"Terima kasih, Pak. Saya tidak tahu lagi bagaimana nasib anak saya kalau tidak ada Bapak," ucap Randi, suamiku, kepada Pak Ustaz Abu.
"Berterima kasihlah kepada Allah, karena-Nya-lah hati saya tergerak untuk ke rumah ini," tuturnya khas ustaz pada umumnya.
"Tapi, saya heran bagaimana bisa anak saya jatuh ke tepi sawah seperti itu?" tanya Randi sambil menatap Alya yang tidur di pangkuanku.
Pak Ustaz sepertinya terlihat sedikit ragu untuk menjelaskan. "Untuk itu saya cuma bisa beri saran, agar Bapak dan Ibu selalu berada di dekat anak. Jangan sekali-kali membiarkan mereka bermain sendiri, walau masih di dalam rumah. Karena bagaimana pun, jiwa mereka masih rentan untuk dipengaruhi," tuturnya.
Randi mengeryitkan dahinya. "Maksud, Pak Ustaz?"
"Ada entitas lain di rumah ini selain Bapak dan Ibu," jelasnya.
Aku hanya menatap Randi dan Pak Ustaz. Melihat ekspresi wajah mereka yang menjadi sangat serius.
"Ada roh penasaran di rumah ini," tutur Pak Ustaz dengan sedikit pelan.
"Maksudmu penasaran?" tanyaku ikut angkat bicara.
Randi menatapku dengan tatapan kesal, mungkin dia marah dengan perkataanku yang tak sopan barusan.
"Maaf. Maksudnya penasaran, Pak?" ulangku.
"Ada roh penasaran yang meninggali rumah ini sejak lama, ini rumahnya!" jelasnya. "Dialah yang membuat anak Bapak dan Ibu terjatuh di tempat itu."
Randi menatap cemas ke arah Alya yang masih pulas tertidur di pangkuanku. "Jadi kami harus bagaimana, Pak?"
"Tinggalkan rumah ini secepatnya, cuma itu satu-satunya cara." jawab Pak Ustaz lugas.
"Tidak bisa!" sahutku cepat.
"Kenapa tak bisa?" Pak Ustaz menatapku heran.
"I-itu karena–"
"Karena untuk pengobatan Alya, Pak," potong Randi.
"Pengobatan?" tanya Pak Ustaz tak mengerti.
"Ada masalah di paru-paru Alya, jadi dokter menyarankan kami untuk membawa Alya ke tempat yang masih bersih udaranya, karena itu kami ke sini," jelas Randi panjang lebar.
Pak Ustaz mengangguk perlahan.
"Apa tidak ada solusi lain, Pak? Karena, hanya rumah ini yang masih dekat dengan tempat kerja saya di kota," tambah Randi.
"Sebentar!" tuturnya kemudian menutup mata.
Entah apa yang dilakukannya, bibirnya seakan merapalkan sesuatu. Ayat?
"Kamu mau ke mana, Mah?" tanya Randi yang melihatku tiba-tiba berdiri.
"Titip dulu, Alya. Mamah mau bikinkan air teh buat Pak Ustaz," jelasku sembari memberikan Alya ke gendongan Randi.
"Oh, iya. Sampai lupa." Randi menarik Alya ke dalam pelukannya.
Aku bergegas ke dapur, mengambil dua gelas kosong – dua kantong teh celup, dan memasukannya ke masing-masing gelas – mencurahkan air dalam botol mineral ukuran 1 liter ke dalam teko – meletakkan teko ke atas kompor gas – lalu menghidupkannya.
Entah apa yang mereka bahas, tak terdengar sedikit pun. Namun tubuhku berkeringat, panas sekali. Aku harap ini cepat selesai.
***
"Lama sekali, Mah. Pak Ustaz udah hampir mau pulang, nih." ucapnya sedikit bercanda.
"Maaf, tadi lupa menaruh gulanya di mana, jadi Mamah sibuk cari dulu," ucapku sedikit tersenyum. "Jadi sampai mana?"
