu karena aku yakin mengendarai mobil sendiri tentu lebih cepat sampai dibanding menggunakan kendaraan umum. Aku sudah menyiapkan kata-kata untuk meyakinkannya. Aku ingin hari itu juga menikahinya apapun kondisinya. Aku ingin menemaninya sampai helaan nafas terakhir meskipun ia akan mati besok. Aku bersedia menerima mawar sekaligus durinya. Aku menginginkan pisau meski harus tergores. Namun apa lacur, setelah malam menjelang tak kunjung kujumpai juga dirinya. Aku memutuskan untuk bermalam di teras depan. Malam berganti malam, begitupun hari terus beranjak pergi. Permataku ternyata tak pernah kembali. Ia hilang tertelan bumi. Yang tersisa hanyalah penyesalan. Mengapa juga aku harus terpaku terlalu lama saat itu? Mengapa pula tak kurengkuh tubuh ringkihnya saat ia bergegas pergi diantara lalu lalang angkot kemarin? Sehingga kita tak perlu berpisah lagi.

 

Rupanya hari itu - tiga tahun lalu - adalah benar-benar hari terakhir aku menjumpainya. Kisahnya yang pilu benar-benar tak aku pahami. Ternyata selama ini ia menjual tubuhnya ke banyak hidung belang, menjaja nafsu dari satu pelukan ke pelukan lainnya, hingga kepada pelukan yang memberinya virus HIV. Mencari uang lebih untuk membayar hutang judi almarhum bapaknya. Namun aku yakin akan hatinya yang tetap putih bersih dan hanya milikku seorang. Kini Lolita telah terkubur dalam-dalam. Tersisa sebongkah nisan bertuliskan tanggal kematian, 01 Desember 2017, dan beberapa karangan bunga yang lebih mirip sebagai bunga perayaan. Wahai permataku, engkau pergi saat ia datang. Wahai mawarku, engkau pergi karena ia datang.

 

RIP Lolita Permataku

01 Desember 2018

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 2
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
in Silence
427      299     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Surat Untuk Senja
1111      667     1     
Action
Senja ini cerita ku, Kau pilihan bukan buangan.
Anak-Anak Dunia Mangkuk
477      276     6     
Fantasy
Dunia ini seperti mangkuk yang biasa kalian pakai untuk makan dan minum. Kalian yang tinggal di lembah hidup di dasarnya, dan pegunungan batu yang mengelilingi lembah adalah dindingnya.
Sekotor itukah Aku
20572      3298     5     
Romance
Dia adalah Zahra Affianisha. Mereka biasa memanggilnya Zahra. Seorang gadis dengan wajah cantik dan fisik yang sempurna ini baru saja menginjakkan kakinya di dunia SMA. Dengan fisik sempurna dan terlahir dari keluarga berada tak jarang membuat orang orang disekeliling nya merasa kagum dan iri di saat yang bersamaan. Apalagi ia terlahir dalam keluarga penganut islam yang kaffah membuat orang semak...
Ibu
514      304     5     
Inspirational
Aku tau ibu menyayangiku, tapi aku yakin Ayahku jauh lebih menyayangiku. tapi, sejak Ayah meninggal, aku merasa dia tak lagi menyayangiku. dia selalu memarahiku. Ya bukan memarahi sih, lebih tepatnya 'terlalu sering menasihati' sampai2 ingin tuli saja rasanya. yaa walaupun tidak menyakiti secara fisik, tapi tetap saja itu membuatku jengkel padanya. Dan perlahan mendatangkan kebencian dalam dirik...
Optisien Nebula
463      317     0     
Short Story
Nebula, oleh karenanya kita berjarak. Agar aku dapat melihatmu seutuhnya. Sebab jika terlampau dekat, cahayamu membutakan.
Semacam kentut tapi bukan
342      216     0     
Short Story
Terburu-buru tapi bukan dikejar setan. Dia keluar tanpa diminta dan bukan pada waktu yang tepat.
Di Sudut Jalan Yang Sama
383      249     0     
Short Story
Sekarang, aku masih melewati jalan yang sama.
Short horror stories
520      314     1     
Short Story
Be aware of your surroundings
Ibuku Malaikatku
687      416     8     
Short Story
ibuku malaikatku