“IIIIGH...,” Fikri baru saja terbangun dari tidurnya dan ia langsung meregangkan tubuhnya. “Aaaah... nyamannya,” ia tersenyum lebar.
“Sialan kau!” umpat Adi yang langsung menjitak kepala Fikri.
“Aduh, Adi apa-apaan itu?” keluh Fikri sambil memegang kepalanya sambil melihat Adi yang memandang kearahnya dengan tatapan bringas seekor binatang buas.
“Kau pikir kau siapa seenaknya tidur saat aku membawamu ke klinik, badanmu itu berat tahu,” pekik Adi.
“Ayolah... kita kan teman, jangan menggerutu terus dong!” goda Fikri sambil tertawa lirih. Adi mendengus sambil melipat tangan didepan dadanya.
“Ya sudahlah, cepat bangun dan pakai sepatumu, kita harus kembali ke aula!”
Fikri terkejut kemudian ia menegakkan kepalanya dengan mata membelalak kearah Adi yang menangkap ekspresi terkejut pemuda tersebut.
“Acaranya belum selesai?”
“Hm, kenapa memangnya? Kau tidak ingin mengikuti acara itu? Aku tidak menyangka kau seperti itu,” dengus Adi sambil menyeringai.
Fikri mengerucutkan bibirnya dan menatap Adi dengan kesal.
“Bukannya aku tidak ingin mengikutinya sampai selesai tapi...,” putus Fikri. Dadanya terasa berat kemudian ia menarik nafasnya dan menghembuskannya secara perlahan. Adi menunggu jawaban Fikri dengan sabar. “Masalahnya aku tidak sanggup berada satu ruangan dengan Pak Fairuz,”
“Hm?” Adi menautkan dahinya. Bingung dengan pernyataan Fikri. “Maksudmu?” Ia mengambil bangku yang ada disampingnya dan memilih untuk duduk disana.
“Entahlah Adi, bertemu dengan orang besar seperti itu membuatku agak tertekan,” Fikri menundukkan kepalanya. Adi tidak merespon, ia tetap menunggu jawaban Fikri yang lainnya. “Seolah-olah ada sebongkah batu besar menindih tubuhku, rasanya sangat sakit, aku merasa ia selalu memerhatikanku, Adi,”
Adi mengerutkan dahinya kemudian ia melirik kearah tempat duduk perawat yang kosong kemudian ia melihat kembali kearah Fikri yang sekarang memeluk tubuhnya sendiri.
“Kau yakin kalau kaulah yang diperhatikannya saat itu?”
Fikri menggelengkan kepalanya. “Aku tidak yakin, tapi perasaanku dia selalu memandangiku terus, itu membuatku tidak nyaman,” Fikri menghela nafasnya. “Aku sudah terbiasa diperhatikan tapi tidak dengan raut penuh iba seperti itu, dulu orang-orang memandangiku sepe...,” Ia terdiam, kenangan buruk di masa lalu membuatnya bungkam seribu bahasa.
Anak yang lahir tanpa diketahui siapa ayahnya hanya akan jadi bahan ejekkan dari teman-teman sekolah bahkan bahan penghinaan dari para orang tua. Fikri harus hidup diatas semua penghinaan itu karena Ibunya sendiripun tidak pernah memberitahu siapa ayahnya. Setidaknya Tuhan tahu bahwa dia bukanlah anak hina yang mereka bicarakan, karena ibunya selalu meyakini hal itu padanya. Kuat secara mental dan fisik sudah jadi prioritasnya untuk dapat pertahan hidup, mencari kebenaran dan mengetahui siapa ayahnya adalah tujuan hidupnya sekarang. Melewati semua penghinaan terhadap dirinya dan ibunya sudah cukup untuknya membangun sebuah benteng pertahanan agar dirinya tidak mudah diserang oleh rasa sakit yang selama ini selalu mengahantamnya.
“Seperti apa?” tanya Adi yang membuyarkan lamunan Fikri. Pemuda itu menegakkan kepalanya dan melihat kearah Adi.
“Tidak, tidak ada, ayolah, acaranya belum selesai lebih baik kita kembali ke aula,” Fikri tersenyum sambil menurunkan kakinya dari ranjang.
