GOD'S BLESSINGS : JAWS
Chapter 2 : Below
Written by :
Adinda Amalia
Characters :
1. Alice
Nama tokoh akan diungkap satu per satu seiring dengan berjalannya cerita.
Daftar bahasa asing yang digunakan :
1. Wan an (Bahasa Mandarin) = Selamat malam
Daftar bahasa asing akan diperbarui seiring berjalannya cerita.
.
.
Selamat membaca~
Pemuda itu mengaku ia adalah hakutaku, akan tetapi bagaimana bisa wujudnya jadi persis layaknya manusia normal, dengan wajah yang rupawan pula. Tak ada yang salah dengan penampilannya. Kakinya dua, tangannya dua, matanya dua, tak ada tanduk yang terlihat. Jelas-jelas manusia kan? Tapi, bukankah aneh jika hakutaku bisa berubah persis seperti manusia normal?
“Lu ...,” pemuda itu menggantungkan kalimatnya, membuat lamunan Alice hancur seketika.
“Kenapa?” tanya Alice dengan wajah datar.
Pemuda itu memperhatikan Alice dengan seksama. Mulai dari atas hingga ke bawah. Bahkan tak hanya sekali, berkali-kali ia mengamati Alice dari atas-bawah-atas-bawah dalam waktu yang cukup lama.
Sejujurnya, sikapnya yang tak biasa itu cukup membuat Alice merasa agak gugup. Yah, bagaimana tidak? Jika ditatap dengan dalam oleh seorang pemuda tampan, siapa yang tidak salah tingkah? Bahkan Alice yakin saat ini wajahnya pasti agak memerah. “Sialan! Malu-maluin!” pikirnya. Alice seraya agak menundukkan, berusaha menyembunyikan wajah merah meronanya itu.
“Lu manusia biasa?”
Rasa gugup dan rona merah di wajah Alice hilang seketika. Sungguh pertanyaan yang sangat mengagetkan. Alice benar-benar tak menyangka pemuda itu akan memberinya pertanyaan semacam itu.
“Bukan kan? Lu orang pintar ya?” ujar pemuda itu lagi, berusaha menebak-nebak.
Entah kenapa, Alice tak ada niatan sama sekali untuk menjawab. Padahal tak ada kewajiban baginya untuk merahasiakan identitas aslinya. Akan tetapi rasanya bibir Alice begitu kaku dan susah untuk diajak bicara. Pandangan Alice hanya tertuju pada pemuda itu, tanpa memberikan sepatah kata pun sebagai reaksi akan kalimatnya.
Pemuda itu agak membungkuk, membuat wajahnya semakin dekat dengan wajah Alice. Alice yang semula harus mendongak untuk menatap wajah sosok di hadapannya itu, kini bisa sedikit menunduk.
“Kalo lu cuma manusia biasa, reaksi lu begitu liat gue bahkan dalam wujud asli hakutaku, kok tenang-tenang aja? Nggak mungkin kan?” lanjutnya.
Sekali lagi, pemuda itu mengulangi pertanyaannya, “Lu orang pintar ya?”
“Iya.”
Dingin, Alice tau kata-katanya barusan terdengar begitu dingin. Akan tetapi pemuda itu sepertinya tak peduli, ia kembali berdiri tegap dan wajahnya menunjukkan seakan-akan ia percaya pada jawaban Alice.
“Hakutaku dapat berbicara bahasa manusia, dan sangat berpengetahuan tentang segala sesuatu dalam penciptaan,” itu lah salah satu kutipan yang Alice baca dari buku mitologi Jepang.
“Bukannya hakutaku tau segala sesuatu tentang penciptaan?” Alice tak ada niatan buruk, tapi gadis itu tak sengaja berbicara dengan nada meledek. Sungguh nekat memang, tapi ia berharap semoga saja pemuda itu tidak tersinggung.
“Tentu saja!” pemuda itu terlihat agak kesal. Sesuai dugaan Alice, ia pasti tersinggung.
“Lalu, kenapa lu masih nanya?” Oh tidak! Dasar gadis kecil! Bisa-bisanya ia keceplosan dan masih saja melanjutkan kalimatnya itu. Sungguh gadis yang tak tau diri.
“Mastiin aja,” ujar pemuda itu seraya mengalihkan pandangannya dari Alice.
Tak lama, pemuda itu melirik Alice. Dan lagi-lagi, ia meneliti penampilan Alice dari atas ke bawah. Namun kali ini Alice bukannya merasa gugup atau apa, Alice justru jijik dengan lirikan sang pemuda yang terlihat aneh itu.
“Apa-apaan sama penampilan lu?” Belum apa-apa, pemuda satu ini sudah mulai menunjukkan ancang-ancang untuk menghina sang gadis di hadapannya.
“Kulit putih pucat, rambut hampir putih, bulu mata hampir putih, alis hampir putih. Masih mending warna mata lu abu-abu, nggak putih. Walau abu-abu pucat sih,” tak hanya kalimatnya yang terdengar merendahkan, bahkan raut wajahnya itu juga terlihat begitu menyebalkan.
Sungguh menusuk, tepat di ulu hati gadis kecil satu ini. Alice menutup kedua matanya rapat-rapat, kedua bibirnya ia lipat semakin dalam, layaknya menahan rasa sakit di dadanya. Bahkan Alice agak menunduk untuk menyembunyikan raut wajahnya dari pemuda di hadapannya. Jelas-jelas Alice terlihat begitu terkejut beserta emosinya yang siap meluap kemana-mana. Ia mungkin bisa saja nampak seperti banteng mengamuk yang hendak menerjang apapun, akan tetapi Alice berusaha menahan amarahnya sebaik mungkin.