"Sepertinya untuk malam ini, saya akan menginap di sini, itu pun jika Bapak dan Ibu izinkan," tuturnya.
"Gak ..." Randi menoleh ke arahku seketika. "Gak masalah maksudnya. Pak Ustaz bisa tidur di kamar tamu itu." Tunjukku.
Pak Ustaz tersenyum. "Terima kasih. Insya Allah akan saya buat rumah ini nyaman untuk ditinggali manusia lagi. Karena saya sudah banyak mendengar cerita kelam tentang masa lalu rumah ini dari warga sekitar." Pak Ustaz terdiam sejenak. "Maaf sebelumnya, saya lupa tanya, agama Bapak dan Ibu apa? Saya takut membuat tak nyaman jika ternyata iman kita berbeda."
"Alhamdulillah kami Islam, Pak Ustaz. Jadi kami tidak keberatan, bahkan kami bersyukur."
"Baguslah kalau memang seperti itu," lanjut Pak Ustaz tersenyum.
Randi terlihat lega, Alya akan aman, mungkin itu yang dia pikirkan.
"Silakan diminum, Pak Ustaz," pintaku sambil tersenyum.
***
Malam makin larut. Keheningan teramat tak terelakkan. Memang sudah seharusnya begitu, dan aku sudah terbiasa dengan kesunyian, tapi malam ini ada yang berbeda, aku tak sendiri. Aneh rasanya.
Randi dan Alya sudah terlelap tidur sejak beberapa obrolan dan candaan terakhir yang terlontar. Alya tidur di tengah, Randi di sudut kanan ranjang dan aku di sudut kiri.
Kutatap wajah polos Alya yang menggemaskan. Aku ingin segera memilikinya, biar malamku bisa selalu seperti ini.
Bagaimana dengannya?
Mataku tak sengaja menatap wajah Randi, wajah yang biasanya disebut sebagai wajah tampan oleh manusia yang bergelar wanita. Namun bukan hanya kelebihan fisiknya yang membuat dia menonjol. Dia baik, penyayang, dan lembut seperti, seperti Ayahku.
Ah, apa yang kupikirkan? Kenapa aku jadi lembut seperti ini? Apa karena pengaruh tubuh milik Nadia yang kumasuki ini?
Panas? Kenapa tiba-tiba panas seperti ini? Apa dia mulai beraksi? Tapi apa obatnya tidak bereaksi? Sial!
Aku beranjak dari ranjang meninggalkan Randi dan Alya yang tertidur pulas. Belum saatnya untuk Alya, ada pengganggu yang harus kubereskan terlebih dahulu.
HiHihIhiHiI ....
Tok ... Tok ... Tok ....
Aku mengetuk pintu kamar Pak Ustaz. Benar seperti yang kuduga, dia melantunkan ayat-ayat Al Quran dari yang terdengar, pantas saja!
Dia tak menghentikan bacaannya sedikitpun. Bagaimana ini? Panas sekali! Jika terus begini!
Tok ... Tok ... Tok ....
Kuulangi lagi dengan sedikit lebih kuat. Masih tak ia gubris.
Tok ... Tok ... Tok ... Tok ... Tok ... Tok ... Tok ... Tok ... Tok ... Tok ....
Kriet ....
Pintunya terbuka.
"Ibu? Saya pikir–" ucapnya terhenti.
"KAU PIKIR APA?!" tanyaku dengan menggunakan suaraku sendiri.
"Astagfirullah al-azim, ternyata firasatku benar! Sejak kapan kaumasuk ke tubuh wanita ini?"
"ASTAGFIRULLAH AL-AZIM, TERNYATA FIRASATKU BENAR!! SEJAK KAPAN KAUMASUK KE TUBUH WANITA INI?! HiHihIhiHiI ...."
"Jangan mengejek hantu laknat!"
"JANGAN MENGEJEK HANTU LAKNAT!! HiHihIhiHiI ...."
Dia merapalkan sesuatu sambil memainkan tasbihnya.
