Fikri Aditya Zaidan adalah seorang mahasiswa tingkat pertama yang sedang duduk di antara ribuan mahasiswa baru di dalam gedung Convention Center kampusnya. Salah satu perguruan tinggi swasta yang memiliki keunggulan sebagai perguruan tinggi yang melahirkan orang-orang penting. Terletak diatas perbukitan kota yang bernama Starlley Heuvels, membuat kampus yang berdiri diatas tanah 3 hektar tersebut, tampak megah dengan cahaya lampu kampus yang bersinar dengan terang saat kegelapan malam menyelimuti kota tersebut.
Kampus yang sudah berdiri selama lebih dari 40 tahun tersebut memliki fasilitas yang sangat memadai sebagai kampus yang memliki akreditasi A dari Badan Pengawas Perguruan Tinggi. Taman kampus yang terawat sangat baik, fasilitas penunjang pendidikan yang layak seperti asrama, Sport Hall, Internet Center, tempat ibadah bahkan rumah sakit yang sering digunakan oleh mahasiswa kedokteran serta menjadi pusat kesehatan untuk masyarakat sekitar dan tidak lupa perpustakaan terlengkap di kotanya, membuat sebagian mahasiswa perguruan tinggi lainnya tidak segan-segan menjadi anggota, karena hanya ingin mencari referensi atau bahkan hanya sekedar membaca buku nasional dan internasional. Perguruan tinggi yang terlalu mewah itu seorang anak dari kalangan bawah seperti Fikri.
Hari itu adalah hari dimana semua mahasiswa baru dikumpulkan disatu ruangan. Acara terakhir setelah 2 hari mereka melaksanakan kegiatan pengenalan kampus. Berbagai kegiatan lainnya yang tentunya tidak diikuti oleh Fikri karena ia harus melakukan pekerjaannya diluar sana. Hanya karena ini adalah acara terakhir dan semua mahasiswa baru diwajibkan datang, Fikri jadi harus menahan pantatnya yang panas diatas kursi busa yang terasa menipis selama 2 jam karena diduduki olehnya. Acaranya akan dimulai jam 8 pagi, akan tetapi sebelum acara dimulai sejam, sebelumnya mereka harus berada di dalam gedung Convention Center. Sialnya lagi, Fikri datang terlalu awal, hingga ia harus duduk di bangkunya lebih dari sejam, hanya untuk mendengarkan intruksi panitia Pengenalan Kampus, yang sedang mengatur tempat duduk mahasiswa baru sesuai dengan fakultas mereka masing-masing.
Sesekali terdengar suara helaan nafas dari Fikri. Seorang pemuda duduk disampingnya, ya seorang pemuda yang dikenalnya sebagai teman satu fakultas dan satu kamarnya itu melirik kearahnya dengan tatapan mengintimidasi. Merasa diperhatikan pemuda itu melihat kearah temannya yang bernama Adinata Aileen Gastiadi itu dengan tatapan bosan. Fikri kembali menghela nafasnya dan memalingkan kepalanya kearah manapun yang diinginkannya, agar perhatiannya teralihkan dari tatapan menyebalkan temannya itu. Hingga tatapan matanya tertuju kepada seorang pria. Pria tersebut memerhatikannya dari pintu yang berada tepat disamping podium.
Pria itu menatapnya penuh dengan rasa rindu dan sayang. Matanya terpaku kearah Fikri dan raut wajahnya terlihat seperti mengiba tapi pemuda itu langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Nafasnya memburu dan darahnya berdesir hingga membuat dadanya terasa sesak. Fikri memegang dadanya dan meremas almameter biru yang dipakainya. Adi terkejut saat melihat ekspresi Fikri yang terlihat menderita itu.
“Fikri, ada apa?” tanya Adi sambil memegang bahu Fikri. Pemuda itu hanya tersenyum tipis dan mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak dengan sangat kencang. Tapi ada sesuatu yang membuatnya ingin berteriak dan memuntahkan semua kekesalan dan amarahnya, saat ia masih merasakan tatapan dari pria dengan setelan jas coklat tanah yang ada di bibir pintu.
“Ikh... astaga, tenanglah!” ucapnya lirih.
