Siang itu aku tengah meliput peperangan yang terjadi di negeri sebelah. Penyebabnya tak perlu kuberitakan, karena semua perang terjadi atas kemauan tangan orang yang punya kuasa, dalam mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
"Hai, Bung! Apa kau melihat manusia?" seru sebuah suara di belakangku.
"Manusia?" tanyaku sambil memutar badan.
"Ya, Bung. Ma-nu-si-a," jawab anak bertampang ironis itu.
"Siapa namanya?" tanyaku antusias.
"Manusia, Bung. Ma-nu-si-a!"
"Aku tahu, tapi siapa nama manusia itu, nama orangnya?"
"Namanya manusia. Mahluk bernorma dan bersusila." Anak itu sewot, "Bung kan reporter, masa tidak tahu. Ah, Bung ini!"
Aku mengangguk getir. "Dengar," kataku, "aku tak mengerti maksudmu. Tapi, ambil ini dan pergilah. Moncong pistol bahkan tak mengenali pemiliknya." Kulemparkan roti bekal makan siangku kepada anak itu.
"Perang saja tidak cukup, Bung. Yang terpenting jangan membenci," kata anak itu sebelum dia pergi.
"Dasar tikus nakal!"
Ketika sekali lagi kutengok anak itu, aku tidak boleh kaget dengan tampang ironis yang baru saja dianugerahi nobel perdamaian tahun lalu itu.
Ciamis, 29 April 2017
@Kang_Isa hehe. Itu kan cermin lama Kak. Pernah aku ikutin event di ppmpi kalau nggak salah. Kalau bukan di Freedom Writers.