Panas!! Sungguh teramat panas!!
"Arghhhh!!" geramku memusatkan energi untuk menggerakkan pintu kamar.
Brakkk ....
Pintu menghantam belakang tubuh Ustaz itu dengan sangat kuat hingga jatuh berlutut di hadapanku.
"HiHihIhiHiI ...."
Dengan susah payah, dia mencoba duduk bersila, dan kembali merapal doa-doa.
Dibacanya surat-surat yang aku tak tahu sama sekali apa namanya. Jangan komplain! Aku tak sempat memperlajarinya sewaktu aku hidup. Ayahku yang sibuk mengais rezeki untuk hidup kami yang sulit, mempercayakan urusan itu kepada Ibuku, tapi tak pernah ditunaikannya hingga aku mati. Jadi siapa yang salah?
Kudekati dia yang duduk bersila di lantai ubin rumah ini. Kutundukan kepala hingga menyentuh pipi sebelah kanannya. Kugerak-gerakan wajahku menggesek-gesek pipinya, lalu kubisikan ke telinganya.
"KAU MAU MATI?! HiHihIhiHiI ...."
Kucekik lehernya kuat-kuat dengan tangan kananku, dan kuangkat dia hingga tergantung-gantung di atas lantai.
Dia masih sempat menghitung tasbihnya dan merapalkan sebuah ayat lagi di bibir. Jujur aku sangat merasa panas dan tersiksa, benar-benar tersiksa, tapi aku tak mau kalah seperti siang tadi!
Kakinya mulai menendang-nendang, rapalannya pun mulai berubah menyebut nama Tuhannya, dia hampir tiba diujung nyawa.
HiHihIhiHiI ... HiHihIhiHiI ....
"Mah? Mamah? Kamu di mana?" suara Randi terdengar memanggil.
Sial! Kenapa sekarang?
Aku menurunkan Ustaz itu kembali hingga berdiri di lantai, dan menyeretnya ke luar rumah.
"Mah? Mamah? Mamah di mana? Di toilet, ya?"
"Bukan, Pah," sahutku tergesa-gesa.
"Kamu kemana? Kok dari luar?"
"I-itu, Pah. Pak Ustaz."
"Ada apa dengan, Pak Ustaz?"
"Tadi Mamah antar Pak Ustaz keluar rumah, dia pamit pulang."
"Pulang?" Raut tak percaya tergurat jelas di wajahnya.
Dia berjalan ke arahku yang berdiri di dekat pintu masuk, dan melempar pandangan jauh ke satu-satunya akses jalan masuk ke tempat ini.
"Dia bilang alasannya?" tanyanya.
"Anaknya sakit!" bualku.
"Tapi–" ucapnya kupotong.
"Pak Ustaz bilang semua sudah aman. Rohnya sudah kalah dan pergi dari sini," bualku lagi.
"Benarkah? Syukurlah kalau memang begitu." Dia memelukku erat, pelukan yang hangat.
Hangat?
Aku mendorong pelan tubuhnya.
"Kenapa, Mah?"
"Enggak enak pelukan di depan pintu rumah, lagian udah larut malam begini."
"Oh, iya. Ayo masuk."
Randi mengunci pintu dan melangkah bersamaku kembali ke kamar. Ya, aku. Bukan Nadia!
HiHihIhiHiI ....
Terpikir sesuatu yang lebih baik daripada membunuh Alya, dan sepertinya kautahu itu!
HiHihIhiHiI ... HiHihIhiHiI ....
-Bersambung-
Kau bertanya di mana si Ustaz? Hanya aku dan Tuhan yang tahu!
Yang jelas, dia tak akan pernah menggangguku lagi!!
HiHihIhiHiI ... HiHihIhiHiI ....
Ingin kubisikan sesuatu?
"##A S###H ##T#!!"
HiHihIhiHiI ....
Makin ke sana makin kurang porsi takutnya kok. :D
Comment on chapter Mati Kau Ibu!