Adi mengerutkan dahinya, kemudian ia menegakkan kepalanya dan melihat ke seluruh penjuru ruangan yang sudah dipadati oleh mahasiswa baru, hingga pada akhirnya tatapan matanya tertuju pada seorang pria yang ada di bibir pintu tepat di sebelah kiri podium. Ia sedang memandangi dirinya dan Fikri. Adi menggelengkan kepalanya dengan wajah cemas. Pria berjas itu menghela nafasnya, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan tempat ia berdiri. Beberapa orang dengan setelan berwarna hitam menuntunnya memasuki ruangan lain.
“Temanmu kenapa?” tanya seorang perempuan pada Adi.
Pemuda itu melihat kearah asal suara tersebut dan ia melihat seorang perempuan dengan rambut yang diikat ekor kuda dengan almameter yang sama dengannya. Ia juga memakai pakaian hitam putih bersama seorang perempuan berkerudung hitam.
“Kalau sakit lebih baik dibawa ke klinik saja, apa perlu kupanggilkan senior untuk mengantarnya? Mumpung acaranya belum dimulai,” tanya perempuan berkerudung.
“Aku yang akan memba...,” putus Adi saat Fikri menghirup nafasnya dan menghelanya dengan perlahan. Ia mengambangkan senyumannya dan melihat kearah dua perempuan yang sungguh sangat baik memperhatikan dirinya.
“Tidak usah, aku sudah mendingan, terima kasih,” ucapnya.
Adi dan dua teman seangkatan mereka tersebut terdiam melihat Fikri yang terlihat mulai tampak membaik dengan hanya sekali helaan nafasnya.
“Ya sudah, kalau kau masih tidak enak badan lebih baik lapor ke panitia,” ucap perempuan berambut ekor kuda.
“Tidak apa-apa, tenang saja!” Fikri tersenyum dengan lebar pada perempuan tersebut.
“Hm,” kedua perempuan itu tersenyum tipis. “Ya sudah, jaga kesehatanmu, besok kita sudah mulai kuliah, kau tidak inginkan meninggalkan kesan buruk kepada dosenmu dihari pertamamu masuk?” ucap perempuan berambut kuda sambil tertawa lirih sembari meletakkan jemari yang dikepal ke bibirnya.
“Tentu saja,” Fikri tertawa.
“Salma, Zahra, kenapa kalian ada disini? Fakultas Kedoteran disebelah sana,” ucap seorang senior perempuan dengan kemeja merah kotak-kotak dan rok hitam sebetis. Ia menunjuk kearah barisan paling depan dari barisan tempat duduk Fikri dan Adi.
“Iya kak, maaf!” kedua mahasiswi tersebut langsung berjalan ke posisi dimana seharusnya tempat para anak kedokteran duduk. Sementara itu senior berkepang tersebut mendesah dan pergi dari tempatnya berdiri.
Saat gadis bernama Salma sudah menemukan tempat duduknya, ia membalikkan tubuhnya dan melihat kearah Fikri. Gadis itu tersenyum saat mereka beradu pandang. Fikri hanya memberikan senyuman tipis pada gadis yang sudah mendudukki kursinya bersama temannya yang bernama Zahra.
“Hm... kau suka ya?” goda Adi sambil menyikut tangan kiri Fikri. Pemuda itu melihat kearah temannya sambil memandangnya dengan tatapan kesal. “Sudahlah... kau tidak akan bisa mendapatkannya, gadis itu adik kandung presiden kampus kita, susah mendapatkannya,”
“Memangnya aku peduli?” gumam Fikri yang mulai kesal dengan guyonan Adi. Sementara itu Adi hanya tersenyum sambil menyengir, merasa menang dengan permainannya sendiri. “Lagian juga dia yang duluan tersenyum padaku, gak mungkin juga ‘kan aku membalasnya dengan wajah jutek, yang benar saja Adi?” Fikri menghela nafasnya.
“Mana tahu kau tiba-tiba ada rasa padanya, kemudian kau mulai mengejarnya, layaknya seorang pemuda kasmaran yang sedang mencari cinta,” kekeh Adi. Fikri memutar bola mata saat ia kembali mendengar guyonan si teman satu kamarnya.
