USAHA TERAKHIR
Aku mencoba meletakkan jari-jariku di atas tuts piano lagi, menarik napas dalam-dalam, berkonsentrasi pada note-note balok yang ada di hadapanku, tapi tetap sama. Aku mengacaukannya.
“Bagaimana kamu bisa seperti itu?, bahkan kamu sudah latihan berhari-hari untuk penampilan ini.”
Aku bahkan tak bisa menjawabnya, entah apa yang salah pada diriku, tapi satu hal yang pasti. Aku meyerah bermain piano. Bukan karena pelatihku yang berisik itu, bukan juga karena teman-teman di sekolah yang menganggapku sok jago, hanya saja aku merasa lelah melakukannya lagi.
***
1 tahun kemudian.
“Jadi intinya kamu mau ikut nonton konsernya atau enggak Vel?” Sofia terus mendesakku menemaninya menonton konser boyband kesukaannya itu.
“Kamu tahu kan?, aku bahkan udah gak ada waktu buat nonton tv, sekarang kamu malah ajak aku nonton konser?, yang bener aja dong Fi”
“Tapi ini tuh setahun sekali, aku yang beliin tiket dan aku yang tanggung biaya transport, kamu ikut aja temenin aku di sana”
“Aku gak bisa, seriusan deh. Minggu depan aku ada tes” Sofia tidak menjawab, ia pergi dan menyerah membujukku. Aku telah terbiasa dengan sifat kekanak-kanakannya. Sejak kami bertemu di sekolah musik hingga sekarang ia tak sedikitpun berubah, hanya satu hal yang berubah darinya. Sofia adalah seorang pianis hebat sekarang.
Aku menjalani hari seperti biasanya. Kuliah dan bekerja, bahkan aku lupa bagaimana rasanya menonton film di bioskop, atau sekedar duduk-duduk di cafe mahal dan menikmati secangkir kopi panas. Pagi ini adalah pagi pertama aku di semester 7. Aku bahkan harus hidup terpisah dari ibuku untuk mengejar semua mimpi ini. Ia adalah seorang wanita hebat yang juga menginginkan anaknya hebat seperti dia, tapi aku tidak bisa, aku memutuskan berhenti sekolah musik dan fokus pada kuliahku, bukan karena aku tidak mencintainya, namun karena aku tidak menyukai semua tentang musik.
“Hai val, lo sibuk gak hari ini?, gua mau minta tolong buat bantuin tugas nih.”
“Lo pikir gua pembantu lo?, berhenti minta tolong ke gua.”
“Biasa aja dong, marah-marah mulu, cepet tua lo” Seisi kelas menatapku. Mereka telah terbiasa dengan sikap dinginku, tapi mereka tetap mentapku seolah aku adalah manusia terjahat di kampus.
***
Pukul 22:18 WIB
Jalanan di ibukota telah sepi, tak terlihat lagi asap mengepul ulah mesin motor. Aku masih sibuk menata barang di supermarket tempatku bekerja. ‘hari ini aku gagal lagi.’ Gumamku dalam hati. Ini adalah kesekian kalinya aku gagal dalam tes untuk beasiswa S2-ku ke Inggris. Aku hampir menyerah, namun setiap kali ku ingat wajah ‘jahat’ ayahku, aku urungkan niat menyerah itu. Aku memang anak haram yang dilahirkan tanpa kemauan siapa-siapa, termaksud diriku sendiri. Bahkan manusia yang melahirkanku, membuangku.
Namaku Vely Ramania, usiaku hampir mencapai 21 dalam beberapa hari lagi, tapi jangan tanya akan ada perayaan apa, karena yang mengingat hari kelahiranku hanya Sofia, temanku satu-satunya. Aku dilahirkan di Yogyakarta12 Desember 1997 pukul 22:21. Hidupku selalu berkutat dengan angka dua, bahkan aku anak kedua dari empat bersaudara, tapi sayangnya hanya aku anak yang lahir dari hasil hubungan haram. Ibuku menikah empat kali, itu berarti aku dan saudara-saudaraku tidak ada yang mempunyai ayah yang sama. Tapi mereka beruntung karena ibu melahirkan mereka setelah menikah, tidak sepertiku.
