Bulan Oktober tahun 2000 ...
Kota XX terletak di sebelah utara Kota M. Setiap musim kemarau tiba, seluruh kota diselimuti hawa panas yang membuat kota terasa gerah. Di hari yang berawan, sekolah itu luar biasa panas karena sinar matahari yang terik.
Mereka mengeluh ketika berjalan di tengah lapangan sekolah sambil mengibaskan tangannya berkali-kali. Ini bukan masalah besar, namun ada tiga orang anak laki-laki datang menghampiri mereka.
Mata mereka mulai awas dan sikapnya telah siaga. Terutama pada seorang anak laki-laki yang bertubuh besar serta tinggi.
Diantara semua anak, dialah yang paling menonjol di dalam kelas. Itu adalah salah satu alasan mengapa dia selalu duduk di bangku belakang dan mungkin karena alasan itu juga, dia bisa semaunya sendiri melakukan apapun yang ia suka. Seperti menjahili semua anak yang menurutnya lemah.
“Lani, kamu dipanggil sama Bu Yuli.” ujarnya, dengan tatapan serius.
Lani, yang rambutnya diikat ke belakang dan berponi, mendongak saat namanya disebut, ketika mereka sejajar seperti itu, sangat terlihat betapa mungilnya Lani di hadapan anak laki-laki itu.
Lani menatapnya, mata mereka beradu. “Bohong, aku tidak percaya padamu.” tolak Lani mentah-mentah.
“Aku tidak berbohong, Lani. Aku berkata jujur.” wajahnya terlihat begitu sungguh-sungguh saat mengatakannya.
Sebenarnya, Lani baru saja memasuki kelas untuk mengambil uangnya yang tertinggal di dalam tas dan mendapati Bu Yuli, wali kelas mereka di kelas lima, sedang sibuk dengan pekerjaannya di atas meja. Bu Yuli tidak mengatakan apa-apa padanya. Itu alasan pertama yang membuat Lani ragu akan perkataannya.
Alasan kedua adalah karena mereka satu kelas, dan ia tahu bagaimana kebiasaan si Besar, julukan untuk anak laki-laki itu, saat sedang berada di dalam kelas.
“Tidak, aku tetap tidak percaya padamu.” kata Lani tegas tanpa ada keraguan di dalamnya. Ia tidak ingin terkecoh begitu saja dengan aktingnya.
“Ya, sudah. Kalau nanti kamu dihukum sama Bu Yuli, aku tidak mau bertanggung jawab. Aku sudah menyampaikannya padamu dan aku tidak ingin disalahkan.” ujarnya santai. Si Besar pura-pura menyerah. Dia sengaja melakukannya karena ia tahu dengan cara ini, Lani akan masuk perangkapnya. Ia diam-diam melirik Lani yang mulai terlihat gelisah dan ragu akan keputusannya.
Lihat, sinar matahari yang menyinari wajah gadis mungil di depannya telah membuat pipinya berubah menjadi merah.
“Kamu yakin tidak sedang berbohong?” tanyanya mulai ragu. Setelah menimbang baik-baik, Lani akhirnya menyerah, meski ia meragukan ucapan si Besar. Lagipula, siapa juga yang mau dihukum sama Bu Yuli, guru tegas nan killer.
Diam-diam si Besar tersenyum dalam hati. Memang benar dugaannya, Lani sangat mudah goyah dengan pendiriannya sendiri. Kini saatnya ia harus lebih menyakinkan Lani sedikit lagi.
“Iya, Lani. Aduh, harus berapa kali aku bilang padamu.” gemas si Besar. Dia bergaya seakan dia sudah berkali-kali mengatakan sebuah ‘kebenaran’.
“Baiklah. Awas, kalau sampai kau bohong!” sengit Lani sambil menunjukkan jari telunjuknya yang mungil. Setelah itu, dia berjalan seorang diri ke ruang kelas dengan percaya diri.
Di belakangnya, si Besar merasa lucu saat melihat Lani begitu patuh. Diantara semua teman-temannya, mengakali Lani bisa membuatnya tertawa. Ini memang bukan pertama kalinya, tetapi mengapa Lani masih percaya terhadapnya?
“Permisi, bu. Apa ibu memanggil saya?” tanya Lani sopan saat masuk ke dalam kelas. Bu Yuli menghentikan pekerjaannya sebentar, hanya untuk melihat siapa pelaku yang sudah menganggu pekerjaannya. Di luar dugaannya, Bu Yuli menggelengkan kepala. “Tidak. Saya tidak memanggilmu.”
Lani tersentak, “Tapi, kata Vino, ibu memanggil saya.”
Ya, anak laki-laki yang bertubuh besar dan tinggi, yang ia beri julukan ‘si Besar’; Vino Arditya.
Sedikit tersenyum. “Tidak, Lani. Saya tidak menyuruh Vino untuk memanggilmu.”