“Acaranya sudah selesai beberapa menit yang lalu, Fikri,” Adi mencoba menahan tawanya saat ia melihat reaksi Fikri yang terlihat seperti orang bodoh dengan mata membelalak dan tentu saja tubuh yang mematung. “Dasar kau mudah sekali di bohongi,” Adi tertawa terbahak-bahak dan sebuah bantal melayang ke wajahnya.
“Makan itu bantal, sialan kau!” umpat Fikri sambil menundukkan badannya seraya mengambil kaus kakinya dan memasangnya. Adi mengambil bantal tersebut dan melihat kearah Fikri, pemuda itu sadar kalau Adi melihat kearahnya. “Jangan main-main denganku Adi, aku benci dengan leluconmu itu!” Fikri memandang kearah Adi dengan tetapan kesal.
“Apanya yang salah coba? Aku tidak tahu kau ada masalah dengan Kepala Yayasan? Aku hanya berniat untuk bercanda,”
“Tidak ada, aku tidak ada masalah dengannya tapi...,” Fikri menghela nafasnya. “Ya sudahlah lupakan saja! Ayo balik ke asrama,” Fikri bangkit dari duduknya dan berdiri didepan Adi.
“Ah... tunggu dulu aku mau ke biro informasi,” Adi keluar dari klinik bersama Fikri yang mengikutinya dari belakang.
Tidak ada yang mengeluarkan suara saat itu, Fikri tampak masih kesal dengan tingkah Adi, meskipun sebenarnya ia sadar teman satu kamarnya itu tidak berniat jahat, tapi tetap saja itu membuatnya kesal setengah mati. Berbeda dengan Adi, ia tidak merasakan apapun perihal kekesalan Fikri, tapi ia menemukan sebuah fakta yang mungkin saja akan sangat bermanfaat untuk seseorang yang ia hormati agar bertindak hati-hati pada pemuda yang sedang berjalan disampingnya ini. Tanpa ia sadari, ia menyeringai penuh kemenangan dan Fikri yang kebetulan melihat senyuman mengerikan itu langsung menempeleng kepala Adi.
“Hei,” bentak Adi sambil melihat kearah Fikri.
“Jangan menyeringai, mukamu itu kayak setan!” Fikri memandang Adi dengan datar.
“Sialan kau itu yang setan!”
Adi membalas menempeleng kepala Fikri. Pemuda itu tidak terima kemudian terjadi aksi sahut-sahut saling mengejek satu sama lain. Tanpa mereka sadari beberapa mahasiswa memandangi mereka sambil tertawa cekikikkan bahkan bingung atau malah iri karena kedua pemuda itu terlihat sangat akrab. Saling mengejek tapi dengan nada bercanda dan mereka sesekali tertawa.
“Aku tunggu diluar, cepat! Lewat 5 menit kau kutinggal,” sentak Fikri pada Adi.
“Sial, kau pikir aku mau main-main didalam sana,”
Adi berjalan dengan wajah kesal memasuki ruang biro informasi, sementara Fikri lebih memilih duduk di atas kursi pajang yang terbuat dari stainless dengan sandaran punggung. Ia menghela nafasnya kemudian mengambil ponselnya, memasang headsetnya kemudian ia mendengarkan sebuah musik dari ponselnya itu.
“Kau lihat, aku tidak menyangka ekspresi wajah Pak Fairuz, dia tampak tidak bersemangat hari ini,” ucap seorang gadis berkerudung yang tiba-tiba saja duduk bersama temannya di kursi yang sama dengan Fikri, terhalangi oleh satu tempat kosong dari tempat Fikri duduk.
“Ya, nampaknya ada yang membuatnya langsung tidak bersemangat hari ini, Zahra,” ucap temannya.
Fikri melirik kearah suara tersebut dan ia melihat dua mahasiswi yang tadi sempat mengkhawatirkan dirinya di aula. Zahra, si mahasiswi berkerudung langsung mengenali Fikri, wajahnya terlihat sedikit terkejut melihat Fikri yang tersenyum padanya.
“Lho, yang tadi pagi,” ucap Zahra tidak percaya. Si Gadis Rambut Kucir Kuda yang seingat Fikri bernama Salma itu, membalikkan tubuhnya dan melihat Fikri.
“Oooh, yang tadi pagi, kau sudah baikkan?” tanya Salma dengan wajah sedikit terlihat cemas.
