"Yah, kamu jadi hari ini ke kota buat beli obat, Bapak?" tanya suara lembut si wanita keluar, ketika merapikan baju suaminya yang baru selesai disetrika.
Suaminya menghela napas. "Mau gimana lagi, Bun? Walau harus repot pergi ke kota yang berpuluh kilo meter jaraknya dari sini, Ayah harus tetap membelikan Bapak obat itu. Bunda sendirikan tahu bagaimana kalau Bapak tidak minum obatnya secara teratur?" ucapnya sambil mendekati si istri dari belakang dan memeluknya.
Si istri berbalik badan dalam pelukan suaminya. "Kamu memang anak yang berbakti, Yah! Namun jangan terlalu lama pulangnya, ya? Ingat 'kan hari ini hari apa?" Hidung mancungnya bermain di hidung pesek si suami lantas dia tersenyum, senyuman manis dari bibir mungilnya yang ranum.
Si suami terlihat berlagak berpikir, seperti ingin menggoda istrinya itu. "Memangnya ada apa dengan hari ini, Bun? Ini hari kamis 'kan?" tanyanya pura-pura tak ingat.
Raut wajah si istri berubah mendadak, menjadi sedikit masam dengan bibir cemberutnya. Namun tetap saja terlihat manis, dan aku muak melihatnya.
"Bercanda kok sayang. Masa Ayah enggak ingat sama ulang tahun pernikahan kita?" ucapnya sambil tertawa, dan sekali lagi aku muak.
Suami istri itu berpelukan mesra di pagi hari yang masih terlalu dini untuk melakukannya, meski di dalam kamar. Namun, aku berhak marah. Karena ini kamarku!
Praaang ....
Sebuah foto di dinding sengaja kujatuhkan hingga kacanya berderai, agar mereka berhenti melakukan aktifitas tak senonoh di pagi hari, apalagi di depanku!
Mereka berdua terkejut mendengarnya dan bergegas memandang ke arah foto yang terjatuh secara bersamaan.
"Kenapa bisa jatuh, Yah?" tanya si istri dari atas ranjang, pada suaminya yang memeriksa.
"Angin mungkin, Bun." Si suami berjongkok mengambil bingkai foto dirinya dan istri saat pernikahan, dan menggantungkan kembali ke pakunya.
Bergegas si istri turun dari ranjang dan menghentikan tangan suaminya yang memungut pecahan kaca. "Udah biar Bunda aja, Yah! Ayah lebih baik berangkat sekarang, biar bisa pulang lebih cepat," pintanya dengan suara merdu dan kerlingan mata kanannya.
Si suami tersenyum, lantas melihat ke arah jam di tangan kirinya. "Baiklah, kalau begitu Ayah pergi dulu ya? Titip Bapak." Dia mencium kening istrinya.
"Ayah tenang saja, Bunda janji jaga Bapak dengan telaten." Si suami tersenyum lega mendengarnya.
Si istri mengantar suami keluar rumah yang sederhana ini, tersenyum dan melambaikan tangan hingga suaminya pergi, dan acting-nya pun berakhir. Itu yang membuatku muak!
Dia kembali masuk ke dalam rumah, melangkahkan kaki putihnya yang jenjang ke arah kamar si Bapak.
Krieeet ....
Dibukanya pintu kamar yang memang tak pernah dikunci. Dia menatap sinis si Bapak yang tengah duduk bersila di atas ranjang tuanya, dengan tatapan yang kosong.
Entah apa yang dipikirkannya, aku tak tahu. Namun dia selalu tersenyum seperti biasa, saat melihat keadaan bapak mertuanya yang seperti itu. Senyuman itu mengingatkanku akan senyuman Ibu, saat melihatku terbaring sakit di atas tempat tidur dulu. Itu yang membuatku muak.
Krieeet ....
Dia menutup kembali pintunya, lantas mengunci dari luar. Senyuman dari bibir manisnya kembali terukir.
Aku mengerti apa yang mungkin sedang bapak mertuanya rasakan sekarang, rasa yang sama seperti yang kurasakan saat itu, saat Ibu mengunciku di kamar waktu Ayah berangkat kerja, itu sebelum aku sakit.
Sekarang dia kembali ke dalam kamarnya, naik ke atas ranjang dan memejamkan mata. Sungguh tak seperti yang dia janjikan pada suaminya yang sangat percaya kepadanya.
***
"Haus ... Haus ... Haus ... Haus ...."
Entah sudah berapa kali suara itu terdengar dari kamar si Bapak, tapi tak dia gubris walaupun dia sedang makan di dapur yang dekat dengan kamar Bapak.
"Haus ... Haus ... Haus ... Haus ...."
Dia menikmati setiap hidangan yang ada di meja tanpa merasa terganggu, bahkan tak iba. Dari suaminya pergi hingga malam begini, dia belum memberi bapak mertuanya makan atau pun minum.
