Read More >>"> IMPIAN KELIMA
Loading...
Logo TinLit
Read Story - IMPIAN KELIMA
MENU
About Us  

            Reunian yuk :)

            Taksi melaju pelan, membelah lalu lintas kota Jakarta yang tak pernah sepi kendaraan. Pukul tiga sore. Jika dihitung-hitung, taksi ini akan sampai di tempat tujuan kurang lebih sepuluh menit lagi.

            Dinda tersenyum senang. Kakinya bergoyang-goyang tak sabar ingin segera sampai. Pesan di WhatsApp­-nya dia baca berulang-ulang. Sesekali sambil membuka foto profil si pengirim pesan, yang lantas membuatnya tersipu dengan pipi memerah entah kenapa. Foto teman masa SMA-nya. Alfian; atau dia cukup memanggilnya Al.

            Di foto itu, Al tidak banyak berubah. Senyumnya masih sama manisnya. Dia punya lesung pipi di bagian kanan. Yang membuatnya berbeda hanya potongan rambutnya. Dulu, rambut Al rapi. Sekarang jadi agak panjang dan sedikit berantakan. Di foto itu, Al sedang memegang bendera organisasi pecinta alam dengan latar belakang pegunungan dan awan-awan. Hobinya tidak berubah.

            Reuni apa? Kapan? Dimana?

            Tiga hari yang lalu, Dinda balas chat tawaran itu dengan berondongan pertanyaan. Deg-degan rasanya menunggu jawaban. Mungkinkah….

            Haha… apa lagi? Reunian High Five!

            Dinda terperangah, nyaris memekik senang mendapat jawaban itu. High Five! Sangat lama tidak bertemu!!

            Serius?? Al ngundang yang lain juga? Saskia? Dimas? Gustian??

            Agak lama menunggu jawaban. Begitu Al menjawab, ‘Ya’, Dinda memekik betulan.

            Di kafe baru dekat SMA kita dulu. Jam tiga sore. Dinda datang yaa….

            Tak perlu diminta dua kali, Dinda langsung mengiyakan.

            Sopir taksi mempercepat laju kendaraannya. Belok di tikungan menuju SMA, sopir taksi bertanya, “Kafe apa, mbak, namanya?”

            Dinda tercenung, “Kafe… apa ya?” Dia lupa bertanya apa nama kafenya, “Sebentar, Pak. Saya chat teman saya dulu.”

            “Kafe yang itu ya, Mbak?”

            Dinda urung mengetik pesan. Dia mengikuti arah telunjuk pak sopir. Di dekat area SMA, ada sebuah kafe dengan warna dominan cokelat dan dihiasi tanaman gantung di langit-langitnya. Sepertinya, itu satu-satunya kafe di daerah situ.

            “Iya, Pak. Turun sini aja,” Dinda membuka dompet dan mengeluarkan sejumlah uang dari dalamnya. Pas dengan nominal yang tertera di argometer, “Makasih ya, Pak.”

            Dia keluar dan menutup pintu taksi. Sebelum berjalan menuju kafe, Dinda menoleh sebentar ke gedung SMA. Dia tersenyum. Bangunan itu tidak banyak berubah. Bahkan pak satpam yang menjaga gerbang sekolah juga masih tidak berganti. Namanya Pak Ridwan. Dinda menyapanya riang, dibalas Pak Ridwan dengan anggukan dan alis berkerut. Siapa? Sudah lupa rupanya.

            “Dinda, Pak... lupa ya?” Dinda terkekeh melihat wajah bingung Pak Ridwan. Yang ditanya hanya manggut-manggut.

            “Ya, mbak. Mau kemana?”

            Dinda memberi isyarat dengan matanya, menunjuk kafe samping sekolah, “Ke situ. Ada janji mau reunian. Bapak pulang jam berapa?” Sekolah kelihatannya sudah sepi.

            “Ini sebentar lagi mau pulang, Mbak….” Pak Ridwan tiba-tiba kembali mengerutkan kening. Sejurus kemudian, ekspresinya berubah lagi. Jarinya menunjuk-nunjuk. Kelihatannya ingat sesuatu, “Ooohhh… Mbak? Mbak… yang dulu pernah jualan di sini, kan? Temannya Mas ini, kan?”

