Read More >>"> Catatan sang Pemuda (1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan sang Pemuda
MENU
About Us  

28 Oktober 2018, Gedung PKKH UGM, Yogyakarta

Suatu yang datang pasti pergi, tetapi pasti akan meninggalkan sesuatu.

Tak bisa bicara di tengah keramaian, hanya berjalan tanpa arah dan tujuan. Sendirian. Itulah yang kurasakan saat ini. Merasa sendirian di tengah lautan manusia. Mungkin ini karena efek dari tidak membawa teman ke sebuah event. Lagipula kalau mau mengajak seseorang, mau mengajak siapa? Tidak akan ada orang di sekitarku yang ingin ikut denganku untuk mendatangi event-event seperti ini. Memang meriah, tetapi tidak sesuai dengan kesukaan mereka. Inilah hidup yang sangat tidak aku harapkan.

“Aku butuh teman bicara.” keluhku dalam hati.

Disaat yang bersamaan, “Glory...” seseorang memanggilku dari luar keramaian. Pandangannya mengarah kepadaku. Ternyata perempuan yang pernah aku temui dahulu ketika kelas 2. Namanya aku lupa, tetapi aku masih ingat dengan wajahnya.

Kepalaku hanya mengangguk untuk menjawab panggilannya itu. Tetapi dia ingin lebih dari itu.

“Oy... sini.” salah satu tangannya menarikku keluar dari keramaian. “Bagaimana keadaanmu, Glory?”

Mata kami saling bertatapan. “Baik-baik saja kok. Eh, maaf...”

Sesegera dia menyela perkataanku, “Erika... temennya Alghi.”

“Oh ok... aku ingat. Kita ketemuan saat di FLS2N.” aku menyimpulkan dari memori masa lalu otakku. Dan dari responnya itu kurasa benar. “Jadi ada apa? Mengapa kamu menarikku ke sini?”

“Eh... gimana ya bicaranya?” dia menaruh tangannya di saku celananya.

Suara musik band nan keras dari panggung utama berbunyi. Hal itu membuat pendengaranku terbelah menjadi dua. Matahari mulai bersembunyi si barat. Sudah semestinya yang tampil di panggung saat ini adalah sebuah band terkenal dan menarik. Tetapi aku berusaha tetap fokus pada Erika. Kali ini cerita yang keluar dari mulutnya berusaha aku dengarkan. Lewat bantuan lampu temaram yang menerangi kami, kalimat-kalimat tersusun jadi paragraf. Paragraf-paragraf membentuk sebuah cerita sistematis yang sangat bagus jika dituliskan ke dalam sebuah novel. Dia ceritakan semuanya, mengenai masa kecilnya, suatu tragedi, dan kejadian yang dialaminya saat ini. Hingga akhirnya cerita menginjak kata ‘berakhir’, ‘selesai’, ‘tamat’.

Mulutku menelan komentar-komentar yang ingin kukatakan. Diam membisu dan duduk mematung di sebelahnya. Aku benci untuk mengakuinya, tetapi cerita –kenyataan– yang dia ceritakan sangatlah bagus. Seperti cerita pendek yang dia tuliskan dengan tinta.

“Hm... kurasa aku mengganggu kamu ya.” akhirnya tangan kanannya keluar dari saku dan memberikan sesuatu ke saku bajuku. “Tolong berikan ini ke Alghi ya. Terima kasih. Sampai jumpa.”

“Tunggu...” kata-kata itu tidak bisa keluar dari mulutku. Aku tidak siap untuk menerima tanggung jawab ini. Tetapi terpaksa harus aku terima saat ini dengan alasan malas mengejarnya. Toh juga, dia sudah tidak punya waktu lagi untuk menyampaikan barang perpisahan ini ke Alghi. Dia kehabisan waktu layaknya Cinderella yang harus tergesa-gesa pulang saat jarum menunjuk tepat tengah malam.