Ibuku seorang pianis terkenal di masanya, kakak laki-lakiku pun begitu, bahkan adik-adikku. Aku bosan mendengar nyanyian, lagu, musik, apalagi suara denting piano. Itu semua memuakkan bagiku. Aku putuskan mendaftar kuliah jurusan hukum tanpa sepengetahuan siapapun, kecuali Sofia. Ia menemaniku selama ini. Aku keluar dari rumah tepat di hari ulang tahunku yang ke-20, saat ibu tahu aku berhenti dari sekolah musik. Aku bosan dengan semua amarah yang selalu ia limpahkan padaku, bahkan ia bercerai lagi dan berkata bahwa itu salahku. Itu memuakkan.
Kringg.. Suara bel pintu supermarket membuyarkan lamunanku.
“Semuanya jadi limabelas ribu rupiah” perempuan ber-make up tebal itu memberikan uang pecahan dua puluh. “Butuh kantong plastik?” Ia hanya menggeleng dan langsung pergi. Ia bahkan memberikan kembalian lima ribu rupiah itu kepadaku. Dalam hati aku bersyukur, ‘setidaknya aku tak pernah melakukan hal yang perempuan itu lakukan,’ sambil terus memandangnya masuk ke dalam mobil bersama seorang pria ber-jas hitam.
***
Missed call ‘ibu’ 08/07/16
Entah sudah berapa bulan ia tak pernah menghubungiku, aku juga tak pernah mencoba menghubunginya. Terakhir ia menghubungiku adalah tahun lalu, ketika ia memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang pilot yang bahkan berbeda usia 10 tahun lebih muda darinya. ‘ini gila!’ aku selalu berpikir bahwa ia bisa berubah, namun tidak. Ia akan selalu begitu.
“Kamu yakin mau ngelamar kerja di toko roti itu?, kamu bahkan sudah punya 3 pekerjaan sekarang?” Sofia menemaniku menjaga kios laundry hari ini. Ia terus berbicara mengutarakan kekhawatirannya. “Aku yakin, lagipula sebentar lagi kita akan berada di tingkat akhir, itu berarti kita akan punya banyak waktu luang, tenang saja aku bisa menjaga semuanya.
“Bukan itu masalahnya, apa kamu gak lelah?” Ia menatapku iba. “aku tahu kamu begini supaya bisa kumpulin uang untuk bisa ke Inggris dan nemuin ayah kamu, terus abis itu mau apa,? marah-marah,? udah gitu ajah?.”
Aku terdiam. Menatap tumpukkan pakaian kotor di depanku. Aku merasa hidup ini aneh, terkadang kita terlalu berusaha keras hanya untuk memenangkan ego, tapi nyatanya, sesuatu yang kita kejar terlalu banyak meminta pengorbanan, dan bahkan akal sehat.
“Aku hanya ingin bertanya, mengapa ia meninggalkanku. Kak Roy, dan adik-adikku tetap bisa bertemu ayah mereka, namun aku?, apa ia tidak penasaran, aku masih hidup atau sudah mati karena dendam.” Aku mengucapkannya tanpa sadar.
“Yah, kamu ini ngomong apasih, seram tau.”
“Kamu kan tahu alasan apa yang bikin aku belajar keras tentang hukum,? Itu karena aku inginmenghukum mereka yang membuang anak mereka sendiri. Aku juga berjuang buat dapat beasiswa itu karena aku mau bawa ayahku ke sini, biar aku yang nanggung biaya hidup kita asal dia mau tinggal sama aku, aku gak minta apa-apa, aku hanya ingin tau gimana rasanya masakin sarapan untuk orangtua aku fi.” Aku menangis. Terakhir aku menangis adalah dua bulan yang lalu saat jari tanganku terjepit pintu kamar mandi.
***
Inggris
Aku meletakkan tiket pertunjukkan yang diberikan ibu dihari ulangtahunku kemarin. Iyah, ibu menemuiku langsung.
Tok tok tok
“Ibu,? Gimana ibu tahu aku tinggal di sini?.” Aku menatap bingung, di depanku saat ini ada sosok wanita yang paling aku cintai, aku memang tak pernah mengatakannya, namun setiap malam aku selalu berdoa untuknya, dan setiap minggu aku selalu lewat di depan rumahnya, bahkan aku selalu melihat pertunjukkannya di youtube.