“Yah,” Fikri tersenyum lebar.
“Aku tidak melihatmu dibangkumu tadi, aku pikir kau sudah dibawa ke klinik,” Salma mulai mengajak Fikri berbicara, ia cukup tertarik dengan pemuda yang duduk dihadapannya ini. Zahra sedikit terkejut dengan reaksi Salma, gadis itu biasanya tidak banyak bicara, tapi sepertinya pemuda itu membuat sikap anggun dan bungkam Salma runtuh seketika. Apa ini yang dinamakan dengan ketertarikan dalam pandangan pertama? Tapi kenapa tidak cinta? Kenapa Zahra menamainya ketertarikan? Gadis itu tidak yakin Salma mencintai pemuda itu, tapi kalau diperhatikan Fikri cukup lumayan untuk ukurannya. Meskipun kulitnya agak gelap terbakar cahaya matahari dan kalau diperhatikan lagi ada codet di pelipis kririnya tapi pemuda itu memiliki senyum yang menggoda.
Zahra terkejut dengan pemikirannya sendiri, kemudian ia memalingkan wajahnya dengan wajah kesal karena berpikir yang aneh-aneh dengan pemuda yang terlihat menawan. Racun, umpatnya di dalam hati. Kemudian ia melirik Salma, temannya itu juga terlihat sangat tertarik pada Fikri walaupun tampaknya Salma tidak menyadari ketertarikkannya. Zahra tertawa kecil, mengingat betapa Salma begitu sangat antusias untuk belajar agar masuk kedokteran dan meninggalkan warna-warni kehidupan remaja dengan belajar dimanapun ia mau. Pubertas sahabatnya itu sepertinya sedikit agak terlambat.
Cukup lama Fikri dan Salma berbincang bersama Zahra yang terkadang ikut memberikan komentarnya tentang permasalahan yang mereka perbincangkan. Hingga pada akhirnya Zahra lebih memilih untuk membaca buku dan meninggalkan Salma dan Fikri berbincang berdua. Ia merasa dirinya seperti obat nyamuk yang gunanya buat menjaga dua sejoli yang statusnya sebagai teman itu dari nyamuk-nyamuk penganggu, setan mungkin. Zahra merasa miris sendiri dengan statusnya. Masih mending dibilang obat nyamuk ketimbang orang ketiga yang ujung-ujungnya dikatai setan. Nggak banget bahasanya.
Tak lama kemudian Adi keluar dari gedung biro informasi, ia melihat Fikri yang sedang tertawa kepada seorang gadis yang ia kenal sebagai adik dari presiden kampus mereka. Ekspresi Adi yang semula terlihat kelelahan berubah. Ia tersenyum kemudian ia berjalan mendekati mereka berdua. Ia melihat Zahra yang tampak sangat tenggelam dengan dunia yang sekarang berada digenggamnya. Dunia itu berbentuk sebuah buku yang terlihat sangat menarik bagi gadis berkerudung itu.
“Halo... kalian berdua asyik sekali,” ucapnya.
Fikri melihat Adi dengan wajah kesal sementara Salma hanya tersenyum tipis pada Adi.
“Kau lama, Adi,” keluh Fikri.
“Haloooo... lama atau tidaknya aku didalam yang terpenting kau punya teman untuk menghabiskan waktu saat menungguku,” Adi memandang Salma dengan tatapan menggoda. Salma tertawa lirih.
“Jangan menggodanya, anak gadis orang itu,” Fikri memukul perut Adi dengan pelan.
“OWWWWH, kau lihat Salma, pukulannya keras sekali, tolong periksa aku! Kau kan calon dokter,” Adi berpura-pura kalau perutnya sangat sakit dipukuli oleh Fikri. Ia memegang perutnya dan melihat kearah Salma yang sekarang mulai memegang perutnya menahan geli.
Salma tidak menyangka, kedua pemuda yang sempat ia sapa karena kondisi Fikri yang kurang baik di aula tadi begitu humoris. Zahra memandang Adi, ia terlihat tidak suka dengan pemuda itu terlebih lagi dengan sikapnya menggoda Salma. Perlu diberi pelajaran juga sesekali.