            Mas ini? Dinda bingung dan mengikuti arah telunjuk Pak Ridwan. Dia menoleh ke belakang. Terkejut. Al tahu-tahu sudah berdiri di belakang.

            “Hai,” sapanya ringan.

            Dinda melongo beberapa saat. Laki-laki di hadapannya betulan Al. Masih tidak berubah kecuali rambutnya yang sedikit berantakan. Dinda nyaris memekik kegirangan.

            “Ya Tuhan… Al??” Dinda menutup mulutnya. Ekspresi refleks. Kalau tidak begitu, mungkin suaranya sudah melengking keras.

            Al melebarkan senyumnya, “Lama nggak ketemu.” Dia berpaling ke Pak Ridwan dan mengangguk sopan, “Permisi, Pak. Saya bawa dulu ya teman saya ini.”

            Pak Ridwan terkekeh, “Iya, silakan. Reunian yaa….”

            Al memberi isyarat agar Dinda mengikutinya. Kafe itu berada persis di kiri area sekolah. Dinda tersenyum mengingat kata Pak Ridwan. “Mbak yang dulu jualan di sini, kan?”

            Iya. Dulu. Waktu SMA, dia dan beberapa orang teman, termasuk Al, pernah mendirikan kedai es krim kecil-kecilan yang berada persis di kiri area SMA. Dulu. Tapi begitu mereka lulus, usaha itu sudah tidak lagi berjalan. Kedai es krim itu mereka namai High Five.

            “Welcome home, Dinda.”

            Dinda sempat melamun beberapa saat karena Al juga tidak mengajaknya mengobrol. Welcome home? Dinda tersenyum. Dia mendongak melihat nama kafe yang terpampang di atas pintu. Sedetik kemudian, senyum Dinda memudar. Dia tatap papan itu lekat-lekat, tidak percaya.

            “High… Five?” Dinda menoleh pada Al. Lelaki itu hanya memasang senyum. Entah kenapa, sesuatu dalam hati Dinda terasa meleleh. Tanpa bisa dia tahan, air matanya menitik ke pipi. “Kenapa… bisa?”

*****

            Itu bukan kedai kopi. Itu sebuah kedai es krim. Al mengembalikan hampir semua hal yang pernah mereka rintis bersama semasa SMA. Dinda mengitarkan pandangan. Ada sebingkai foto di salah satu dinding kafe. Foto yang terdiri dari wajah-wajah perintis High Five semasa SMA: Al, Dimas, Gustian, Saskia, dan Dinda.

            “Mana yang lainnya?” Dinda langsung bertanya begitu Al menghidangkan dua gelas es krim dan dua piring puding.

            Kafe itu cukup ramai. Ada dua orang pramusaji yang hilir mudik mengantar pesanan, tapi khusus di meja Dinda, Al melayaninya sendiri.

            “Mungkin sebentar lagi mereka datang.” Tanpa melepas senyumnya, Al duduk di depan Dinda.

            Ada empat kursi tersisa di sekitar meja mereka. Untuk Dimas, Gustian dan Saskia.

            “Istrinya Dimas? Kamu undang? Pacarnya Saskia? Pacar Gustian?”

            Al tertawa, “Nggak. Terlalu rame,” dia memicingkan mata, “Kalau mereka kuundang, pacarmu juga bakalan kuundang.”

            Dinda manyun, “Aku nggak punya pacar.”

            “Masak?”

            “Emang kamu punya?”

            “Nggak.”

            Dinda membuang muka dan tersenyum diam-diam.

            “Kamu sengaja bikin High Five berdiri lagi?” tatapan mata Dinda menerawang. Dia ingat beberapa hal soal masa SMA mereka. Begitu Al mengiyakan pertanyaannya, Dinda mendesah lega entah kenapa.

            Dulu, delapan tahun yang lalu. Di bangku kelas 2 SMA, Dinda sempat mengutarakan keinginannya untuk memiliki usaha sendiri. Keinginan itu dia katakan di depan Al dan Dimas. Obrolan mereka kala itu ringan saja, tapi lama-kelamaan, Al jadi menanggapi serius keinginan Dinda.

            “Aku juga pengen. Bikin usaha, yuk!”

            Dimas yang anak seorang pengusaha kaya, mengangguk enteng saja, “Aku ikut.”