Kupejamkan mataku sesaat itu untuk melayangkan pikiranku. Masih terngiang cerita yang keluar dari mulut Erika itu. Hatiku terenyuh saat mendengarkannya langsung. Dan saat ini rasanya masih terasa, walaupun hal itu hanya tipis-tipis.

Pikiranku terbuka saat ini. Ceritanya itu mengubah pola pikirku dan jalan hidupku saat ini. Sial... lagi-lagi aku benci untuk mengakuinya, “Dia salah satu orang yang merubah hidupku.” Perempuan bermuka pas-pasan itu, bahkan namanya sudah aku lupakan tadinya, bisa mengeluarkan kharismanya untuk menggerakan hatiku.

Buru-buru aku buang pikiran itu dan kembali memasuki lautan manusia itu lagi untuk melihat yang tampil di panggung saat ini. Toh juga, aku mungkin bisa melupakannya dengan bergoyang-goyang, bergila-gilaan, dan bersenang-senang di depan panggung. Pas juga jadwal yang tampil adalah band half-rock. Keadaan akan semakin gila saat itu.

Salah. Tetapi semua perkiraan itu salah. Pada prakteknya cerita itu sudah mengakar dengan cukup dalam di memoriku. Menusuk hingga ke inti paling dalam otakku. Membuatku tidak bisa melupakannya semudah menengadahkan tanganku. Bahkan saat penampilannya selesai, aku masih teringat dengan sangat jelas.

“Sial... sial... sial...” kesalku dalam diam sambil memukul tanah –yang tidak bersalah– beberapa kali.

Tanpa sadar emosiku sudah memegang titik puncak. Hampir saja aku mengeluarkannya dan menjadikan orang lain jadi bahan pelampiasan emosiku. Untung saja, aku bisa mengontrolnya dengan berjalan keliling tempat itu untuk melihat-lihat aksesoris dan buku-buku yang dijual. Bagiku hal itu bisa meredam emosiku lebih efektif daripada memukul-mukul tanah. Memang terkadang iblis diri harus dikurungkan dengan sesuatu hal-hal yang menyenangkan sekalipun itu harus mengeluarkan uang. Karena hal itu, dompetku terkuras banyak. Tiga ratus ribu pergi melayang hanya untuk dua buah buku dan beberapa aksesoris yang imut untuk digantungkan di tas.

Hingga akhirnya aku berjalan tertatih-tatih karena kelelahan. Berkeringat karena kepanasan. Dan akhinya duduk sambil meminum milkshake untuk membangun kembali ATP –istilah yang dipakai anak IPA untuk menyebut energi. Dinginnya menjalar dari mulut hingga ke dalam perut. Kenikmatan yang membuatku teringat kembali kepada hal tadi.

“Sial...” ucapku pelan sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.

Tetapi alihan mataku itu membuatku menemukan jawaban dari masalahku saat ini. Itulah jawabannya. Sebuah stand yang buka tidak jauh dari tempatku duduk. Tubuhku mulai berdiri dan kakiku mulai melangkah ke arah itu. Arah dari semua jawaban dan penyelesaian dari emosi ini.

***

 

Tanpa memberi tanda, hanya bunyi dencitan pintu, aku memasuki rumah dan langsung masuk ke zona nyamanku –kamar. Semua barang hasil belianku tadi di event digeletakkan. Hingga memenuhi karpet 1,5 x 1 meter.

“Hwah... banyak juga ya.” komentarku melihat belanjaanku sendiri.

Heran rasanya. Jadi inilah yang dirasakan para perempuan saat berbelanja di mall. Ini dibeli, itu dibeli. Lucu juga ketika melihat hal yang seperti itu pada diri sendiri. Akibatnya, secara tanpa sadar aku tersenyum menahan tawaku.

