Jika ada pertanyaan harian mengenai bagaimana perasaanmu setiap harinya, maka hari ini aku sedang kesal pada pria itu. Iya, pria itu, pria datar, dingin, dan tajam yang mengusir Victoria kemarin. Walaupun alasan Axel membuatku sedikit salah tingkah, tapi setelahnya, ia melarangku untuk bertemu dengan Victoria lagi. Memangnya ada masalah apa dia dan Victoria? Berlebihan sekali!
Karena Axel sudah memberikan ijin padaku, siang itu aku ikut Chas pergi ke desa. Pemukiman yang dekat dengan perkebunan luas yang sempat aku lewati sewaktu pergi ke istana. Hari ini memang ada beberapa bahan yang ingin kubeli, ketika menceritakan Hari Valentine kepada Victoria, aku teringat sesuatu yang sudah lama aku simpan di memori ketidak sadaranku.
Kami berjalan sekitar sepuluh menit hingga sampai di daerah pemukiman penduduk. Karena takut dilihat sebagai orang aneh, salah satu gaun yang selalu digantung di lemariku, untuk pertama kalinya kupakai. Dan aku memang tidak nyaman memakai pakaian semacam ini, gerakanku terbatas sekali.
“Nona tidak capek?”
“Tidak, Chas. Kita akan kemana dulu?”
“Membeli bahan-bahan yang Nona butuhkan saja dulu.”
“Baiklah.”
Chas membawaku ke sebuah bangunan sederhana khas Eropa abad 80-an. Chas lalu meminta penjual tersebut untuk membawakan lima karung tepung. Dan dengan ramahnya, penjual tersebut melayani kami dengan sangat baik, ia bahkan menambahkan bonus beberapa kilogram tepung.
Kemudian kami menelusuri setiap pertokoan di sana, bahan-bahan yang kuminta sudah tersimpan rapi di gerobak kecil yang sengaja disewa Grine untuk kami berbelanja.
“Tinggal apa lagi, Nona?”
Aku membuka secarik kertas di saku gaunku, beberapa bahan memang sudah kudapatkan, tapi ada beberapa yang tidak kutemui di dunia ini. Misalnya selai coklat dengan merek terkenal itu.
“Sudah. Kita lanjut belanja bahan makanan untuk beberapa hari ke depan.”
“Baiklah Nona.”
****
Setelah keranjang belanjaan Chas sudah penuh dengan bahan-bahan makanan yang kami beli, kami pun kembali pulang setelah gerobak yang disewa Grine melaju jauh di depan kami.
“Nona yakin tidak capek?”
“Aku baik-baik saja. Sungguh. Tapi bukankah akhir-akhir ini ada masalah dengan kebun di daerah sini? Kenapa mereka memberikan kita banyak bahan-bahan dengan harga yang murah? Bukannya rugi ya?”
“Mereka tahu jika Nona ada hubungannya dengan Tuan Axel, untuk itu kita bisa mendapatkan banyak bahan makanan. Ditambah kepemimpinan Tuan Axel yang mampu mensejahterakan wilayah Barat, membuat orang-orang di desa sangat mengaguminya.”
“Orang itu hebat juga!”
“Nona baru sadar ya?”
“Tidak, Chas, tidak. Aku tidak mau mengakui pria galak itu.”
Setelah kami hampir sampai, di depan mansion terlihat Axel dan Victoria sedang berbincang-bincang. Wajahnya tidak terlihat galak seperti waktu itu, dan Victoria tampak tertawa sambil menutup mulut dengan tangannya.
Apa-apaan pemandangan menyebalkan di depanku ini?
Aku berjalan menghampiri mereka berdua. Victoria terlihat senang ketika melihatku, dan Axel, seperti biasa, tak bereskpresi.
“Aku kemari mau memberikanmu kue yang sengaja kubuat. Salah satu pelayan sudah menyimpannya untukmu.”
“Benarkah? Terima kasih, kau mau minum teh?”
“Tidak, terima kasih Elena. Aku kemari hanya ingin memberikanmu kue saja. Aku masih harus pergi ke suatu tempat.”