            Dinda sempat tidak percaya dan menganggap mereka berdua hanya sesumbar. Tapi, di hari berikutnya, Al malah mengatakan hal itu pada Saskia dan Gustian, dua teman mereka yang juga belajar di kelas yang sama. Dan mereka setuju. Dinda nyaris tidak bisa percaya. Al, Dimas, Gustian, Saskia… mereka berempat anak orang kaya, untuk apa mau pusing-pusing berpikir soal cari kerja? Berbeda dengan Dinda yang masuk SMA saja harus mengandalkan beasiswa. Ayahnya hanya seorang buruh bangunan dengan gaji tidak seberapa. Maka, begitu keinginannya mendapat sambutan luar biasa, Dinda menangis terharu, memeluk Saskia, berterimakasih pada Al, dan berharap kerjasama dari Dimas dan Gustian.

            Harus diakui, memang Dinda yang punya ide. Tapi yang pertama melangkah mengambil eksekusi adalah Al. Dinda berjanji, sampai kapan pun keempat kawannya itu tidak akan pernah dia lupakan. Terutama Al tentu saja.

            “Haloo…?”

            Dinda berhenti melamun begitu Al menggerakkan telapak tangan di depan wajahnya, “Kenapa nangis?”

            Dinda tercekat. Matanya yang berkaca-kaca sama sekali tidak dia sadari. Lekas dia susut air matanya dan tersenyum kembali, “Aku terharu,” katanya jujur.

            “Kenapa?” tanya Al lembut. Dia sesungguhnya tahu mengapa Dinda tampak seharu itu. Tapi, mendengarkan Dinda menjawabnya langsung terasa lebih menyenangkan bagi Al.

            “Lama nggak jualan,” Dinda mengusap pipinya lagi. Tidak ada jawaban lebih lanjut. Al yang sudah menunggu-nunggu jadi tertawa.

            “Terus?”

            “Terus?” Dinda menatap Al. Teman baiknya itu terlihat sangat ingin dia bercerita lebih banyak lagi.

            “Aku kangen,” bisik Dinda, “Kangen sama masa-masanya kita berjuang bareng. Kangen kita mendirikan High Five, cari ide buat bikin usaha, cari modal…. Ingat Dimas yang sampai harus meminta Ayahnya untuk membeli tempat ini… ingat Saskia yang pintar mengurus dapur, Gustian yang sampai harus begadang membuat poster iklan kedai….” Dinda diam sesaat. Dia menatap Al lebih lama, lebih tulus, “dan kamu, Al, leader terbaik yang pernah ada.”

            Al tidak berkata apa-apa. Dia hanya terus memperhatikan Dinda yang tak henti meneteskan air mata.

            “Dan sekarang, lihat. Kamu mendirikan kembali High Five. Hampir sama persis dengan apa yang pernah kita bangun dulu. Padahal… aku pernah sangat sedih mengingat High Five tidak akan kita teruskan lagi,” Dinda menghapus lagi air matanya sambil tertawa kecil, “Aduh, es krimnya cair.”

            Mendengar kalimat penutup Dinda, Al ikut tertawa, “Nanti aku ambilkan yang baru.”

            “Rasa cokelat ya, kalau ada.”

            Al mengangguk untuk permintaan Dinda.

            “Itu apa?” Dinda baru melihat ada secarik kertas yang terus dimainkan di tangan Al.

            “Ini?” Al mengatur duduknya. Kelihatannya memang sengaja menunjukkan secarik kertas itu di hadapan Dinda, “Ingat nggak, waktu kelas 3 SMA dulu, sebelum ujian nasional, kita ada pembekalan dari guru-guru? Yang kita diminta buat menuliskan cita-cita selepas lulus nanti.”

            Dinda mengingat-ingat dan mengangguk, “Ingat.”

            “Nah, ini cita-cita yang aku tulis waktu itu. Ada beberapa. Hampir sebagian besar sudah terwujud. Salah satunya….” Al sengaja menggantung ceritanya. Dinda hampir bisa menebak Al mau bicara apa. Dan tebakannya benar. “Aku ingin High Five berdiri lagi.”

            Dinda mengangguk lagi, kali ini dengan lebih riang, “Aku siap jadi partner!” katanya mantap. Tanpa disangka, Al mendongak terkejut.

            “Kenapa? Apa… aku nggak bisa… ikut gabung?”