Zahra bangkit dari duduknya begitupun dengan Fikri. Mereka mengepalkan tangan dan sedetik kemudian sebuah pukulan telak mengenai wajah Adi dan perut pemuda tersebut hingga tersungkur ke lantai.
“Nah sekarang kau bisa merawatnya, Salma,” ucap Zahra sambil tersenyum pada Salma yang terlihat terkejut saat ia melihat Zahra memukul Adi begitupun dengan Fikri. Fikri melihat kearah Zahra begitupun sebaliknya. Zahra tersenyum padanya. “Aku tidak suka laki-laki seperti ini,”
“HEI, APA-APAAN ITU?” pekik Adi yang sedang berusaha bangkit sambil memegang hidungnya dan perutnya. Fikri melihat kearah Adi begitupun Salma.
“Kau pikir dengan menggoda Salma seperti itu aku akan mengizinkannya dekat denganmu Adi, jangan harap!” Fikri menyeringai.
“Lah, akukan hanya sedikit menggodanya, kenapa reaksi kalian berlebihan begitu?” Adi merungut dengan wajah kesal.
“Yah, kalau kau merasa benar-benar sakit, Salma ‘kan bisa merawatmu dengan alasan yang jelas,” Zahra menambahkan. “Bukan karena hanya sakit yang dibuat-buat,” kekehnya.
“Hah?” Adi tampak bingung.
“Oh ya, masih sakit?” tanya Fikri, masih dengan seringai setannya. Adi tetap merungut kemudian ia melihat Salma yang ikut berdiri melihat keadaan Adi. Ia menyeringai.
“Aduuuuh, sakit,” keluhnya sambil berguling-guling di lantai. Kedutan keluar dari wajah Fikri dan Zahra.
“Kau kira kami tidak melihat seringai licikmu itu, mau ditambahi lagi bogem mentahnya Adi?” tanya Fikri sambil melipat tangannya didepan dada.
“Ya lah,” Adi bangkit sambil membersihkan debu yang melekat di bajunya. “Ngomong-ngomong, nanti kalian berdua ikut ke acara pesta penyambutan mahasiswa baru di Convention Center?” tanya Adi pada Salma dan Zahra.
“Ya... mau tidak mau karena kakak Salma,” jawab Zahra sedikit tidak berminat dengan hingar bingar pesta.
“Ya, terpaksa,” jawab Salma sambil mengerutkan dahinya. “Kalau kalian berdua?”
“Tentu saja,” jawab Adi sambil merangkul pundak Fikri yang menghela nafas sambil memutar bola matanya.
“Aku tidak ikut,” jawab Fikri.
“Lho, kenapa?” tanya Adi kecewa.
“Aduh Adi, kau lupa kalau aku ada kerja malam hari ini?” Fikri mengurut keningnya.
“Aduh...,” Adi menepuk jidatnya.
“Lagian aku tidak suka keramaian, sumpek,” tambahnya dengan tatapan bosan.
“Ya terserah dah, balik yok ah,” pinta Adi tampak mulai hilang semangat saat Fikri mengatakan kalau dia tidak akan ikut ke acara nanti malam di Convention Center. “Kami duluan ya,” Adi melihat kearah Salma dan Zahra, Salma tentu saja meresponnya dengan senyuman sementara Zahra dengan wajah jutek, ia hanya memandang Adi dengan mendengus kesal. Adi hanya memandangnya dengan tatapan bingung.
“Duluan ya,” Fikri tersenyum pada kedua sahabat tersenyum.
“Ya,” jawab Salma dengan wajah tersipu.
Adi berjalan sambil merangkul pundak Fikiri. Terlihat wajah menggoda Adi saat ia berbicara sambil memandang Fikri. Tentu saja Fikri membalas godaan temannya itu dengan tatapan bosan.
“Mereka berdua lucu,” kikih Salma.
“Tapi tetap saja laki-laki yang bernama Adi bukan tipeku,” dengus Zahra yang lebih memilih untuk duduk kembali ke kursinya. Salma hanya tertawa lirih melihat tingkah sahabatnya yang tampak terlalu cuek dengan sekitarnya.
“Kalian berbicara dengan siapa tadi?” tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba berdiri disamping Salma. Gadis itu membalikkan tubuhnya dan melihat Afnan yang berdiri sambil bersedekap. Ia tersenyum pada pemuda tersebut tapi tidak dengan Zahra yang memandang Afnan dengan tatapan datar dan bosan.