“Begitu ya.”
“Cepat pergi sana.”
Axel akhirnya membuka suara, lalu Victoria sedikit menunduk dan berpamitan pada kami semua.
“Lain kali akan kubuatkan makanan dari dunia manusia.”
“Akan kutunggu, Elena. Kalau begitu, aku permisi.”
Victoria kemudian pergi meninggalkanku dan Axel, juga Chas yang berdiri tak jauh dari kami berdua. Victoria hanya membawa dua pelayan dan pergi dengan kereta kencananya. Kukira dia enggan datang kemari karena pemilik rumah ini sangat galak, tapi sepertinya Axel dekat dengan Victoria, tadi mereka terlihat sedang berbicara sangat akrab.
“Kau sudah selesai perginya?”
Mendengar Axel bertanya, aku memandangi pria yang lebih tinggi dariku itu dengan malas. Lalu melenggang pergi melewatinya tanpa menggubris pertanyaannya.
“Semua pria sama saja!”
Iya, sama saja. Lain di mulut, lain di hati. Di depanku Axel bertingkah protektif, melarangku dekat-dekat dengan orang asing di dunia ini, dan seolah-olah kehadiranku begitu penting baginya. Tapi tadi, dia seolah lupa bahwa beberapa hari lalu, dia mengusir Victoria dengan cukup kasar. Dasar vampir brengsek!
****
Napasku tersengal-sengal hingga membuatku terbangun malam itu. Sekeliling kamarku mulai dipenuhi asap hitam yang mengepul dan seolah akan melenyapkan ruangan ini. Aku mengatur napasku yang semakin lama semakin pendek, mataku mulai berkunang-kunang. Aku melangkah ke arah pintu dengan susah payah. Begitu aku sampai, aku tak bisa membukanya. Pintu itu macet. Gawat! Bisa-bisa aku mati sekarang.
“Tolong… Tolong…”
Aku menggedor-gedor pintu kayu tersebut, tapi belum ada siapapun yang mendengar teriakanku yang setengah mati kulakukan.
Kemudian, dari arah jendela muncul jari-jari panjang berwarna hitam seolah merangkak dari dinding-dindingnya. Perlahan sesosok makhluk mengerikan menampakkan diri lewat jendela kamarku. makhluk itu menggunakan tudung yang menutupi separuh wajahnya. Tubuhnya dibalut kain hingga melambai-lambai diterpa angin malam itu. Makhluk yang seperti menempel tempat di jendela kamarku itu pun mengeluarkan asap hitam dari mulutnya, lalu menembus melalui kaca dan masuk ke dalam kamarku. Di salah satu tangannya, terlihat sabit panjang dan besar sedang ia pegang. Angin malam itu semakin kencang, tudung yang menutupi wajahnya sedikit tersibak dan aku bisa melihat wajahnya yang mengerikan.
Tidak, itu bukan wajah manusia, itu hanya kumpulan tulang-tulang yang membentuk tengkorak kepala.
“AAAAAA!!!”
Aku semakin keras menggedor-gedor pintu kamarku. Juga semakin lemah usahaku akibat asap hitam itu mulai mengambil pasokan oksigen di paru-paruku. Kumohon, aku takut sekali.
“… Tolong… Kumohon…”
Napasku semakin pendek, aku berlutut sambil terus menggedor-gedor lemah pintu yang masih belum terbuka itu. Dalam usahaku yang terakhir, aku mulai melepaskan pegangan pintu tersebut dan melihat kembali sosok menyeramkan yang masih bertengger di balik jendela. Gerakannya terlihat anggun namun sarat akan pesona yang sangat mengerikan.
“Axel…”
Aku memanggil namanya, pikiranku sudah kacau. Aku takut inlah akhir ajalku, padahal tadi siang aku marah padanya, aku belum sempat mengucapkan maaf dan terima kasih padanya.
