Kepada seseorang yang sangat menyukai Bintang
Aku terkesan dengan caramu menyembunyikan rasa hingga tak ada sedikitpun nalarku menggapainya, jikalau saja teman-teman tidak berkata padaku atau takdir Tuhan yang mengantarku padamu. Simpang siur memang. Tetapi setelah menemukan kertas di atasnya terpaut tulisanmu, aku semakin yakin bahwa memang selama ini kau penyembunyi rasa yang andal. Untuk itu, kuucapkan terima kasih.
Aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Aku tidak bisa menentukan gadis seperti apa kau sehingga aku bingung, kau sebenarnya ingin hubungan yang seperti apa. Ahh, anggap saja ini lucu tapi aku benar tidak berpengalaman dalam hal begini.
Jadi, izinkan aku bertanya. Jika aku tidak menyukaimu, hal apa yang harus kulakukan? Dan jika ternyata aku juga sangat mengagumimu, akankah aku ungkapkan segera?
Tertanda,
Bintang Kejora.
***
Sebut saja namanya Bulan. Bulan Purnama. Hari ini kursinya kembali tak terhuni kecuali oleh debu-debu yang selalu lupa dibersihkan petugas piket. Sudah tiga kali dalam pekan ini dia absen. Tak ada seorang pun tahu dan tak ada yang peduli. Kemana Bulan, apa yang dia lakukan, dan mengapa dia tak datang ke sekolah. Kecuali, seseorang bernama Bintang itu.
“Bulan Purnama.” Hening.
“Absen lagi?” Bu Endang menggeleng beberapa kali.
“Mungkin dia sakit, Bu. Soalnya kita juga tak pernah diberitahu kabarnya.”
“Iya. Meskipun pendiam begitu, setahuku dia rajin kok.”
“Rajin apanya? Rajin tulis diary, sambil ketawa-ketawa sendiri begitu?” kata seorang laki-laki dengan nada menghina.
“Yee Aldo. Bilang saja kau sakit hati karena ditolak dia, kan?” tak mau kalah, seorang perempuan yang duduk bersebelahan dengan kursi kosong itu menapik ejekan Aldo yang kini merah wajahnya.
“Ah, sepertinya Bulan malu, kan surat cintanya untuk Bintang sudah kedapatan kemarin. Hahaha.” Kelas semakin riuh dipenuhi tawa seluruh penghuninya, kecuali seseorang bernama Bintang itu.
“Sudah, sudah. Mari kita lanjutkan pembelajaran. Bintang? Cari tahu keterangan Bulan yah. Coba hubungi orang tuanya atau kau datangi rumahnya. Bagaimana pun dia masih bagian dari sekolah ini.”
“Ciee..” goda teman-temannya kompak.
“Iya, Bu,” Bintang mengangguk saja. Sebagai ketua kelas, seyogyalah dia menjadi perpanjangan tangan guru-guru yang malas bertindak. Akhirnya, siswa-siswi pun mengikuti pembelajaran dengan baik meski ada terkantuk-kantuk, menatap kosong tulisan guru di papan tulis atau mencoba memerhatikan walau jiwa tak peduli.
Hati-hati dengan nama Bulan. Bulan Purnama. Ketika kau memanggilnya dengan suara di bawah frekuensi lima ribu Hertz, kau mungkin akan masygul karena diabaikan. Dia tidak tuli. Melainkan melamun dan menulis adalah hobinya. Bahkan ada yang menambahi embel-embel “menulis sambil senyum-senyum sendiri.”
Saban hari, saban waktu istirahat dia akan selalu berada di kelas, menulis sambil sesekali menyeruput jus kemasan yang dia bawa dari rumah. Diamnya jawaban dari segala kata “setuju”, “iya”, “boleh” dan kernyitan alisnya seakan berkata “jangan”, “tidak sekarang” atau “aku tidak sepakat”. Entah apa yang membuatnya begitu hemat kata. Kapan pun, di mana pun, dengan siapa pun.