            Al gelagapan, “Oh, eng… enggak….” dia agak salah tingkah, tapi kemudian tertawa senang, “Aku juga mau nawarin, hahaha….”

            “Dengan senang hati,” sahut Dinda tak kalah senang.

            Hampir pukul empat. Dinda baru sadar, teman-teman yang lain tidak kunjung datang.

            “Al, kamu beneran ngundang yang lain, kan?”

            Al melihat sekeliling, “Hmm… mereka belum datang ya?” jemarinya mengetuk meja, tampak berpikir, “Din?”

            “Ya?”

            “Aku ke sana dulu ya? Ambil hape. Barangkali mereka nge-chat.”

            “Oke.”

            Al berjalan ke belakang kasir. Di sana, dia tampak mengetik sesuatu di ponselnya.

            Secarik kertas yang tadi dipegang Al, dia tinggalkan di atas meja. Naluri usil Dinda kambuh. Setelah memastikan Al tidak melihatnya. Dinda ambil kertas itu. Penasaran, apa saja cita-cita yang ditulis Al semasa SMA dulu? Dinda membacanya satu persatu.

Kuliah di PTN

Aktif di organisasi (sebanyak mungkin!)

Meneruskan High Five

Marry Dinda :)

           

            Dinda tercekat. Dia pandangi lekat-lekat tulisan di baris terakhir. Tanpa bisa ditahan, jantungnya berdegup cepat. Tangannya gemetar. Ragu-ragu, dia kembali mengangkat kepalanya. Dinda menoleh ke arah belakang kasir. Seketika, dia terpaku melihat Al yang juga tengah menatapnya. Lelaki itu tersenyum ragu-ragu. Dinda mengalihkan pandangan dengan cepat. Ya Tuhan….

            “Din?”

            Suara Al mengagetkannya.

            “Dinda mendongak salah tingkah, “Ya?” dia baru sadar, kertas itu masih digenggamnya. Lekas dia kembalikan kertas itu ke tempat semula. Tapi sedetik kemudian, dia malah menyesali sikapnya. Aduh, harusnya kusembunyikan saja. Dinda merasa tertangkap basah sudah membaca semua isinya.

            “Mereka nggak bisa datang.”

            “Ha?” Dinda semakin merasa kacau, “Kenapa?” Kalau Dimas, Gustian dan Saskia tidak datang, apa yang harus dibicarakan berdua saja dengan Al? Aduh. Sungguh, kalau bukan gara-gara kertas itu, Dinda tidak perlu merasa sekikuk ini.

            “Karena aku nggak ngundang mereka.”

            “Apa?” Dinda tambah terbelalak. Al duduk di depannya, masih dengan senyum yang sama.

            Sengaja kah?

            “Dasar iseng. Dari dulu nggak pernah berubah,” Al mengambil kertasnya kembali. Senyumnya… seolah-olah Al memang sudah tahu apa yang akan tangan Dinda lakukan terhadap secarik kertas itu. Dinda mendengus, antara sebal dan berusaha mengusir rasa gugupnya.

            “Siapa Dinda? Teman kuliahmu ya?”

            Al tertegun. Berpikir sejenak, lalu tertawa, “Mana ada? Itu tulisanku waktu SMA. Aku belum kuliah waktu itu.”

            Deg. Benar juga.

            “Dan temanku yang namanya Dinda, cuma ada satu,” tambah Al pelan. Tatapan matanya berubah serius, “Din?”

            Dinda tidak mau menatapnya lagi.

            “Kamu ngerasa berutang budi nggak sama aku?”

            Dinda menyahut ragu-ragu, “Soal apa?”

            “High five. Kamu bilang, aku leader yang baik.”

            Dinda diam saja.

            “Siap jadi partner nggak?”

            Aduh. Al malah mengungkit kata-katanya tadi. “Partner apaan?” bodohnya lagi, Dinda malah bertanya begitu.

            “Partner hidup.”

            Tambah kencang saja jantung Dinda berdegup. Al tidak meralat kata-katanya.

            “Aku pikirin ntar deh.”

            “Ntar kapan?”

            “Ntar, setelah kamu siapin es krim cokelat buat aku.”

            Entah bagaimana ekspresi wajah Al. Sunyi dua detik, lalu tawa Al kembali terdengar, “Oh iya lupa.”