Tetapi dari keseluruhan barang yang aku geletakan, hanya satu yang menjadi sorotan utama dari mataku. Buku warna hitam dengan besar sekitar 15 x 30 cm. Itulah barang yang terakhir kali aku beli dan menarik perhatianku hari ini. Tidak terlalu istimewa, bahkan kertasnya adalah buram.

“Tulislah isi hatimu. Karena menulis akan membuat hatimu lebih ringan.”

Aku beranjak dari tempatku tadi sambil mengambil buku hitam itu. Lalu duduklah aku di atas kasur yang di depannya ada sebuah meja –biasanya digunakan menulis dan menaruh laptop. Pena tinta hitam ada di tangan kanan siap menorehkan tintanya di atas buku itu. Segera aku buka lembar pertama. Kosong. Bersih dari noda apa pun. Hanya warna putih sedikit ke kreman.

“Ingin ku isi apa di lembar pertama ini?” tanyaku pada diriku sendiri. Lagipula tidak ada orang di sekitaru saat ini. “Mungkin itu saja ya. Tulisan indah mengenai kata-kata indah yang aku miliki dengan gambar siluet seseorang yang berdiri saja, ya.” jawabku.

Jawabanku itu tidak bisa dielak. Sudah menjadi sesuatu yang khas, jika dilembar awal sebuah buku harian atau tulis itu tergambar atau tertulis sesuatu yang indah. Enak untuk dilihat saat membuka buku itu nantinya. Hal itulah yang mendasariku untuk menggambar siluet seorang laki-laki yang memegang tongkat dengan bendera merah putih di tangan kanannya. Alasannya, untuk memberitahukan jika buku ini punya orang Indonesia. Oleh karena itu, ketika nanti aku di luar negeri –hanya sebuah cita-cita–, orang akan mengembalikan kepadaku secara mudah. Sebenarnya itu hanyalah unek-unek yang tidak terlalu jelas juga sih. Tetapi ketidakjelasan itu terkadang penting. Dan tanpa sadar juga, ketidakjelasanku saat ini, bisa membentuk identitasku yang sebenarnya. Yaitu sebagai warga negara dan berbangsa Indonesia.

Bukan gambar itu saja, tetapi juga ada lima kata yang sengaja aku tulis dengan estetik.

Masa Mudamu Sebelum Masa Tuamu

Dasarku menulis lima kata ini adalah dari kata-kata emas seorang tokoh. Belia seseorang yang memiliki kharisma begitu besar ketika berpidato di depan kerumunan. Kata emas itu adalah “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut sumeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia ini.” Dari sini kita tahu siapa tokoh itu. Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama, Ir Soekarno. Beliau menunjukkan bahwa betapa vitalnya posisi remaja ini. Dan karena itulah, aku tidak mau melewati masa yang vital ini dengan meninggalkan penyesalan.

Yang terakhir kali aku tuliskan adalah identitas diriku. Mulai nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, dan salah satu hal unik dariku –dikandungan ibu selama 10 bulan.

Setelah selesainya memenuhi halaman pertama, aku memutuskan untuk menaruh penaku. Ku tutup buku itu rapat-rapat. Waktu sudah menunjukkan jam 21.12, sudah saatnya manusia sepertiku ini untuk memejamkan mata.

Lampu berganti –tadinya putih terang menjadi kuning redup. Aku berbaring di atas tempat tidur sambil melihat langit-langit. Sejenak sebuah satu pertanyaan dan satu pengakuan terlintas di dalam benak pikiranku.

Pengakuan itu, “Erika benar mengenai menuliskan isi hati akan membuatmu lebih baik.” Dan satu pertanyaan yang muncul itu, “Bagaimana rasanya ya, hidup hanya 12 jam perhari yang nanti dialami oleh Erika?”

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • Rifad

    Kalau ada yang bilang pria kok curhatnya lewat tulisan atau ada yg bilang kok kamu pria punya diary? cuek aa bro... aku juga begitu, aku punya buku dari hasil ceritaku dan mereka yg dulu membully seakan terbungkam. semangat broo...