“Bukan urusanmu juga kali Afnan,” keluh Zahra sambil membuang wajah bosannya. Sakit saja melihat pemuda yang begitu overprotektif itu sudah berdiri dihadapannya. Afnan melihat kearah Zahra dengan wajah tegang dan tampak marah.
“Sudah-sudah, aku hanya bicara dengan pemuda itu,” tunjuk Salma pada Fikri dan Adi yang sedang memakan es krim yang mereka beli di kantin sekolah. Mereka berdua duduk didepan kantin tersebut, Fikri menyengir hingga menutupi matanya melihat Adi yang bercerita seputar sekolahnya dulu. Sesekali ia mengigit dan mengunyah es krimnya.
Salma tersenyum melihat tawa Fikri tersebut. Senyuman pemuda itu menular kepadanya. Sungguh nyaman dan teduh saat melihatnya begitupun saat mendengar ia tertawa. Zahra melirik Salma kemudian ia tersenyum tipis. Tampaknya sahabat semasa kecilnya itu tidak menyadari betapa berseminya wajah gadis itu. Afnan melihat kepada kedua laki-laki itu. Ia mendengus kemudian matanya membelalak saat Adi tidak sengaja memandang dirinya. Afnan melihat seringai Adi padanya, memandangnya dengan tatapan mengancam dan menusuk.
“Salma, jauhi mereka!” ucap Afnan lirih sambil melihat kearah Salma yang langsung melihat ke arah kakaknya. Wajah gadis itu tampak terkejut begitupun dengan Zahra.
“Kenapa?” tanya Salma lirih.
“Jauhi, apapun yang terjadi jangan dekati mereka, kalau sampai aku melihatmu dengan mereka, aku tidak akan segan-segan menarikmu pulang dari asrama untuk tinggal di rumah!” ancam Afnan.
Salma tampak terkejut, ia menundukkan kepalanya. Memang rumahnya tidaklah jauh kalau ditempuh dengan mobil atau sepeda motor sekalipun. Tapi masuk asrama adalah keinginannya sejak dulu. Terlepas dari kekangan si kakak yang selalu menjaganya, ia hanya ingin merasakan hidup mandiri dengan tidak bergantung pada para pelayan yang ada di rumahnya.
“Kau kenapa?” tanya Zahra sambil memandang Afnan dengan tatapan bosan. Afnan memandang Zahra dengan tatapan datar. “Selalu mengatur Salma dengan perkataanmu itu, Salma bukan anak kecil lagi yang bisa kau atur, dengan siapapun ia bergaul ya terserah Salma ‘kan, toh asalkan tidak melampaui batas kenapa kau batasi pergaulannya?”
“Kau tidak tahu apa-apa Zahra, untuk yang satu ini aku memerintahkanmu menjaga Salma dari kedua pemuda itu,” Afnan melirik kearah Adi yang sekarang sudah berjalan menjauhi kantin bersama Fikri.
“Ya... terserah kaulah,”
Zahra memandang Afnan yang tampak tidak tenang. Pemuda itu terlihat agak gelisah dengan tangan yang mengepal dan wajah yang menegang. Diikutinya pandangan Afnan dan ia mendapatkan Adi yang sedang berdiri disamping Fikri, mereka berdua berjalan dengan santai. Tampaknya tidak ada pembicaraan sama sekali dari kedua pemuda itu. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Zahra menghela nafasnya. Ia sepertinya sadar yang menimpa Afnan, Adi memiliki aura yang kuat untuk pemuda seumuran itu. Terlalu menakutkan memang, tapi untuk Fikri, ia tidak yakin pemuda itu berbahaya. Terlepas dari sikapnya yang jahil dan usil, Fikri anaknya cukup menyenangkan.
“Baiklah, selaku bodyguard adikmu, aku kan menjaga gadis itu dengan baik, jadi kau tidak usah khawatir!” Zahra bangkit dari duduknya dan berdiri didepan Afnan sambil bersedekap. “Jadi apa yang ingin kau sampaikan?” Zahra langsung masuk ke topik. Afnan memberikan pesan pada Salma untuk menemuinya di depan kantor biro informasi.
“Pulanglah, aku hanya ingin memberitahu tentang acara nanti malam, aku akan menjemputmu tepat jam 7, jadi bersiap-siaplah sebelum acara itu!”
Zahra mengerutkan dahinya kemudian ia melihat Salma yang hanya menjawab dengan anggukkan kepalanya. Zahra memutar matanya.
“Sudahlah, ayo kembali Salma!” ucapnya.
“Iya, aku duluan kak,” Salma berbalik dan pergi meninggalkan kakaknya yang terus memandang kearah kepergian adiknya.
Teringat olehnya kejadian tadi pas saat ia hendak keluar dari ruangan administrasi, ia melihat Adi keluar dari ruang Kepala Yayasan. Mereka berpapasan, Adi hanya tersenyum dan menyapa Afnan dengan ramah seperti biasa. Seperti saat mereka masih SMA dulu. Adi tidak terdengar lagi kabarnya selama 2 tahun setelah acara penerimaan ijazah. Adi adalah tipe laki-laki yang benar-benar ingin ia jauhi.
Bagaikan seekor kucing yang jinak, tapi pada saat-saat tertentu kucing itu bisa berbalik menyerangmu dengan segenap kekuatannya. Memberikan perlawanan yang begitu sangat sengit sampai-sampai kau tidak akan bisa memenangkan pergelutan. Layaknya kucing yang bergelut dengan tikus.
Tapi siapa laki-laki yang ada disamping Adi itu? Teringat olehnya Adi tidak memiliki teman sedekat itu. Bahkan untuk saling merangkul dan tertawa bersama serta saling menjahili. Bukanlah sifat pemuda itu. Jadi siapa pemuda itu?
Tiba-tiba matanya membelalak, Adi pernah bercengkrama dengannya saat mereka berdua kerja kelompok di dalam kelas yang sunyi. Ia bercerita tentang masa lalunya, tentu saja Afnan tidak terlalu bersimpati karena Adi tampaknya menikmati itu semua tapi yang membuatnya sedikit tertarik dengan pembahasan Adi tentang seorang pria yang sedang mencari-cari anak dan isterinya. Dua orang yang akan ia sayangi melebihi hidupnya sendiri karena kedua orang itulah yang bisa membuat hidup pria yang ia sayangi layaknya seorang ayah itu bahagia.
“Aku tidak butuh siapapun, cukup melihat Pria itu bahagia bersama keluarganya, aku akan ada untuk membagikan kebahagian itu, terlebih lagi anaknya dua tahun dibawahku, kalau nanti kami berjumpa, aku akan menjadikan dia sebagai sahabatku yang pertama dan akan kuanggap dia sebagai adikku serta akan melindunginya, seperti kau melindungi adikmu, Afnan,”
Kata-kata Adi kembali terngiang di kepalanya. Ia merangkai semua kejadian yang baru saja ia lihat tadi. Mulai dari Adi yang jelas-jelas menemui Kepala Yayasan dan ucapan pemuda itu saat dibangku sekolah. Pikiran Afnan melantur entah kemana-mana. Ia meringis kemudian ia membalikkan tubuhnya dan melihat seorang pemuda dengan kening berkerut melihat kearahnya dengan tatapan bingung.
“Kau kenapa Afnan?” tanyanya.
“Astaga Haikal, kau masih ingat pemuda yang bernama Adinata Aileen Gastiadi, teman satu kelas kita?”
Haikal mencoba mengingatnya, kemudian ia mengangguk saat ia mengingat seorang laki-laki yang kurang mencolok saat dibangku sekolahnya. “Memangnya kenapa dengan dia?”
“Dia yang membuatku sakit kepala,” keluh Afnan sambil berbalik dan pergi meninggalkan kantor biro informasi.
Haikal menghela nafasnya. Bingung dengan sikap Afnan yang tiba-tiba saja berubah drastis. Mengingat teman saat di bangku sekolah yang kabarnya tidak diketahui sampai sekarang bisa membuat pemuda itu sakit kepala seperti itu. Pengaruhnya besar juga untuk Afnan rupanya.
mengambil kisah mahasiswa, pendekatan yg bagus krn pembaca juga kebanyakan mahasiswa sehingga mudah untuk masuk mendalami tokoh. nicee storyudah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter 1