Kali ini Lani benar-benar diam seribu bahasa. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Rasanya ia ingin mencekik Vino yang sudah mempermalukannya dengan menggunakan kedua tangannya. Tetapi, bayangan untuk mencekiknya langsung hilang begitu ia sadar kalau itu tidak mungkin dilakukan. Vino ‘kan tinggi, jadi kalau Lani ingin mencekiknya, dia harus naik kursi. Kalau seperti itu, yang ada malah Vino sudah kabur lebih dulu.
Lani mendengus kesal. Lani bisa melihat kalau Bu Yuli tengah tersenyum melihat kebodohannya yang dijahili oleh Vino.
“Permisi, Bu.” perlahan Lani undur diri meninggalkan ruang kelas sambil menahan kesal. Saat ia telah benar-benar keluar, matanya segera berkeliling mencari sosok yang ingin dicekiknya?walau itu mustahil.
“VINO!”
Teriakan cetar membahana terdengar di langit cakrawala. Mereka yang mendengarnya langsung menutup gendang telinganya. Lani mencari Vino dengan berapi-api. Seharusnya ia tahu sesuatu akan terjadi seperti ini.
Merutuki kebodohannya adalah satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang.
Kenapa dia mau mendengarkan ocehan Vino tadi? Kenapa ia percaya pada ucapannya padahal ia sempat menolak?
Kepalanya terasa mau meledak. Namun, ia tidak tahu harus bagaimana melampiaskannya.
Diantara sepeda yang berjajar rapi, ada seorang anak laki-laki yang sedang berjongkok sambil menahan tawa. Sepertinya, orang itu ingin bermain petak umpet dengan seorang pemburu yang tengah kelaparan.
Lani mengendap-endap dengan tangan terkepal terangkat di udara, siap dihantamkan pada tubuh Vino. Mirip seperti ingin menangkap seekor mangsa dan segera mengoyaknya.
Begitu dekat, gerakan Lani melambat dan dia langsung memukul Vino serta merta tanpa ampun hingga Vino mengaduh kesakitan. Tak sampai di situ saja, bahkan ketika Vino berlari menjauh, Lani mengikuti di belakangnya, mengejarnya.
Namun, derita Lani belum berakhir karena keesokan harinya mereka duduk sebangku akibat perubahan tempat duduk yang diadakan setiap seminggu sekali di kelasnya.
Dan semenjak Lani duduk bersama si Besar, intensitas kejahilannya semakin meningkat kian hari tak mengenal lelah. Vino membuat Lani tidak bisa duduk dengan tenang dan harus selalu menahan perasaan amarah bin kesal.
Keseharian Vino yang suka menjahili Lani tidak hanya pada jam istirahat saja, namun juga saat jam pelajaran berlangsung, ia masih sempat mencuri kesempatan dan membuat Lani meradang di tempat duduknya. Mulai dari menimpuk kepalanya, bukan memakai sebuah buku namun menggunakan tipe-x berwarna merah, berkali-kali. Tidak terlalu keras memang karena kalau itu sampai terjadi, mungkin akan memunculkan sebuah bukit di atas kepala Lani.
Lalu, buku tugas yang tiba-tiba hilang di atas meja, membuat Lani bingung dan panik saat tahu buku itu harus dikumpulkan hari itu juga sebelum bel pulang sekolah berbunyi. Ia mencarinya kemana-mana. Di tas punggung, loker kelas hingga sudut ruangan turut ia jelahi namun tetap tidak menemukan buku tugas miliknya.
Ia pun pasrah dan mengatakan yang sejujurnya pada ketua kelas, Dani. Untungnya Dani mengerti dan akan mencoba berbicara pada wali kelas. Lani merasa lega mendengarnya namun sebagai gantinya ia harus menulis ulang di buku tugas yang lain dan pulang paling akhir.
Hingga hari terakhir, Vino mengajak Lani untuk berebut sebuah buku bahasa Indonesia. Karena Lani tidak memiliki bukunya, ia berniat untuk meminjamnya dari Vino. Namun Vino dengan jahatnya tidak mau berbagi dengannya.
Sepertinya, Vino senang jika melihat Lani selalu mengerucutkan bibir di setiap harinya.
Fajar mulai menyingsing di ufuk timur. Namun tak mampu mengalahkan dinginnya pagi yang sunyi.
Lani harus memakai jaket untuk menghangatkan suhu tubuhnya. Lani bersyukur karena hari ini, ia tidak duduk bersama si Vino lagi.
Seminggu yang lalu benar-benar kejadian yang tidak menyenangkan baginya.
Ia mulai memasuki kelasnya dengan harapan baru, yang masih sepi dan senyap, hanya ada segelintir anak yang sudah datang. Mereka datang lebih awal karena menjalankan tugas piket. Ia menghampiri mejanya di bangku depan namun belum sampai ia meletakkan tasnya, Lani dibuat terkejut.
“Apa ini?” gumamnya.
Bagus penulisan ceritanya.
Comment on chapter Why So Serious?