Kriiing ... Kriiing ... Kriiing ....
Telepon rumahnya, yang baru berbunyi tiga kali langsung dia sambar dengan cepat.
"Halo," ucapnya.
Sepertinya yang menelepon adalah si suami.
"Haus ... Haus ... Haus ... Haus ...." Suara bapak mertuanya.
"Jadi Ayah pulang telat malam ini?"
" ...."
"Haus ... Haus ... Haus ... Haus ...." Terdengar lagi.
" Jam berapa? Jam 11?"
" ...."
"Haus ... Haus ... Haus ... Haus ...." Lagi.
"Bunda takut Yah kalau cuma sendiri. Bapak-kan di kamar dan gak bisa temani Bunda."
" ...."
"Haus ... Haus ... Haus ... Haus ...." Suaranya kini terdengar lirih.
" ...."
"Bukan, Yah! Bukan suara apa-apa," bohongnya sambil menahan amarah.
" ...."
"Ya udah, diusahakan lebih cepat, ya?!" rengeknya lantas menutup telepon.
Terlihat raut kekecewaan bercampur amarah di wajahnya.
"Haus ... Haus ... Haus ...."
"DIAM KAU, TUA BANGKA!!" teriaknya sekuat tenaga hingga suara bapak mertuanya tak lagi terdengar.
Nafasnya menderu. Dia sebenarnya sudah sangat kesal dengan suaminya, sekarang ditambah lagi dengan bapak mertuanya.
Dia berjalan ke arah dapur – mengambil gelas – menuangkan air kedalamnya hingga tumpah ke lantai. Dengan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun, dia membuka kunci pintu kamar bapak mertuanya – masuk ke dalam – menghidupkan lampu – mendekati bapak mertuanya dan menyiram air di dalam gelas ke arah wajah bapak mertuanya itu.
Dia tertawa lega melihat bapak mertuanya gelagapan, dan mengerjap-ngerjap matanya berulang-ulang.
Aku tak tahan lagi melihatnya. Kali ini dia keterlaluan!
Dia keluar dan mengunci kembali pintu kamar bapak mertuanya.
"Cepatlah mati, Tua Bangka!' umpatnya.
DASAR JALANG TAK TAHU DIRI! MALAM INI KAU AKAN MATI! KAURASAKAN AKIBAT PERBUATANMU!!
Praaang ....
Piring makannya pecah kujatuhkan dari meja.
Braaak ... Braaak ... Braaak ... Braaak ....
Pintu dan jendela kututup.
Duaaar ... Duaaar ... Duaaar ....
Lampu-lampu kupecahkan.
Dia tersentak karenanya. Suara napasnya memburu, seluruh tubuh bergetar, peluh keringat menetes hingga ke lantai, matanya nanar memandang kegelapan di sekitar.
Dia tertatih-tatih mencoba berjalan ke arah kamarnya.
Baru kali ini terlihat ekspresi ketakutannya. Jangan salahkan aku! KENAPA KAU KEJAM SEPERTI IBU?!
"Haus ... Haus ... Haus ...."
"Ba ... Bapak? Ba ... Bagaimana Bapak bisa keluar?" tanyanya heran. "Temani Rina, Pak, Rina takut!" rengeknya seperti anak kecil. "Kenapa Bapak pegang pisau?" Dia menyadarinya karena secercah cahaya bulan yang masuk lewat jendela, namun terlambat.
"MATI KAU IBU!!"
"Aaaaaaaaahhhhh!!" teriaknya.
Kuhunjamkan pisau tepat di dada kirinya berulang kali. Cipratan darah muncrat dari robekan yang meruak. Aku tak tahu pasti sudah berapa kali aku menusuknya, tapi kini suaranya telah hilang dan tak mampu menapak lagi.
Brak ....
Raganya dan raga bapak mertuanya yang kupinjam tadi, jatuh terbaring bersamaan di lantai, setelah aku menyelesaikan tikaman terakhir dan keluar dari tubuh bapak mertuanya.
Tatapan wanita itu kosong sekarang, sama seperti tatapan kosong bapak mertua sebelumnya.
Anyir bau darah yang menggenangi tubuhnya yang elok bak bidadari, namun berhati iblis. Sekali lagi aku berhasil membunuh orang yang seperti Ibu, seperti sebelumnya.
-Bersambung-
"Yakin kau ingin melanjutkan membaca ceritaku?"
"HiHihIhiHiI ...."
"Jika kau yakin, biasakanlah mendengar suara bisikian di telingamu, karena mungkin itu aku!!"
"Bisikan pertamaku berbunyi 'A## A## D# S########', jadi jangan jahat-jahat seperti Ibu!"
"Atau kau yang selanjutnya!"
"HiHihIhiHiI ...."
Makin ke sana makin kurang porsi takutnya kok. :D
Comment on chapter Mati Kau Ibu!