Riuh rendah suasana pagi di rumah ini. Rumah yang biasanya sepi karena terletak di dekat persawahan, kini kembali ramai oleh orang-orang yang lalu lalang seperti beberapa bulan yang lalu.
Ada yang sibuk memeriksa isi rumah, sibuk memeriksa tubuh wanita tak bernyawa yang ditemukan, sibuk memeriksa orang tua yang pikirannya sudah pikun, sibuk mendokumentasikan, sibuk menangisi penyesalan yang tak berguna, dan ada juga yang sibuk bergunjing ria.
Miris, di tengah musibah, selalu saja ada manusia yang berperangai seperti itu. Ya, 'kan?
Sirene ambulans tak henti bersahut-sahutan dengan sirene mobil polisi. Para petugasnya pun saling berlomba dalam mengatasi keadaan. Sementara aku hanya duduk di sini, dan menyaksikannya sambil tersenyum bersamamu!
Kamu? Iya, kamu! Sudah kukatakan bukan?
HiHihIhiHiI ....
Masih mau melanjutkannya? Bacalah hingga akhir bersamaku.
HiHihIhiHiI ....
3 bulan kemudian.
"Wah, kalau pemandangannya seperti ini bisa betah ya, Mah?" tanya pria berperawakan tinggi besar saat keluar dari mobil SUV-nya sambil tersenyum.
"Sepertinya," jawab si wanita sedikit ketir-ketir, lantas menggendong anak perempuan berusia sekitar tiga tahunan keluar dari mobil.
Dia berjalan ke arah wanita yang merupakan istrinya, dan mengambil anaknya untuk digendong.
"Alya suka?" Dia hanya mengangguk pelan dengan wajah lelahnya. "Bagus. Ayo kita masuk." Mereka melangkah menuju rumah, di atas rumput yang masih basah akibat hujan sebelumnya.
Aku tertarik dengan anaknya. Anaknya sangat cantik, serupa diriku waktu kecil dulu. Matanya sipit, sayu menatap. Bibirnya mungil, manis bak gulali. Rambutnya panjang, hitam bak malam. Kulitnya putih, bak kapas terpintal.
Kau tak percaya?! Mau kubuktikan?!
HiHihIhiHiI ....
Nanti saja pembuktiannya, lanjutkan bacanya dahulu. Aku tahu kalian penasaran akhir dari keluarga ini. Ya, kan?
HiHihIhiHiI ....
***
"Kamu kenapa, Mah? Tak enak badan?" tanya suaminya saat mendatangi istrinya yang tengah melamun di depan meja rias kamar.
Dia memejamkan matanya, menyandarkan kepala ke badan suaminya yang berdiri di belakang. "Aku tak tahu, Pah. Sesampainya di sini, perasaanku jadi tak enak, badan jadi lemas," ucapnya.
Suaminya melihat wajah istrinya dari pantulan cermin. "Benarkah?" Ditempelkannya punggung tangan ke kening istri. "Tapi tak panas, Mah?" tatapnya lagi mata istrinya di cermin. Istrinya hanya mengangkat bahu.
"Mana Alya, Pah?"
"Ada, lagi main di ruang TV sama bonekanya." Dikecupnya pipi kanan si istri, lantas memeluknya dari belakang.
Aku hanya tersenyum kecut melihatnya. Manusia selalu tak malu melakukannya jika merasa tak ada manusia lain yang melihatnya, padahal ada aku dan sebangsaku yang dapat melihat perbuatan mereka itu.
Aku meninggalkan mereka yang mulai saling bercumbu rayu, seperti tak ada waktu lagi.
"Alya, Alya lagi main apa?"
Dia tertawa menatapku, melihat wajahku yang sudah kuubah seperti ibunya.
"Boooneka," ucapnya sedikit memanjangkan nada di huruf O dengan wajah imutnya.
Aku tersenyum. Aku seperti melihat diriku saat kecil. Bermain sendiri di kamar, makan sendiri di kamar, hanya diizinkan keluar ketika mau buang air atau mandi oleh Ibu.
"Semoga kamu tidak bernasib seperti itu, Nak." ucapku sambil mengusap-usap puncak kepalanya, walaupun tahu tak pernah akan dapat menyentuhnya.
Dari dalam kamar, terdengar suara yang tak pantas untuk aku gambarkan, bahkan untuk Alya dengar.
"Alya, ayo ikut Mamah. Kita main di luar," ajakku.
Dia berdiri dengan girangnya. Sepertinya rasa lelah saat dia tiba tadi sudah sirna.