Suara seorang laki-laki dengan rambut dikucir terdengar melalui speaker, ia meminta para mahasiswa baru bergegas untuk duduk ditempat yang telah ditunjuk, sesuai dengan fakultas mereka masing-masing karena acaranya akan dimulai. Fikri melihat dengan sekilas ke seluruh penjuru ruangan yang mulai sepi dari para mahasiswa baru yang sedang mencari posisi duduk mereka. Ada beberapa yang baru datang dan langsung diarahkan oleh panitia lainnya ke tempat mereka seharusnya berada. Acara dimulai dan para panitia berdiri di sudut ruangan sambil mengawasi para mahasiswa baru, agar tidak melakukan sesuatu yang akan menganggu berlangsungnya acara mereka.
Tak lama menunggu terdengar suara seorang laki-laki yang datang sambil memperkenalkan dirinya sebagai Abdul Ghani. Ia datang menyambut para mahasiswa baru dengan sangat ceria dan begitu sangat bersemangat hingga membuat para mahasiswa langsung bersorak-sorai penuh semangat. Fikri hanya mendengus melihat antusiasme teman-teman seangkatannya itu. Saat semuanya kembali tenang Ghani memanggil seorang wanita berkerudung yang akan memulai acaranya dengan membacakan kitab suci Al-quran kemudian dilanjutkan dengan penyambutan dari presiden kampus Afnan Atma Purnama, mahasiswa tingkat tiga yang baru saja menjabat saat awal tingkat keduanya. Kemudian dilanjutkan oleh rektor kampus, Pak Hafiz Alham dan terakhir adalah seorang pria yang membuat jantung Fikri berdetak tidak beraturan.
Pria yang tadi sempat menatapnya di bibir pintu itu, berjalan menaikki podium, tersenyum ramah pada mahasiswa baru yang ada dihadapannya. Fikri memalingkan wajahnya saat tatapan mereka beradu pandang. Fikri melihat Adi yang sedang tersenyum dengan sumeringah saat ia melihat pria yang diperkenalkan oleh Ghani sebagai Kepala Yayasan Al-Debaran.
“OK INILAH KEPALA YAYASAN KITA, AL-DEBARAN FAIRUZ ANWAR, BERIKAN TEPUK TANGAN KALIAN UNTUK BELIAU,” Suara tepukan membahana memenuhi ruangan dengan sorak-sorai para mahasiswa dan mahasiswi yang begitu tampak sangat menganggumi sosok pria yang sedang bersalaman dengan Ghani. “Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk menghadiri acara penyambutan mahasiswa baru ini Pak Fairuz,” ucap Ghani sambil tersenyum lebar. Kepala Yayasan itu hanya tersenyum tipis sambil menganggukkan kepalanya.
Seorang mahasiswa senior memberikan sebuah mic kepada Fairuz, ia memulai kata sambutannya dengan memperhatikan seluruh ruangan dan tatapan pria itu selalu terkunci kearah tempat duduk para mahasiswa jurusan teknik. Fikri merasakan itu dan sungguh ia sangat tidak nyaman dengan tatapan Si Kepala Yayasan yang membuatnya tidak nyaman. Fikri mengerinyitkan keningnya kemudian ia bangkit dari duduknya meninggalkan Adi yang terlihat kebingungan melihat tingkah Fikri.
“Kau... kau kenapa Fikri?” tanya Adi saat ia hendak berdiri dan menyusul pemuda yang sedang menahan sakit dikepalanya sekaligus didadanya. Tangan Fikri terangkat untuk menghalangi Adi mengikutinya.
“Aku akan ke toilet sebentar, kau duduk saja!”
Adi mengerutkan dahinya seraya kembali keposisinya semula dan tetap memperhatikan punggung Fikri yang mulai menjauh hingga ia tidak lagi dapat melihat sosok yang sedang berjalan sambil memijat keningnya itu. Adi melihat kearah Fairuz yang tiba-tiba saja berhenti berbicara hingga membuat para mahasiswa saling berbisik terjadi.
***
“Astaga Ibu,” keluh Fikri sambil melepaskan almameternya dan menyapirkan ke bahu seraya berjalan menuju toilet. Ia melepaskan kancing lengan kemejanya dan melipatnya keatas. Saat memasuki toilet ia melihat mahasiswa sedang mencuci tangan dan beberapa lainnya sedang membereskan pakaiannya. Hingga pada akhirnya satu persatu dari mereka pergi meninggalkan toilet meninggalkan Fikri yang langsung berdiri didepan wastafel dengan kaca besar didepannya.
Ia menghidupkan kran wastafel dan menampungnya dengan kedua tangannya. Membasuh mukanya dengan sangat kasar hingga percikkan dari air mengenai baju kemeja bagian bahunya dan krahnya. Ia menegakkan kepalanya, menghirup nafas dan menghembuskannya secara perlahan sembari melihat pantulan wajahnya yang kusut di cermin dengan posisi kedua tangan diatas wastafel.
“Sial, kenapa aku harus menerima beasiswa yang mencurigakan itu,” desisnya frustasi. “Terlebih lagi... ikh,” lagi-lagi Fikri menampung air wastafel dan membasuh wajahnya. “Sial... sial,” pekiknya frustasi. “Sudah cukup... aku tidak yakin dia adalah ayahku,” ucapnya sambil mendecih kesal. Fikri menegakkan tubuhnya dan melihat kotak tisu yang tergantung di dekat wastafel. Ia memandangi kotak tisu yang ada dihadapannya dengan tatapan datar. “Sial sekali nasibku ibu,” isaknya saat ia sadar tidak ada tisu disana.
“Sial kenapa?” tanya seseorang yang berdiri dibelakang Fikri.
Sontak pemuda tersebut membalikkan tubuhnya dan melihat seorang pria yang dikenalnya sebagai Kepala Yayasan kampusnya sedang berdiri sambil tersenyum kepadanya. Kenapa Pak Fairuz ada disini? Fikri memundurkan tubuhnya selangkah dan membuat Fairuz terlihat kebingungan dengan tingkah pemuda yang ada dihadapannya.
“Kenapa?” tanyanya.
Fikri berusaha untuk tersenyum kemudian ia menggelengkan kepalanya.
“Tidak Pak... tisunya habis, saya harus kembali ke aula, permisi,” Fikri berjalan melewati Fairuz dengan wajah ketakutan dan jantung yang berdetak tidak beraturan.
“Namamu Fikri bukan?” tanya Fairuz sambil membalikkan tubuhnya dan melihat Fikri yang hendak membuka pintu toilet. Pemuda itu membalikkan tubuhnya dan melihat Fairuz yang sedang berjalan mendekatinya sambil merogoh kantong jas bagian dalam. “Wajahmu basah, lebih baik kau keringkan dengan sapu tangan ini,” ia memberikan sebuah sapu tangan pada Fikri.
Fikri melihat kearah sapu tangan yang tertuju padanya tersebut kemudian beralih kearah Fairuz kemudian ke sapu tangan. Sadar apa yang sedang terjadi Fikri tersenyum tipis.
“Tidak Pak, terima kasih!”
“Ayolah, penampilanmu sungguh berantakan, memalukan sekali kalau kau keluar dengan penampilan seperti itu,” Fairuz mendekati Fikri dan melap wajah pemuda yang ada dihadapannya dengan sapu tangan tersebut. Fikri terkejut saat mendapatkan perlakuan seperti itu dari Fairuz yang tentunya status pria yang dihadapannya itu sangatlah tinggi, sesuai dengan namanya, tinggi jauh diatas permukaan bumi.
“Dia bagaikan bintang dilangit Nak, tidak terjangkau dan tentu saja dia selalu mengawasimu dari tempat nan tinggi dan jauh disana,” sebuah kalimat terdengar. Fikri terdiam dan matanya mulai berkaca-kaca sambil melihat Fairuz yang masih saja melap wajah dan rambutnya yang basah.
“Hm?” Faruz melihat Fikri meneteskan air mata dengan tatapan yang tertuju langsung kepadanya. “Kau kenapa?”
“Hah?” sadar dengan apa yang terjadi padanya Fikri langsung membuang wajahnya dan menghapus air matanya dengan punggung tangannya. “Tidak ada apa-apa... terima kasih Pak!” ia membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan Fairuz.
“Fikri...,” ucapnya lirih.
mengambil kisah mahasiswa, pendekatan yg bagus krn pembaca juga kebanyakan mahasiswa sehingga mudah untuk masuk mendalami tokoh. nicee storyudah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter 1