Di saat tanganku mulai terkulai lemas di atas lantai, Axel tiba-tiba muncul dari arah belakang dan menyanggah tubuhku. Aku bisa melihat raut kekhawatiran di wajahnya. Lalu sedetik kemudian, Axel memberikan pasokan energi padaku lewat mulutnya. Aku yang hampir pingsan tiba-tiba merasakan energi yang meluap-luap dari dalam tubuhku hingga sanggup meronta-ronta menolak perlakuannya.
Ini jelas mengejutkanku!
“Kau tak apa? Grine dan yang lain sedang mengusir para Thanatos.”
“Tha, apa? Thanatos?”
“Makhluk yang menempel di jendela kamarmu. Untuk sekarang kita pergi ke tempat yang lebih aman.”
Kemudian Axel membenamkan tubuhku di atas dada bidangnya. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi ketika Axel melepaskanku, aku sudah berada di ruangan yang berbeda. ruangan yang baru pertama kali aku datangi.
“Ini di mana?”
“Ruang perpustakaan di dalam ruang kerjaku. Karena letaknya di bawah tanah, para Thanatos itu tidak akan menyerang kita kemari.”
“Kenapa kau tidak membunuh mereka saja? Sepertinya mereka bukan makhluk yang sangat kuat.”
Tapi sangat menyeramkan.
“Kau sendiri yang mengatakan padaku untuk tidak sembarangan membunuh sesuatu.”
Ah! Axel masih mengingat ucapanku dulu toh.
“Lagi pula aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian di sini.”
“Kau bilang tempat ini aman, bukan. Tak apa bila aku ditinggal sendirian sekarang.”
Kemudian napasku tiba-tiba kembali tersengal-sengal. Axel pun segera menghampiriku dan memberikan napas buatan seperti tadi. Dan energi yang besar tiba-tiba kembali muncul dari dalam tubuhku.
“Kenapa aku masih sesak napas?”
“Makhluk itu memang tidak berbahaya, tapi manusia yang menghirup napas Thanatos bisa membahayakan hidupnya. Asap mereka membuat pernapasan manusia terganggu, dan jika aku tidak mengaliri energiku, kau bisa berhenti bernapas.”
“A, ap, apa tidak ada cara lain? Tabung oksigen misalnya?”
Maksudku, selama aku sesak napas, lalu Axel memberikan napas buatan, bukankah itu keterlaluan. Sama saja kami akan berciuman berkali-kali, bukan.
“Grine sedang mengambilnya, tapi butuh waktu karena para Thanatos itu cukup mengganggunya.”
“Kenapa makhluk itu bisa muncul kemari? Apa terjadi sesuatu? Dan sebenarnya apa sih makhluk itu?”
“Mereka termasuk makhluk mitologi, para manusia percaya jika Thanatos adalah dewa kematian. Mereka akan membawa kematian pada manusia dengan cara yang sangat lembut. Tapi seperti yang kau tahu, kematian yang terlihat lembut itu adalah membuat manusia berhenti bernapas.”
Aku baru pertama kali mendengar makhluk bernama Thanatos itu. Meskipun pergerakan mereka tidak seagresif vampir yang dulu menyerangku, namun kekuatannya bisa membunuh manusia secara pelan-pelan. Itu kan lebih menyeramkan lagi.
“…Haa…”
Aku menarik napas cukup panjang, namun rasa sesak itu kembali muncul. Dan Axel pun kembali memberikanku napas buatan.
Mata kami bersinggungan setelah Axel melepaskan bibirnya. Ia memegang daguku selembut mungkin.
“Jika terus seperti ini, sama saja kita berciuman berulang-ulang kali.”
“Tapi hanya itu yang bisa kulakukan.”
“Kalau begitu, berikan aku pasokan energi yang lebih banyak agar kita tidak mengulang-ulang ciuman ini.”
Axel tahu jika aku masih baik-baik saja, energi yang diberikannya belumlah musnah. Tapi Axel kembali menempelkan bibirnya pada bibirku. Energi yang diberikannya terasa menyeruak masuk ke setiap sel-sel tubuhku. Aku yang masih terkejut itu pun mendorong tubuh Axel agar melepas ciumannya.
