Loading...
Logo TinLit
Read Story - 1 9 3 9
MENU
About Us  

Seperti biasanya, malam mulai terasa dingin. Aku masih saja berada di antara pekerjaan dan bayang-bayang yang membuatku lelah. Benar –benar melelahkan. Namun, jam dinding itu terus saja menggangguku. Dia berbunyi lagi, sangat nyaring. Suara jam itu persis sekali dengan jam klasik yang biasanya akan berbunyi tepat pukul dua belas malam. Namun, ini aneh. Jam itu selalu berbunyi tepat pukul 19:39. Ada apa?apa jam dinding itu sudah rusak? Bukankah sebelumnya tidak seperti itu? Ah, sepertinya jam dinding itu memang perlu diperbaiki, ini sangat menyebalkan. Aku benci suara jam itu. Aku ingin hening.

“Aku akan memperbaikinya.” Ucapku sambil bergegas menuju jam dinding tersebut.

Aku berjalan sambil melihat sekeliling museum ini, kulihat meja kecil itu masih berada tepat didekat jendela berwarna coklat muda dan guci-guci antik yang tertata diantara barang-barang peninggalan berharga lainnya. Ah, Sunyi sekali. Mungkin saja hari ini hanya ada aku dan pak Joko satpam baru yang kemarin mulai bekerja di museum ini. Entah mengapa hari ini terasa begitu sepi tidak seperti biasanya ada andi sekertaris museum ini yang menemaniku. Ya, hari ini dia izin karena menjemput ibunya sepulang dari bandung.

“Bu Kirana,” Ujar pak satpam yang tak sengaja bertemu denganku.

“Ah pak Joko, ada apa?” jawabku.

“Tidak ada apa-apa bu, saya hanya sedang berkeliling saja untuk jaga malam.” Ujarnya tersenyum kepadaku yang membuat gigi emasnya terlihat begitu jelas. “Ibu Kirana tidak pulang?” lanjut pak Joko sembari memegang sebatang rokok ditangannya.

Aku terdiam ketika pak Joko berkata “Pulang”. Sulit sekali untukku mendengar kata-kata itu sekarang. Jujur, aku ingin menghidari kata itu saat ini. Aku tak ingin mendengarnya.

“Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan pak, jadi tidak pulang dulu.” Ucapku sambil menarik senyum. “ Ah pak Joko, apa pak Joko yang mengatur alarm jam dinding itu?” lanjutku bertanya pada pak Joko sembari menunjuk kearah jam dinding tersebut.

“Tidak bu, sepertinya tidak ada yag mengatur alarm jam dinding itu.” Jawab pak joko

“Oh ya sudah pak, pak Joko bisa melanjutkan jaga malamnya.”

Pak Joko bergegas pergi untuk melanjutkan tugasnya berjaga malam dan aku segera menuju jam dinding itu untuk membenarkannya. Ah, jika saja andi disini mungkin ia yang akan melakukannya. Melakukannya dengan cepat dan tepat. Ya, dia memang seorang yang dapat diandalkan. Aku menghela nafas ketika kudapati jam dinding yang diletakan begitu tinggi dan ini membuatku kesuliatan untuk meraihnya. Aku melihat sekeliling ruangan itu dan kulihat terdapat kursi kecil didekat sebuah pedang peninggalan zaman Belanda. Ah, pedang itu. Pedang dari penghianat yang tega membunuh putri seorang jendral besar demi menghindari adanya kemerdekaan. Sungguh, setiap kali aku melihantnya aku benar-benar tak menyukainya. Aku bahkan sebenarnya enggan memajang pedang itu di museum ini tapi demi kebaikan orang-orang harus tahu penghianatan yang pernah dialami oleh pahlawa kita sehingga dapat menghargai kehidupan yang sungguh nyaman seperti saat ini. Aku terdiam sejenak lalu segera kuambil kursi tersebut dan kugunakan untuk memperbaiki jam dinding itu.

“Hah debunya banyak sekali.” Ucapku sambil menutup hidung dengan sapu tangan yang ada di saku bajuku.

aku segera menurunkan jam dinding tersebut dan melihat barangkali ada hal yang membuat jam dinding ini tidak berfungsi dengan baik.

“Ini baik-baik saja.” Ucapku

Aku melihatnya kembali. Tidak ada kerusakan yang terjadi pada jam dinding tersebut. aku segera mengembalikan jam dinding tersebut ditempat semula. Menggantungnya tepat disamping pedang peninggalan zaman Belanda tersebut. Aku masih berdiri diatas kursi kecil berwarna coklat tersebut dan bergegas untuk turun. Namun, ada sesuatu yang menghentikanku. Ya, jam itu berbunyi lagi. Entah ini pukul berapa yang kurasa suara alarm itu semakin keras tepat ditelingaku. Ada apa ini? Bukankah jam itu baik-baik saja? Pikirku. Aku menoleh kebelakang tepat dimana jam dinding itu masih tergantung. Namun, suara tersebut ternyata bukan dari jam dinding. Aku tak mendengar apapun dari jam dinding itu tapi suara alarm itu seperti berada didekatku.

“Bukan dari jam dinding ini?” Ucapku yang masih berada diatas kursi kecil berwarna coklat tersebut.

Aku melihat sekeliling ruangan itu. Aku merasa bunyi itu semakin terdengar. Semakin terasa begitu nyaring. Sampai akhirnya aku dapat menemukan dari mana asal suara tersebut. Kini aku tahu asalnya. Pedang. Ya, suara alarm itu berasal dari pedang. Pedang peninggalan zaman Belanda tahun 1939. Ada apa ini? Mengapa pedang itu bisa berbunyi? Aku hendak bergegas turun dari kursi kecil tersebut. Namun, cahaya yang begitu menyilaukan tiba-tiba terpancar begitu saja dari pedang tersebut dan membuatku tak dapat merasakan apapun. Aku hanya mampu memejamkan mata dan merasa tubuhku akan terjatuh.

“Bruuukkk!!”

Perlahan, suara itu semakin terdengar.

 

 

Tags: 1939

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags