Menunggu, menunggu, dan menunggu. Dasar tidak kompeten jadi laki, bisa-bisa membuat perempuan menunggu lama. Ini mau sampai berapa lama lagi, sih? 100 tahun?! Sudah mati duluan manusianya, kan. Sekitar pukul 11 lebih. Jadi, 6 jam sudah berlalu sejak terakhir kali pengiriman surat tersebut. Itu laki-laki kemana? Memantau kediamannya lewat layar sudah, menonton layar ini selama kurang lebih 3 jam sudah, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan makhluk hidup.
“Apa itu?!” Memastikan apa yang dilihatnya di layar dengan memperbesarkan tangkapan gambar disana. 3x pembesaran. Yang dilihatnya ternyata persis seperti yang ada pikirannya. “Bekas jejak kaki di surat? Berarti ada yang menginjaknya. Laki-laki itu kah… menyimpulkannya sekarang masih terlalu dini. Akan lebih baik kutunggu lebih lama lagi.” Menyenderkan tubuhnya sambil menghela napas melelahkan. Kemudian, perempuan yang sedang bersender itu melirik ke belakang, melihat sesuatu yang harus menjadi tanggung jawabnya.
Tanggung jawab menjaga mereka, para Dewi yang bermasalah dan tidak bermasalah untuk waktu ke depannya.
Sebagai seorang Dewi tingkat 3 yang terhormat, kata tidak atau penolakkan kepada tugas yang diberikan oleh Dewi tingkat 4 adalah hal tabu. Ingin rasanya menolak tugas ini. Ingin sekali. Mungkin bisa sih, kalau kata hati terucap begitu saja di saat pemberian itu juga. Dan resikonya berada pada nama baik.
Hmm… Resiko yang tidak setimpal dengan pilihan tersebut. Benar kata Thiharis, ketidakadilan pasti selalu ada dan tidak mengenal ras atau makhluk apapun itu.
“Sekarang aku malah mempercayainya. Hebat sekali perkataannya, aku sampai kagum mempunyai teman seperti dia. Yah, walaupun tidak mengubah apapun yang ada disini.” Langsung tertawa kecil. “Berani berkata, tidak mengubah kenyataan. Atau… berbicara pada batu yang merupakan benda mati.”
Treeek! Krekk! Krekk!
Suara yang berasal dari belakang tempat duduknya, agak lebih jauh lagi, dibiarkan begitu saja meski mendengarnya. Tidak mau ambil pusing, pikirnya. Mending bersantai dulu dengan di temani segelas minuman yang menyegarkan, jus mangga adalah kesukaannya.
Meluruskan kedua kaki, lalu menyilangkannya sesuai posisi yang diinginkannya sambil mengambil kaca mata hitam di atas meja di sebelah kiri dan memakaikannya seraya menatap ke langit-langit, begitu cerahnya hari ini dan waktunya sangatlah tepat untuk bersantai di bawah teriknya matahari.
“Merepotkan sekali.”
.
.
15 menit kemudian setelah mengabaikan suara aneh itu…
“Yosh! Sudah selesai, tinggal…” Satu jentikan jari yang dilakukannya langsung memunculkan bola api sebesar kepala, sifat alami dari api di hilangkan sementara dengan kekuatannya, jadi tidak terasa panas saat di sentuh. Berulang kali bola itu dilempar-lempar ke atas sambil menyeringai senyuman penuh semangat. “Oi! Kalian. Mau main dragon ball- maksudku dodge ball?”
“Tidak, terima kasih.” Tawaran untuk bersenang-senang langsung ditolaknya tanpa pertimbangan. Dingin seperti ice ekspresi Rephion ke Aris.
“Cihh! Karakter ngeselin!” Bergumam menjelekkannya secara diam-diam. Tentu saja Rephion mendengar itu dan kemudian melirik tajam ke arahnya, segera Aris menghindari lirikan itu ke arah lain. “Ra-rawphine, Erthys. K-kalian mau main?”
Rawphine berdiri dari bangku. Semangat yang membara terlihat dari matanya. “Tentu saja!”
“A-aku ingin, tapi kalau bertiga saja jadi tidak imbang.”
Menangkap bola yang dilemparnya, meremas-remas. Ia memikirkan sesuatu. Dipejamkan matanya sebentar. Hmm… “Benar juga… Davtuna. Kau bagaimana? Mau main tidak?”
“E-eh! U-um… A…” Terkejut. Ia jadi salah tingkah deh. Pandangan matanya pun mulai kacau, dikit-dikit melirik wajah Aris lalu menunduk, dan begitu terus sampai beberapa saat. Malu kata yang tepat. “A-a-aku, aku… ma-ma-ma…sih belum yakin!”
“Hah!”
“Hah?!”
Memikirkan maksud perkataan Davtuna yang membingungkannya.
‘Aku bodoh, bodoh, bodoh, bodooooh… gak ketulungan! Apa susahnya sih bilang “Mau” saja! Ahh! Bagaimana ini~ kalau sudah begini tidak ada kesempatan untukku!’ Menggigit bibir bawah karena kesal dengan dirinya sendiri.
“Belum yakin? Apa maksudmu?” tanya Aris.
‘Ah! Chance!’ pikir Davtuna. Gembira bukan main. Tapi sayangnya kesempatan itu di ambil oleh… Mengangguk. “U-um. Belum bisa.” Dirinya sendiri yang menjawabnya.
“Ohh, ya sudah.”
Setelahnya Aris tak menawarinya lagi. Berjalan ke lapangan.
‘Aaggghh!!! Mulutku gak bisa berpikir dulu apa?! Asal jawab saja, sialan! Itu tadi chance terakhirku tahu!!!’ Jeritan-jeritan penyesalan, berakhir diam di tempat duduk dengan tak berekspresi apapun, hanya menunduk dan menatap meja kosong. Seperti isi hatinya.
“Aris…”
“Tenang saja Erthys, kau sebentar lagi akan bisa main kok. Tunggu saja.”
“Benarkah?”
“Um.” Mengangguk dan tersenyum.
Rawphine menghampiri Aris. Ia penasaran dengan yang di katakannya pada Erthys. “Aris. Jangan bilang kau merencanakan sesuatu ya. Apa perlu kubantu?” bisiknya di dekat telinga.
“Tepat sekali, ketika aku membutuhkanmu. Jadi begini…”
.
.
Tidak bersuara. Sangat sunyi disini sampai Rephion mencurigai Aris dalang dibalik keadaan ini, soalnya tidak biasa ini terjadi saat ada Aris di dekatnya. Beberapa saat pun berlalu, percakapan mereka mulai terdengar kembali.
“Apa kau yakin? Nanti kalau marah bagaimana?” Cemas dan ragu Rawphine.
“Santai saja.”
“Baiklah, aku coba. Ta-tapi-tapi, kalau terjadi sesuatu kau yang tanggung jawab ya!”
“Sudah, tenang Rawphine. Rencanaku ini sangat mendetail sekali dan-“
“Tidak usah kau jelaskan. Ayo kita mulai.” Baginya sangat membosankan harus mendengar Aris menjelaskan, jadi ia memotongnya.
Mata Rephion sekali lagi melirik ke mereka berdua, memerhatikan gerak-geriknya. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, kata “rencana” dari percakapan mereka. Berarti benar ada yang ingin di lakukan sama Aris. ‘Rencana? Mereka mau melakukan apa sebenarnya? Langkah terbaik adalah tetap waspada.’
Kedua orang disana mengambil jarak cukup jauh dari tempat ketiga orang tersebut, saling berlawanan antara Rawphine dan Aris sejauh 25 meter.
Aris menyapu debu dengan kakinya, lalu pemanasan lengan kanan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, terlepas tangannya saat melempar. Sementara Rawphine, dia memerhatikan betapa semangatnya si Aris itu.
Dan setelah selesai, ia langsung mempersiapkan posisi melempar dengan bola yang di genggamnya sangat kencang. “Terima ini!! Rawphine!!!” Dengan kekuatan penghancurnya yang tak terkalahkan oleh siapapun, Aris melepaskan bola di tangan kanan bersama kekuatan itu. Merubah warna pada bola itu menjadi merah gelap.
Seperti layaknya meriam penghancur alam semesta. Bola yang melintas di atas tanah berputar sangat cepat sampai-sampai menciptakan pusaran angin setinggi 4 meter beserta dengan petir di sekelilingnya. Badai kecil yang mengerikan akan tiba dalam waktu dekat!
Mengubah permukaan tanah yang hijau menjadi habis terkikis karena daya hancurnya cukup luar biasa. Dengan ganasnya energi listrik mulai menyambar-yambar tidak terarah ke segela tempat dan menghancurkan tanah-tanah diluar lapangan.
*Tresst! Tresst! Duaarrr!!! Draaakk!!!
Terlihat tenang diluar, tapi di dalam hatinya Rawphine masih sangat ragu akan pilihannya. Seakan ketetapan hatinya di benturkan keras. Rawphine mulai menghadapkan kedua tangannya ke depan, lalu memperlebar jarak antara jari-jari yang lain… [Mirror, Eternal World…]
Mengucapkan mantra sihir singkat.
Sebuah cermin besar muncul berbentuk oval dengan corak tulisan-tulisan berbahasa latin yang berada di tepi pinggirnya, dan warna keseluruhannya adalah hitam pekat. Bahasa latin yang terukir adalah “Mortem”, bila diterjemahkan memiliki arti… Kematian.