Kami berjalan beriringan hingga tiba di saung yang berada di samping rumah, saung yang dulu sering digunakan Ibu untuk menyambut tamu lelakinya yang setiap hari berbeda-beda, saat ayah turun kerja, dan selalu berakhir dengan Ibu membawanya masuk ke kamar tamu, kamar yang di tempati oleh Bapak mertua yang sebelumnya. Aku tahu dari mana? Tentu saja dengan mengintip di lubang kunci pintu.
Aku melihatnya bermain dengan boneka di tangannya. Mengajak bicara boneka, menyisirkannya, menyanyikannya, menggendongnya, hingga boneka itu jatuh.
Dia menatapku dengan mata sipitnya yang kecil, beberapa kali berkedip, melihat ke arah luar saung yang cukup tinggi untuknya, dan kembali menatapku lagi.
"Mah," rengeknya pelan.
Aku paham yang dia ingin, tapi aku tak bisa menyentuh barang fisik dalam keadaan seperti ini, kecuali aku masuk ke dalam tubuh manusia seperti waktu itu.
Kau berpikir bagaimana caraku menaikkannya ke atas jika tak bisa menyentuhnya? Aku menggiringnya naik lewat tangga kayu di sebelah kiri, dan boneka itu jatuh ke parit sebelah kanan.
Wajahnya mencebik, jika tak segera kuambilkan, maka dia akan menangis. Namun aku bisa apa? Aku hanya mengamatinya saja, membiarkan dia merangkak pelan ke ujung saung. Dia berhenti sejenak di situ.
Aku membiarkannya bukan hanya karena tak bisa menyentuhnya, seandainya aku bisa menyentuhnya pun, aku akan tetap membiarkannya hingga dia terjatuh dan mati. Hanya dengan cara itu dia bisa kumiliki!!
HiHihIhiHiI ....
Kau terlanjur berpikir aku baik hati? Kau tidak salah! Ya, aku berbaik hati untuk memiliki dan menjaga dia seutuhnya, tak seperti orang tua di dalam kamar sana, yang membiarkan anaknya main sendiri, sementara mereka asik sendiri, asik dengan dunia mereka!
HiHihIhiHiI ....
"Sedikit lagi, sedikit lagi. Ambil bonekanya, Alya!" pintaku.
Dia menoleh ke arahku, tertawa sebelum akhirnya terjatuh.
HiHihIhiHiI ....
"ALYA!!" teriak si suami dan istri bersamaan, yang baru sadar anaknya hilang.
"ALYA!! DI MANA KAMU, NAK?! Si suami berlari keluar rumah dan mencari, sementara istri terlihat mencari di dalam rumah.
Alya terlihat masih bergerak, walau badannya sudah semua di dalam air, tapi kepalanya masih di luar air. Kerah bajunya menyangkut di bambu yang menjadi pagar.
Alya masih tak bersuara, mungkin karena terkejut atau dia suka bermain air?
HiHihIhiHiI ....
Si suami istri itu masih mencari seperti orang gila. Seperti itulah gambaran manusia pada umumnya, selalu menyesal di akhir!
Sekarang, karena kelalaian mereka, anaknya akan segera menjadi milikku!! Aku akan ada teman mulai sekarang!!
HiHihIhiHiI ....
Kau marah?! Hentikan aku jika bisa!!
"A'?dzu bill?hi minas-syait?nir-raj?m. Bismillahirahman ni rahim."
Siapa? Siapa itu? Siapa yang membaca itu?! Apa kau?!
"Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa naum. Lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ardli man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa biidznih, ya’lamu maa baina aidiihim wamaa kholfahum wa laa yuhiithuuna bisyai’im min ‘ilmihii illaa bimaa syaa’ wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardlo walaa ya’uuduhuu hifdhuhumaa wahuwal ‘aliyyul ‘adhiim."
PANAS!! AKU TAK TAHAN!! AKU TAK TAHAN!! SIALAN!! SIAPA ITU?!
Aku terpaksa pergi, tapi bukan untuk meninggalkannya. Aku ingin merebut anak itu untukku!! Aku akan mencobanya lagi!!
HiHihIhiHiI ... HiHihIhiHiI .... HiHihIhiHiI ... HiHihIhiHiI ....
-Bersambung-
Kau senang? Aku tahu kau senang, tapi coba kau periksa di mana anakmu berada sekarang!
HiHihIhiHiI ....
Aku bercanda! Tentunya mereka sudah tidur saat ini. Aku hanya akan mengambilnya jika kalian menelantarkannya saja. Jadi jaga baik-baik, kalau tak ingin kuambil!!
HiHihIhiHiI ....
Makin ke sana makin kurang porsi takutnya kok. :D
Comment on chapter Mati Kau Ibu!