    Comment on chapter 1
  • dear.vira

    beginningnya udh menarik banget, sukses yaa, tlng like ceritaku juga https://tinlit.com/read-story/1436/2575. semga cerita kita bisa terbit yaa. amin.

    Comment on chapter 1
  • yurriansan

    Nice story. Mash tgu lnjutannya.
    Visit storyku juga ya...

    Comment on chapter 1
Similar Tags
Jam Terus Berdetak
41      34     1     
Short Story
Dion, seorang pemuda yang berencana menjual lukisannya. Sayangnya, ia terlambat datang ke tempat janji bertemu. Alhasil, ia kembali melangkahkan kaki dengan tangan kosong. Hal tidak terduga justru terjadi pada dirinya. Ketika Dion sudah berpasrah diri dan mengikhlaskan apa yang terjadi pada dirinya.
Dinding Kardus
7460      1861     3     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.
27th Woman's Syndrome
9654      1807     18     
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya, Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya. Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun. Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu Aku 27 tahun, dan aku single... Single? Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan
Hati dan Perasaan
1362      813     8     
Short Story
Apakah hati itu?, tempat segenap perasaan mengendap didalamnya? Lantas mengapa kita begitu peduli, walau setiap hari kita mengaku menyakiti hati dan perasaan yang lain?
Untitled
507      290     0     
Romance
This story has deleted.
When the Music Gets Quite
40      37     0     
Romance
Senja selalu suka semua hal tentang paus biru karena pernah melihat makhluk itu di jurnal sang ibu. Ternyata, tidak hanya Senja yang menyukainya, Eris yang secara tak sengaja sering bertemu dengannya di shelter hewan terlantar dekat kos juga menyukai hal yang sama. Hanya satu yang membedakan mereka; Eris terlampau jatuh cinta dengan petikan gitar dan segala hal tentang musik. Jatuh cinta yang ...
When I Found You
2484      835     3     
Romance
"Jika ada makhluk yang bertolak belakang dan kontras dengan laki-laki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan." Andra Samudra sudah meyakinkan dirinya tidak akan pernah tertarik dengan Caitlin Zhefania, Perempuan yang sangat menyebalkan bahkan di saat mereka belum saling mengenal. Namun ketidak tertarikan anta...
One-room Couples
926      436     1     
Romance
"Aku tidak suka dengan kehadiranmu disini. Enyahlah!" Kata cowok itu dalam tatapan dingin ke arah Eri. Eri mengerjap sebentar. Pasalnya asrama kuliahnya tinggal dekat sama universitas favorit Eri. Pak satpam tadi memberikan kuncinya dan berakhir disini. "Cih, aku biarkan kamu dengan syaratku" Eri membalikkan badan lalu mematung di tempat. Tangan besar menggapai tubuh Eri lay...
Apakah kehidupan SMA-ku akan hancur hanya karena RomCom? [Volume 2]
1273      566     0     
Romance
Di jilid dua kali ini, Kisaragi Yuuichi kembali dibuat repot oleh Sakuraba Aika, yaitu ia disuruh untuk bergabung dengan klub relawan yang selama ini ia anggap, bahwa melakukan hal seperti itu tidak ada untungnya. Karena godaan dan paksaan dari Sakuraba Aika terus menghantui pikirannya. Akhirnya ia pun terpaksa bergabung. Seiring ia menjadi anggota klub relawan. Masalah-masalah merepotkan pun d...
Archery Lovers
2859      1506     0     
Romance
zahra Nur ramadhanwati, siswa baru yang tidak punya niat untuk ikut ekstrakulikuler apapun karena memiliki sisi trauma saat ia masih di SMP. Akan tetapi rasa trauma itu perlahan hilang ketika berkenalan dengan Mas Darna dan panahan. "Apakah kau bisa mendengarnya mereka" "Suara?" apakah Zahra dapat melewati traumanya dan menemukan tempat yang baik baginya?