Bersiap menahan.
Keadaan yang tidak sangka-sangka terjadi tiba-tiba. Arah bola itu meninggi sendiri dan semakin tinggi mencapai 10 meter diatas permukaan tanah.
‘Aris. Aku tidak mau tahu…’
Rawphine melompat sebelum bola itu melewatinya. Sambil membawa cerminnya dengan kekuatan telekinesis, ia kemudian memposisikan arah pantulan cermin yang akan di terima. Tepat ditengah-tengah, begitulah jawabanya.
Dhengh! Dhengh!
Bertabrakan. Gelombang dengungan hebat bergema berulang-ulang. Karena tidak kuat menahan dorongan bola tersebut, cermin Rawphine mulai memunculkan retakan-retakan kecil di tengah dan menyebar perlahan-lahan ke sekitarnya.
“Saatnya!” seru Rawphine, memfokuskan energi untuk dikirim ke cermin. Tersalurkan. [Translucent!]
Hilang tak tersisa wujud dari bola hitam tersebut serta badai yang mengelilinginya. Namun itu terjadi tak begitu lama, dan 2 detik kemudian wujudnya baru terlihat lagi yang muncul dari dalam cermin.
Dan lagi-lagi, bola itu menghilang entah kemana.
Belum sampai ke detik 0,5 setelah menghilangnya bola tersebut. Ternyata sudah terlempar balik ke arah Aris dan tinggal menyisakan beberapa centimeter saja jarak wajah Aris dengan bola tersebut sebelum terhantam keras hingga memungkinkan dapat menghancurkan kepalanya…
Hanya semangat yang terukir di wajahnya serta senyuman manis yang diperlihatkan Aris di detik-detik waktu kematian singkat. Kepercayaan dirinya lah yang begitu tinggi terhadap kekuatan yang dimilikinya membuat Aris berani berekspresi seperti itu sembari berbicara, “Lambat!”
Treesst!
Aliran listrik memanjang ke belakang.
Lalu, jarak antara bola dengannya tiba-tiba menjauh sedikit, sekitar dua langkah kaki. Semacam sihir teleport yang mampu memindahkan objek atau subjek ke tempat lain dalam sekejap mata. Yang Aris gunakan bukanlah sihir semacam itu, melainkan kecepatan gerakannya sendiri. Sungguh tidak bisa di percaya bahwa Aris mampu menyamai kecepatannya.
Langsung memposisikan kuda-kuda bertarung dengan tangan kosong. Kaki kiri mundur selangkah lalu diikuti lengan kanan yang menekuk, seraya mengepalakannya kuat-kuat, Aris kemudian melepaskan kekuatannya.
[Elbow… punch!]
Sreett… Sreett… Sreett!
Berhasil menggagalkannya. Tetapi, berhasil juga membuat kulitnya ikut terkikis habis cukup dalam dan meneteskan darah…
Hush…!
.
.
12 detik sebelum terjadi kehancuran massal…
“Rephion. Ehmm… a-ano…”
Menutup buku. “Katakan saja.” Membalasnya dengan lembut. Memang kata hati tidak bisa berbohong. “Apa yang ingin kamu katakan, Erthys?”
“Kau- Eh! Maksudku, kamu lebih baik berhati-hati…”
Mata menutup rapat. “Soal itu kah, aku sudah tahu yang mere-“ Tenang sekali ekspresinya seraya memundurkan kepala… Hanya lewat di depan wajahnya, bola kematian dengan pusaran angin bersamanya. Terhempas rambut birunya ke samping lalu di kembalikannya lagi hempasan rambutnya ke seperti semula.
Dan Erthys yang melihat itu begitu ketakutan sekali dan gemetaran, takut terjadi yang tidak diinginkan. Detakan jantungnya pun sempat berdetak cepat, tapi, setelah ternyata Rephion bisa menghindari serangan, ia bernapas lega.
Husshh! Dumb…!
Merapihkan rambut. “Aku sudah menduga-“
Braaakkkkkk!
“Yes! Kena!!” teriak senang.
“Rephion!!!”
Jatuh dengan sangat kencang menghantam permukaan tanah yang hijau. Tergeletak tak bergerak sama sekali, dan asap dari bola yang hancur tepat setelah mengenai kepala Rephion mulai tebal menutupi bagian atas tubuhnya…
“Akhirnya sampai juga… di Hokenshitsu! (R.Uks)” Berdiri di depan pintu, lalu menggesernya untuk membuka pintu tersebut dan masuk ke dalamnya yang terlihat masih belum ada siapa-siapa, termasuk guru yang jaga juga. Ya iyalah tidak ada ini aja masih pagi.