“Lu boleh ngomong apa pun tentang fisik gue, tapi nggak dengan nada ngejek kayak gitu!” rasanya ingin sekali Alice meneriaki pemuda di hadapannya itu. Untung saja ia sudah cukup terbiasa dengan kalimat berupa ejekan fisik seperti itu, hingga ia bisa menahan amarah di hatinya.
“Apa sih itu namanya? Albinisme?”
Alice mengangkat kepalanya kembali, melirik wajah pemuda itu dengan setengah hati. “Iya,” jawabnya dengan nada malas. Sungguh pemuda songong yang begitu menyebalkan, masih untung ia mempunyai paras yang tampan.
“Oh iya,” pemuda itu berbicara kembali, membuat suasana hati Alice kian kacau. Ditambah dengan penuh rasa tinggi hati di wajahnya itu, sukses membuat Alice semakin malas menghadapinya. Tak hanya itu, bahkan pemuda itu menatap Alice layaknya seorang raja yang menatap budaknya.
“Gue mau tinggal dirumah lu!”
Alice seketika menatap pemuda itu dengan serius. Rasa kesalnya kali ini benar-benar tak tertahankan. Pemuda itu terus-terus saja membuatnya naik darah, omongannya semakin lama semakin tak beraturan. Alice menunjukkan ekspresi tak percaya yang terlihat jelas di wajahnya. Alisnya berkerut dan mulutnya terbuka lebar, “Hah?!”
Berbanding terbalik dengan Alice, pemuda itu justru menunjukkan senyuman yang manis, akan tetapi entah kenapa terlihat jauh-jauh lebih menyebalkan dibandingkan sebelumnya.
Alice menghela nafas panjang, bersamaan dengan senyuman miris yang ia perlihatkan tepat di hadapan pemuda itu. “Heh! Lu…!” Alice mengangkat salah satu sudut bibirnya dan menatap pemuda itu seraya agak menyipitkan kedua matanya. Pemuda itu hanya terdiam dan menunjukkan senyuman yang sejak tadi tak ia rubah sama sekali. Bahkan Alice begitu heran mengapa lelaki satu ini memiliki rasa sombong yang begitu tinggi.
Alice menatap sosok di hadapannya itu dengan ekspresi merendahkan, sudut bibirnya yang masih terangkat sebelah itu membuat makna dari raut wajahnya terlihat semakin jelas, “Bisa nggak udahin candaannya?”
Pemuda itu juga tak berniat mengubah raut mukanya sama sekali. Hatinya tak bergetar sedikitpun oleh kalimat Alice berusan. “Gue nggak bercanda,” ujarnya.
Tak mau kalah, Alice justru semakin memperlebar senyuman merendahkan yang tergambar di wajahnya itu, “Hah? Gila ya lu?”
Akan tetapi, kalimat Alice berusan nampaknya sukses membuat sang hakutaku tersinggung cukup keras. Entah kebetulan atau apa, aura di sekitar pemuda itu mendadak menjadi suram dan terasa begitu mencekam. Senyuman di wajah pemuda itu juga mendadak hilang entah kemana, digantikan oleh tatapan tajam dari kedua matanya.
Alice mungkin merasakan aura itu, ia mungkin juga tahu kalimatnya barusan berujung pada hal yang agak buruk. Tapi bersamaan dengan itu, Alice ingat betul semua bacaan tentang hakutaku yang ia pelajari. “Tak ada satupun buku yang menyebutkan bahkan hakutaku adalah makhluk yang berbahaya, melainkan justru makhluk suci.” Jika sudah tau akan hal itu, mungkinkan Alice berpikir negatif tentang keadaan saat ini?
“Jauhin muka sok santai lu itu! Gue benci!” ujarnya dengan nada bicara yang begitu dingin, ditambah dengan suaranya yang berat, sukses membuat kesan menyeramkan. Namun Alice tak bergetar sama sekali. Ia tetap begitu terlihat tenang, bahkan dengan intimidasi dari pemuda itu.
“Balik ke tempat lu sana, hakutaku nggak seharusnya ada di sini kan?”, ujar Alice, warna suara gadis itu yang sangat lembut sungguh berbanding terbalik dengan pemuda di hadapannya.
“Gue bilang jauhin muka lu itu!” pemuda itu mendadak menaikkan nada bicaranya, wajahnya juga terlihat begitu emosi. “Berani-beraninya lu sama hakutaku!” ujarnya lagi masih dengan nada bicara yang sama persis. Aura di sekitar pemuda itu menjadi semakin mencekam dan perlahan terasa begitu mengerikan. Bahkan Alice yang beberapa waktu lalu masih sangat tenang, kini diam seribu kata, tak berani berkutik sama sekali.
“Lu pikir hakutaku makhluk baik-baik?”
Seraya melawan rasa takutnya, Alice mencoba memberanikan diri untuk menatap sosok di hadapannya itu. “Begitu lah yang gue baca di buku,” ujarnya pelan. Pemuda itu mendadak tertawa, sungguh tawa yang begitu meremehkan, dan bercampur dengan kesan jahat yang muncul dari dalam dirinya.
“Itu kan cuma mitos!”
“Apa?” Bodohnya Alice, kenapa ia tak memikirkan hal itu dari awal? Tubuhnya kini sudah terasa begitu lemas, detak jantungnya berpacu sangat cepat. Matanya terbelalak dan bibirnya sudah tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. “Gue lupa kalo yang gue baca itu buku mitologi ….”
.
.
To Be Continue-
Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kasar dan menyinggung perasaan pembaca. Kesamaan nama, tempat kejadian, atau cerita itu hanya kebetulan belaka.
Salam, penulis.