“Surprise. Selamat hari lahir, Vely Ramania. Ini ibu bawakan kamu kue dan hadiah. Tadinya saudara-saudara kamu mau datang, tapi mereka sudah ada janji lain. Ibu gak kamu suruh masuk.?” Aku masih diam seribu bahasa, bahkan aku tidak ingat apa aku berkedip atau tidak. Ini adalah suatu fenomena langka yang aku alami sendiri.
“Oh iyah, silahkan masuk bu, tapi maaf Vely gak sempet beresin kamarnya.”
“iyah, gak apa-apa, kamar mandi sama dapurnya gak ada yah sayang?.” Aku lagi-lagi terdiam. ‘sayang?’ada apa dengan ibu, dia benar-benar berbeda.
“Enggak ada bu, ini hanya kamarnya saja, kamar mandi dan dapur bareng sama yang lain, ada di ujung lorong.” Aku berusaha bersikap senormal mungkin
“Ibu minta maaf yah, tidak pernah jadi orangtua yang baik untukmu. Bertahun-tahun kamu hidup sendirian di tempat kecil ini, dan ibu sama sekali gak peduli.” Ibu memelukku. Aku begitu tersentuh hingga lupa bahwa ia telah membuangku dulu.
“Vel, ayah kamu.....” Tunggu. Ayah?.
“Ayah hubungin ibu.? Serius.? Gimana kabar ayah bu?, di mana ayah sekarang?”
“Ayah kamu meninggal nak, tepat jam dua dini hari di Inggris karena penyakit jantung yang dia punya, dia menitipkan warisan kamu ke ibu. Pengacaranya akan datang lagi minggu depan, kamu pulang yah?”
Bagai tersambar petir, aku terjatuh. Terjatuh ke dalam rasa sakit yang luar biasa. Jadi selama ini ayah masih ada dan tidak pernah menemuiku? Jadi seama ini ibu tahu keberadaan ayah, dan tak pernah memberitahuku? Jadi ini alasan ibu datang ke tempatku, dan berbaik hati menyampaikan berita duka lewat kue dan senyumnya? Aku tersadar, menahan tangis sekuat mungkin.
“Besok aku pulang bu, biar Vely beresin barang-barang Vely dulu.”
“Baik, ibu tunggu di rumah yah, sekarang ibu pulang dulu. Dah sayang.” Ia pergi setelah memberi kecupan di keningku. Punggungnya tak terlihat lagi, dan kemudian aku menangis sendirian, seperti biasanya.
***
Aku berjalanan gontai menuruni tangga stasiun menuju rumah ibu. Malam ini hujan deras. Aku hanya ingin pamit sebelum berangkat ke Inggris. Beasiswaku telah diterima, dan wisudaku minggu depan. Aku tak peduli lagi dengan warisan ayahku, bahkan aku tak peduli lagi dengannya, dengan mereka semua. Aku ingin membangun mimpiku yang baru, dan ini adalah usaha terakhirku memendam duka.
Aku berjalan terlalu gamang hingga tak sadar mobil itu melaju terlalu cepat kearahku. Aku telah menduga, mungkin semua mimpi baru itu harus terkubur bersama jasadku. Akupun telah lelah dan menyerah. Kamar kecil itu menjadi saksi pengorbanan yang telah aku lakukan untuk memaafkan ibu, ayah, dan saudara-saudara tiriku. Aku tak pernah membenci keadaan dan mereka semua, aku hanya membenci diriku yang masih menyimpan duka ini. Mengingat setiap tamparan tangan lembut ibu di pipiku, hingga tangan saudara tiriku yang menarik rambutku hingga rontok. Bukan aku yang memilih dilahirkan begini. Tapi aku bersyukur dapat melihat wajah ibu tersenyum terakhir kali padaku. Terimakasih untuk mereka yang percaya padaku, untuk Sofia yang telah menemaniku berjuang hingga usaha terakhirku.
***
Tidak banyak yang hadir di acara pemakamanku. Hanya keluarga, beberapa teman sekolah dan kampus, serta bos tempat aku bekerja. Ibu terlihat menunduk, entah karena sedih, atau karena ia tak ingin make up-nya luntur oleh hujan. Tapi aku bahagia, ia menaruh bunga mawar merah di pusaraku, itu adalah bunga kesukaanku.