Melangkah ke tempat ranjang di dekat jendela paling ujung. Aku berpikir ingin segera duduk disana sambil mengistirahatkan kedua kaki yang kelelahan, namun setibanya di sebelah ranjang ada sesuatu yang menahan tubuhku disaat-saat aku ingin mendudukinya, sepintas pikiranku lalu yang memberitahukan bagaimana rasanya suasana disini, ya kurang nyaman karena udara di pagi hari belum memasuki ruangan ini. Dibukalah jendala itu…
Langsung menyerbuku dari berbagai arah. Berputar-putar seperti pusaran tenaga kipas angin yang ada di apartemenku, meskipun punyaku kecil sih, tapi angin yang di hembuskan sangatlah besar dan mampu menyamakan kesejukan pendingin udara (AC). Enak sekali rasanya dan lelahku berkurang sedikit demi sedikit.
“Yo, Hikaru! Enak sekali ya beristirahat disini.”
‘Akhh! Gawat! Aku sampai lupa dengan orang yang merepotkan satu ini.’
“Sampai-sampai menghindari orang yang merepotkan. Pasti kau berpikir begitu, kan?’
‘Tuh kan benar kataku apa! Kagak ngomong aja dia bisa tahu. Pola pikirnya yang bisa dikatakan merepotkan, orangnya juga sama merepotkannya, kadang-kadang.’
Aku harus ubah topik pembicaraan, harus itu! Sebelum Kurumi memulainya. Berbalik. “Ku-kurumi! Su-sudah lama sekali ya sejak terakhir kita bertemu, kau baik-baik saja, ‘kan?” Menyeringai senyuman terpaksa.
‘Ini sama sekali bukan mengubah, tapi memicu! Terlalu bodoh kau, Kazuki Hikaru!’
Setelah tiga minggu lamanya, dia ternyata masih melakukan yang di sukainya tanpa merasa malu? Hebat sekali Kurumi, hebat soal kepercayaan diri. Aku harus belajar darinya nih.
Menghela napas… Tidak akan ada yang bisa menghentikannya mulai sekarang, tanda-tanda dia akan marah terlihat!
*Kring…
Bel jam pelajaran berbunyi. Saatnya bagi murid-murid untuk memasuki kelas masing-masing.
‘Aku belum menyerah! Sungguh!’ Bangkit dari kesalahan yang telah kuperbuat tadi. “Ahh~ Su-sudah saatnya masuk kelas. Kurumi. Aku duluan ya…” Bersamaan dengan fake smile yang terpaksa level 2, aku melewatinya begitu. Wow! Tak kusangka cara ini akan berhasil.
Itu yang kupikirkan…
Trappp!
“Tunggu! Apa kau mau lari dariku, Hii~kaa~ru-kun?”
Ahh… Keringatku tidak bisa berhenti mengalir. Dan yang tahu sekarang adalah Kurumi pasti mengeluarkan senyuman mematikannya kearahku, meski aku tidak menoleh ke belakang, dan mau sampai kapan dia memegang tangan kananku? Agak terasa halus sih sentuhan tangannya seperti perempuan atau gadis, tu-tunggu sejak kapan aku bisa mendeskripsikan rasa sentuhan tangan perempuan? Belum juga merasakannya. Ohh iya! Aku pernah… sama Ibuku sendiri.
“Ahh…”
Sekali lagi, meski bel berdering sampai 10 kali pun, dia tetap saja tidak akan melepaskanku begitu saja. Karena dia ingin melepas rindunya setelah lama tidak bertemu denganku, lalu menceritakan kisah hidupnya 3 minggu yang lalu hingga detik ini padaku. ‘Haaah… punya teman kayak dia benar-benar merepotkan ya,’ pikir Hikaru mengeluhkan.
Aku menjawab pertanyaannya yang berbobot nilai tinggi, dengan jawaban polos seperti anak sekolah dasar (SD). “Bu-bukan lari. Ta-tapi… mau kabur.”
Tanganku di tarik Kurumi dan terus membawaku ke ranjang paling ujung dekat jendela itu, kemudian melepaskan genggamannya dengan melemparkanku hingga duduk di pinggir ranjang. Wajah Kurumi merona merah samar-samar dan aku juga ikut-ikutan memerah. “Ku-kurumi. K-k-kau mau apa?!” Diriku semakin panik tidak jelas melihat dia membuka bagian atasnya… “Ku-ku-kurumi!” Jantung berdebar-bedar kencang.
Krrrt…
Suara pintu terbuka...
Jika kalian (pembaca) penasaran ingin melihat wujud karakter dalam cerita ini, silahkan mampi di akun wattpad saya yang bernama...
Comment on chapter Prolog@Rissha28
Atau kalo gak ketemu juga, bisa kalian ketik judul cerita ini, maka akan keluar pencariannya. Sekian dan terima kasih...