Pernah suatu hari ketika dia di suruh untuk berpidato tentang antikorupsi di kelas bahasa Indonesia, dengan cerdiknya dia hanya menyajikan sebuah video memukau—entah dia peroleh darimana, video yang menampilkan kasus korupsi di berbagai negara dengan ilustrasi layaknya drama Korea. Lantas berkata seperti ini:
“Para audiens, kata-kata hanya akan menjadi sebatas kata yang diterbangkan angin jika kita hanya berpangku tangan mendengarkan pidato tanpa bertindak untuk menjadi lebih baik. Saya Bulan Purnama, mengakhiri pidato saya dengan harapan mari kita tidak membuang waktu mendengarkan pidato antikorupsi yang sudah dibawakan oleh 20 teman kita sebelumnya, melainkan kita belajar, memperbaiki diri agar kelak menjadi pemimpin antikorupsi. Terima kasih.”
Guru bahasa Indonesia dan teman-teman Bulan belum sadar betul dari takjubnya hanya bisa bertepuk tangan mengiringi turunnya Bulan dari mimbar. Seolah tersihir oleh video tadi, mereka sudah tak sempat mengomentari pidato Bulan yang sebenar-benarnya singkat, padat dan jelas.
Satu lagi hal mengganjal, yaitu buku harian merah muda yang saban detik, menit atau jamnya menemani gadis misterius ini. Meskipun tak banyak berkata, namun kau bisa membaca raut wajah cantik nan tirus itu. Mata yang sedikit lebih cokelat dari kulitnya akan menancarkan aura tersendiri yang membuat kita mafhum, apa yang ingin dia katakan. Tak ada selaki-laki pun tidak jatuh cinta ketika rambut panjangnya tergerai dan bergoyang-goyang kecil ketika dia berjalan. Terlebih ketika dia meraih pena, lalu rambutnya dikumpul di sebelah kanan, kaki dilipat lalu menulis sambil tersenyum menghadap kaca.
Kabar angin mengatakan dia sedang menyukai seseorang. Hal tersebutlah yang mematakan hati para pencari cinta di sekolahnya. Sikapnya sangat tertutup membuat semua penasaran: siapa gerangan lelaki yang berhasil mengikat hatinya. Sebab, penolakan demi penolakan darinya benar-benar tak pandang bulu. Anak konglomerat, kapten tim Basket, asisten guru Fisika, sampai ketua OSIS pun ditolaknya mentah-mentah.
Terlepas dari itu semua. Bintang—ketua kelas teladan yang telah ditugasi bu Endang mencaritahu keberadaan Bulan pun baru-baru ini dikejutkan dengan kabar menggembirakan, mungkin baginya seorang. Buku harian merah muda Bulan dilupa empunya di laci meja. Seorang siswa yang piket kemarin menemukan buku itu dan seisi kelas pun heboh.
Disaksikan puluhan pasang mata, si penemu buku dengan tulisan “Love in Paris” di sampulnya itu menyibak selembar demi selembar tulisan Bulan. Betapa terkejutnya mereka membaca tiap-tiap kalimat dalam buku itu.
Jangan datang di siang hari, karena cahanyamu akan kalah oleh cerahnya mentari. Namun datanglah pada malam hari, di mana setiap hati ingin disejuki oleh kerlap-kerlip dirimu.. Bintang.
—Sabtu, 8 Mei 2017
10.15 am
Suatu malam aku ingin bermimpi berdansa denganmu di atas panggung langit. Atau lima jarimu bisa saja memainkan piano lalu biarkan aku yang menari. Tapi mungkinkah itu?
—Selasa yang cerah, 11.00 am
Kita begitu dekat dalam jiwa. Dari sini aku bisa memandangmu leluasa. Bintang, kau bersinar begitu indah.
—Beberapa menit sebelum istirahat di hari Rabu.
Bulan Purnama.
Sebut saja namanya Bintang. Bintang Kejora. Seorang laki-laki sederhana namun menawan. Bagaimana tidak, jari jemarinya yang lentik nan panjang akan sangat indah tatkala bermain di atas tuts-tuts piano berwarna hitam putih. Sebagai ketua club musik terpopuler di sekolah, dialah yang paling sering naik panggung ketika ada acara. Dan pada saat itu, dia akan bersinar sebagaimana namanya. Tangannya sangat piawai berpindah dari satu tuts ke tuts lain lalu dia akan mengakhiri permainannya dengan senyuman, sehingga gigi sebelah kanannya yang gingsul itu menjadi penutup manis dari alunan pianonya.