“Apa lagi? Kau bilang agar aku memberikanmu energi lebih banyak lagi.”
“Tapi bisa tidak kau memberi aba-aba padaku—“
“Tidak!”
Axel kembali memberikan napas buatan, bukan, ini bukan lagi proses pemberian napas buatan. Axel mulai gila dan liar, ia menciumku meskipun tubuhku meronta-ronta agar ia melepaskanku. Tapi sepertinya Axel tak menggubris perlakuanku. Ia seolah menikmati ciuman yang dilakukannya padaku.
Beberapa saat kemudian, Axel akhirnya bisa melepaskan ciumannya. Matanya yang selalu terlihat tajam kini berubah sendu. Bibirnya sudah basah oleh perlakuannya sendiri, sementara aku sedikit memundurkan jarakku padanya. Kali ini aku benar-benar tidak ingin diserang olehnya. Lebih baik Axel menyesap darahku saja.
Seperti tidak terjadi apapun, Axel kemudian menyandarkan tubuhnya pada sofa empuk yang menjadi saksi bisu bagaimana brengseknya pria ini.
“Hari ini apa yang terjadi padamu?” tanyanya tanpa melihat ke arahku.
Oh! Sepertinya Axel menyadari jika hari ini aku kesal dan mogok untuk berbicara dengannya.
“Kau sendiri, apa yang terjadi padamu dan Victoria tadi?” tanyaku ketus.
“Victoria datang untuk memberikanmu kue. Tapi aku menolaknya.”
“Tapi tadi aku melihat kalian sepertinya begitu akrab.”
“Apa maksudmu? Dia itu vampir gila, jangan dekat-dekat dengannya.”
“Kenapa? Semua alasanmu tentangnya jauh dari apa yang kulihat, Axel! Sudahlah, aku tak ingin membahasnya.”
Aku membuang muka ke arah lain. Axel selalu saja membuatku naik pitam. Dia pria yang sangat tidak jelas, berbelit-belit, dan membuatku semakin kebingungan. Dia selalu memberikan alasan yang harus kucerna matang-matang sampai membuat kepalaku pusing.
Dia selalu meninggikanku, untuk menjatuhkanku. Memang sifatnya seperti itu, harusnya kumaklumi itu.
“Jika manusia kesal pada hal-hal sepele, itu tandanya mereka sedang cemburu. Tingkah lakumu itu, apa bisa disebut cemburu?”
Pertanyaan Axel membuatku mengalihkan kembali pandanganku padanya.
“Kalau seperti itu, kau tidak perlu khawatir. Kumohon. Bagiku kau sesuatu yang sangat berharga, aku tidak ingin milikku terluka oleh siapapun.”
Miliknya? Aku?
“Apa ucapanmu itu, bisa kupegang?”
“Semua ucapanku tentangmu, tak ada satupun yang dusta. Harusnya kau tak perlu menanyakannya lagi.”
Lagi-lagi mata kami saling bersinggungan, peristiwa yang terjadi sekarang bahkan sedikit-sedikit telah kami lupakan. Ruang perpustakaan di bawah tanah ini seperti sengaja dibuat agar keheningan terdengar lebih riuh dari biasanya. Keheningan yang telah lama hilang, kini perlahan merangkak menyelimuti kami berdua.
Baginya, aku seperti semestanya. Bagiku, dia itu apa ya? Axel hanya tempatku berpulang. Lalu, hubungan kami berdua seharusnya apa?
“Kau hanya wanita yang membuat berbagai pemikiran buruk muncul dalam benak vampir paling kuat di dunia ini, Elena.”
Namaku yang terdengar dari mulutnya selalu mendayu-dayu relung hatiku dan menyelimutinya dengan harapan-harapan indah akan masa depan. Jika kupikirkan lebih dalam pertanyaan Victoria tentang hubungan kami, rasanya terlalu rumit untuk dijelaskan. Karena sepertinya, kata teman itu terlalu dangkal. Lalu apa ya?
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan