Fikri kembali ketempat duduknya dan Adi memerhatikan temannya itu dengan tatapan kebingungan, melihat betapa basahnya rambut dan beberapa bagian kemejanya.
“Kau ngapain? Bisa kuyub begitu?” tanya Adi pada Fikri yang baru saja mendudukki bokongnya diatas kursi busa. Pemuda itu menghela nafasnya kemudian mengurut dahinya.
“Kau ini kepo sekali?”
“Salah memangnya? Aku ‘kan memperhatikanmu Fikri,” ia menyengir dan merangkul pundak pemuda yang sedang menundukkan tubuhnya itu.
“Iya... iya aku tahu,”
“Jadi kenapa denganmu Sob?”
“Kepalaku agak sedikit pusing itu saja,” pandangannya tertuju kearah pintu disamping kiri podium. Terlihat Fairuz sedang berdiri sambil memandang kearahnya dengan sebuah senyuman dibibirnya.
“Oh kalau begitu bagaimana kalau kau ke klinik kampus saja, aku akan mengantarmu!”
“Hm... itu ide yang bagus,” Fikri langsung bangkit dan Adi membantunya berjalan keluar dari aula. Beberapa panitia mendekati mereka dan setelah Adi menjelaskan situasinya, mereka mengizinkan kedua mahasiswa tersebut keluar dari aula. Fairuz membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan aula bersama beberapa pria berjas hitam yang mengikutinya dari belakang.
“Aku tidak menyangka kau bisa tiba-tiba sakit begini?” keluh Adi saat ia memapah Fikri menuju klinik kampus sambil merangkulkan tangan Fikri ke bahunya.
“Namanya juga sakit datangnya ya tiba-tiba, kau bego juga kadang-kadang ya,” Fikri memandang Adi yang langsung terkejut dengan ucapan Fikri.
“Hei, tadi pagi kau begitu sangat bersemangat, datang sejam sebelum acara, itu kepagian tahu!” pekik Adi frustasi mendengar ucapan Fikri yang mengatai dirinya bego.
“Dan sering mengeluh,”
“Eh, kau kira siapa yang membuatku sering mengeluh begini, kau tahu!” sentak Adi.
“Ha... ha... ha, iya... iya,” tawa Fikri.
“Hm... ya sudah kalau kau mengerti!” masih terdengar suara keluhan dari pemuda itu saat Fikri mulai melihat plank nama sebuah klinik yang tergantung diatas gedung terpisah tersebut. Fikri tersenyum dan ia menutupi matanya seraya membiarkan berat tubuhnya tertompang ke tubuh Adi. “Akh... sial, anak ini malah tidur,” keluh Adi yang masih sempat di dengar oleh Fikri sendiri. Fikri tersenyum mendengar suara keluhan temannya itu.
Adi menyeret tubuh Fikri dengan susah payah hingga seorang satpam melihat Adi dengan wajah terkejut. Ia langsung membantu pemuda tersebut membawa Fikri menuju klinik dengan merangkul pundak Fikri.
Adi melirik kesekelilingnya dan melihat orang-orang yang sedang lalu lalang di area kampus memperhatikan mereka. Ia memutar kedua matanya dan menghela nafas.
“Kalau bukan anaknya aku sudah melemparmu ke kandang buaya, Fikri,” keluhnya.
Sesampainya di klinik Fikri langsung dibaringkan diatas kasur, seorang perawat dengan kerudung hitam mendekati Adi. Adi langsung menjelaskan kondisi Fikri hingga pemuda itu tertidur di bahunya. Satpam dan perawat yang mendengar penjelasan Fikri terdiam dengan ekspresi datar.
Satpam yang menolongnya kemudian kembali ke posnya sementara perawat wanita tadi kembali ke tempat duduknya dan melanjutkan pekerjaannya. Adi duduk disamping Fikri yang dengan tenang tidur sambil terlentang. Pemuda itu melihat kearah wajah Fikri yang tampak sangat tenang dalam tidurnya itu.
“Yah... setidaknya aku yakin kau adalah anaknya... wajah penuh candamu mirip dengannya Fikri,” lirihnya sambil tersenyum.
“Assalamualaikum,” salam seorang pria.
“Walaikumsalam,” salam si perawat.
Adi sangat mengenal suara pria itu ia langsung bangkit dan menyibakkan gorden yang menutupi ranjang tempat Fikri tidur. Seorang pria dengan setelan coklat tanah tersenyum padanya.
“Ada apa dengannya Adi?” tanya Fairuz yang langsung berjalan mendekati Adi yang berdiri sambil membelalakkan matanya.
“Kenapa anda ada disini?”
“Aku hanya ingin...,”
“Kembalilah ke aula Tuan, pengawal anda dimana?” tanya Adi dengan wajah cemas ia melewati Fairuz dan melihat keluar klinik meninggalkan Fairuz dan perawat yang tampak kebingungan dengan reaksi Adi dan tentunya Fairuz yang tumben-tumbennya mendatangi klinik kampus.
Adi menggerutu sambil mencari pengawal Fairuz yang tidak becus menjaga tuan mereka. Saat keluar ia melihat ke-4 manusia berjas hitam yang tampak sedang mencari sesuatuu. Adi mendekati salah satu dari mereka dan memarahi mereka sambil menuntun mereka menuju ke klinik.
Sementara itu di klinik Fairuz memerhatikan wajah Fikri yang tampak sangat tenang dalam dunia mimpinya. Pemuda itu membalikkan tubuhnya ke kanan hingga memunggungi pria tersebut. Pria itu tidak bergeming dari tempatnya berdiri, hanya memandangi Fikri dengan perasaan iba dan rindu. Matanya berkaca-kaca melihat pemuda yang sedang tertidur sambil membelakanginya tersebut. Dadanya terasa sakit bagaikan dipukul dari dalam mendesak sesuatu yang selama ini ia tahan agar tidak tumpah. Tapi apa dayanya, rasa rindunya tidak akan terlepaskan dengan hanya memandangi pemuda dihadapannya. Kekasih hatinya sudah lama pergi, pohon yang tumbuh atas nama cinta telah menghasilkan buah tak tergapai meskipun sudah dihadapan matanya. Ada dinding kasat mata yang seolah-olah memisahkan mereka.
“Fathimah, maafkan aku,” ucapnya lirih kemudian ia membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan klinik. Adi datang bersama pengawal Fairuz yang langsung membawa pria itu kembali ke aula. Adi menghela nafasnya dan kembali ke klinik.
***
mengambil kisah mahasiswa, pendekatan yg bagus krn pembaca juga kebanyakan mahasiswa sehingga mudah untuk masuk mendalami tokoh. nicee storyudah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter 1