Bintang termasuk laki-laki santun yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabatnya. Dia satu-satunya teman kelas Bulan yang tak ingin mencoba merasakan penolakan Bulan. Bukan tidak tertarik sama sekali, melainkan Bintang memang tak terbiasa mengejar cinta. Dia dengan mudah mendapatkan gadis tercantik sekali pun jika dia mau. Wajah tampan nan rupawannya itu bahkan dikagumi oleh para guru.
Sebaliknya, Bintang juga tak segan-segan memberi penolakan. Tetapi, Bintang bukanlah orang pendiam nan tertutup seperti Bulan. Penolakannya pun dilakukan dengan halus dan begitu anggun. Ya, tak seperti bintang di langit, dia punya cahaya sendiri.
Bintang, yang turut menyaksikan perbuatan lancang teman kelasnya merasa heran. Dia merasa berhak untuk paling terkejut, sebab namanya tertulis rapi diukiran tangan Bulan. Beberapa siswa yang sadar akan kehadiran Bintang bersorak menggoda.
“Cie, Bintang. Ternyata Bulan naksir kamu!”
“Ya ampun, tidak kusangka orang yang disukai Bulan itu Bintang!”
“Kan pasangannya Bulan memang Bintang.”
Hari itu sampai sekarang, Bintang kian tak fokus dalam pelajaran. Hatinya kasmaran, pikirannya di penuhi oleh satu nama: Bulan Bulan Bulan. Sepucuk surat balasan yang dia sebut ‘surat cinta’ telah terselip masuk ke loker Bulan. Dan terbesit di hatinya hasrat untuk menemukan Bulan, ditambah lagi amanah dari Bu Endang tadi.
Pertama-tama, dia mencari nomor telpon orang tua Bulan dan karena hanya suara operator terdengar, dia memutuskan untuk mendatangi alamat Bulan yang didapatnya di staf Tata Usaha. Diingat-ingatnya kembali kejadian apa pun—sekecil apa pun yang penting ada dirinya dan Bulan yang kiranya memberi lampu hijau atas persepsinya. Bintang berdebar-debar membayangkan akan melihat gadis bermata cokelat itu. Ah, inikah namanya cinta? Bintang membatin.
***
Bintang melesat tergopoh-gopoh menuju suatu tempat. Pakaiannya berantakan, rambut acak-acakan dan tali sepatunya hampir saja menelungkupkannya ke lantai koridor sekolah. Dia menuju deretan loker siswa dan dengan sigap berhenti di depan sebuah loker berwarna silver, masih dengan napas terengah-engah. Di tengah atas loker, tertera rapi nama “Bulan Purnama”. Dibukanya loker itu kasar, namun terkunci. Dibuka lagi dua sampai empat kali namun loker tetap tak bergeming.
Akhirnya dia berlari ke kelas masih dengan napas yang kian butuh jeda. Beberapa orang lewat yang tak sengaja dia tabrak hanya bisa mengumpat melihat orang yang menabraknya itu tidak hirau sama sekali. Tiba di kelas, suasana yang tadinya hening pun gusar dibuat pintu dipukul keras oleh Bintang. Sontak puluhan pasang mata beralih kepadanya, termasuk seorang gadis yang duduk di pojok kanan belakang. Ya, gadis berambut panjang, bermata cokelat dengan selembar kertas merah muda di tangannya. Gadis itu menatap Bintang lekat, lalu beberapa detik kemudian tersenyum—seakan berkata: Bintang.. Bintang..
Lututnya melemas. Bayangan kemarin ketika berada di rumah Bulan terus terngiang di kepalanya, di mana pembantu Bulan memersilahkannya masuk ke ruang belajar Bulan. Memasuki pintu ruangan yang ditunjuk, Bintang sangat terkejut dengan nuansa luar angkasa di sana. Perabotan dominan berwarna silver atau kuning muda, dinding ditempeli dengan wallpaper bintang malam, sehingga berada di rumah itu serasa berada di titik terdekat dari langit. nuansa luar angkasa itu diperkuat lagi dengan pajangan atau lukisan planet, meteor dan.. bintang.
Ruangan berukuran 4x5 meter itu berisi sederatan buku yang hampir semua tentang bintang dan gugusannya. Mata Bintang terus menangkap kata-kata yang berkaitan dengan luar angkasa. Asteroid, meteor, ursa mayor, bimasakti. Hingga dia berhenti di depan meja belajar minimalis milik Bulan, dan tercekat melihat tulisan besar-besar di hadapannya: I want to be Star Researcher.
***