            Al berdiri dari duduknya, “Aku siapin es krimnya, ya. Dan Dinda, jangan lupa siapin jawabannya.” Sebelum benar-benar pergi, Al kembali berbisik, “Kamu tahu, Din? Hampir semua yang kutulis di situ sudah menjadi kenyataan, kecuali satu. Dan itu tergantung kamu.”

            Al meninggalkannya menuju dapur. Tangan Dinda tidak berhenti gemetar. Tanpa bisa ditahan, matanya berkaca-kaca. Dia meremas tangannya dengan gelisah.

            Al sialan!

            Tapi, jauh di lubuk hatinya, Dinda merasa sangat bahagia.

*****

Tags: romance

How do you feel about this chapter?

2 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
MASIHKAH AKU DI HATIMU?
601      391     2     
Short Story
Masih dengan Rasa yang Sama
That Devil, I Love
2872      1214     0     
Romance
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Airin daripada dibenci oleh seseorang yang sangat dicintainya. Sembilan tahun lebih ia memendam rasa cinta, namun hanya dibalas dengan hinaan setiap harinya. Airin lelah, ia ingin melupakan cinta masalalunya. Seseorang yang tak disangka kemudian hadir dan menawarkan diri untuk membantu Airin melupakan cinta masa lalunya. Lalu apa yang akan dilakukan Airin ? B...
Let Me Go
2193      915     3     
Romance
Bagi Brian, Soraya hanyalah sebuah ilusi yang menyiksa pikirannya tiap detik, menit, jam, hari, bulan bahkan tahun. Soraya hanyalah seseorang yang dapat membuat Brian rela menjadi budak rasa takutnya. Soraya hanyalah bagian dari lembar masa lalunya yang tidak ingin dia kenang. Dua tahun Brian hidup tenang tanpa Soraya menginvasi pikirannya. Sampai hari itu akhirnya tiba, Soraya kem...
Noterratus
357      238     2     
Short Story
Azalea menemukan seluruh warga sekolahnya membeku di acara pesta. Semua orang tidak bergerak di tempatnya, kecuali satu sosok berwarna hitam di tengah-tengah pesta. Azalea menyimpulkan bahwa sosok itu adalah penyebabnya. Sebelum Azalea terlihat oleh sosok itu, dia lebih dulu ditarik oleh temannya. Krissan adalah orang yang sama seperti Azalea. Mereka sama-sama tidak berada pada pesta itu. Berbeka...
Nina and The Rivanos
8694      1924     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
The Red Eyes
20581      2841     4     
Fantasy
Nicholas Lincoln adalah anak yang lari dari kenyataan. Dia merasa dirinya cacat, dia gagal melindungi orang tuanya, dan dia takut mati. Suatu hari, ia ditugaskan oleh organisasinya, Konfederasi Mata Merah, untuk menyelidiki kasus sebuah perkumpulan misterius yang berkaitan dengan keterlibatan Jessica Raymond sebagai gadis yang harus disadarkan pola pikirnya oleh Nick. Nick dan Ferus Jones, sau...
Rindumu Terbalas, Aisha
485      334     0     
Short Story
Bulan menggantung pada malam yang tak pernah sama. Dihiasi tempelan gemerlap bintang. Harusnya Aisha terus melukis rindu untuk yang dirindunya. Tapi kenapa Aisha terdiam, menutup gerbang kelopak matanya. Air mata Aisha mengerahkan pasukan untuk mendobrak gerbang kelopak mata.
Old day
510      371     3     
Short Story
Ini adalah hari ketika Keenan merindukan seorang Rindu. Dan Rindu tak mampu membalasnya. Rindu hanya terdiam, sementara Keenan tak henti memanggil nama Rindu. Rindu membungkam, sementara Keenan terus memaksa Rindu menjawabnya. Ini bukan kemarin, ini hari baru. Dan ini bukan,Dulu.
the invisible prince
1510      807     7     
Short Story
menjadi manusia memang hal yang paling didambakan bagi setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ? Lantas aku ini disebut apa ?
Today, After Sunshine
1414      579     2     
Romance
Perjalanan ini terlalu sakit untuk dibagi Tidak aku, tidak kamu, tidak siapa pun, tidak akan bisa memahami Baiknya kusimpan saja sendiri Kamu cukup tahu, bahwa aku adalah sosok yang tangguh!