Sebastian datang tepat sesuai janjinya dan merasa curiga dengan kondisi perpustakaan yang tidak seperti biasanya. Lampu-lampu perpus masih menyala, namun Anne tidak terlihat dimanapun. Perasaan tidak enak membayanginya. Pintu itu membuka ketika Sebastian mendekat dan pandangannya terpaku pada foto-foto yang berserakan diatas meja.
"Jaga Anne baik-baik. Dosen itu berbahaya." Peringatan Liam muncul di otaknya dan memicu insting protektifnya. Bas mencari ke sela-sela rak buku sambil meneriakkan nama Anne. Tidak ada.
Bas lari keluar dan menekan buru-buru tombol lift. Jika Anne akan melarikan diri dia pasti akan menggunakan lift. Sial! Lift ini lama sekali. Kesadaran itu menghantam Bas dan ia segera membuka kasar pintu tangga darurat dan disitulah Anne berada, tak sadarkan diri dengan dosen cabul itu sedang berkutat membuka kancing baju terakhir Anne.
Kemarahan membuncah di dada Bas. "BANGSAT!!!" Bas berteriak sambil meloncati beberapa anak tangga sekaligus. Sebelum Dosen itu sempat melarikan diri, Bas sudah berada disampingnya. Ditendangnya dosen yang masih berjongkok itu hingga meringkuk kesakitan. Bas menarik kerah baju dosen itu berdiri, kemudian melancarkan tinjunya bertubi-tubi ke pipi berjanggut dosen itu. Ia tidak sadar kacamata dosen itu terjatuh dan terinjak sepatu Adidasnya. Ia tidak sadar sebuah gigi dosen itu lepas dan terpental ke lantai. Ia baru sadar ketika darah keluar dari hidung dan sudut bibir dosen itu. Bas bisa melepaskannya, atau ia bisa membunuh dosen itu sekarang, saat ini. Bas memilih melepaskannya.
Dosen itu teronggok dilantai semen tak berdaya, nafasnya seperti tersumbat di kerongkongannya dan dia tebatuk-batuk. Sementara Bas berdiri tegap di depannya, terengah-engah berusaha menahan emosinya. "Bangsat kau! Pastikan kau tidak mengajar lagi disini atau aku yang akan memastikan itu!" Bas mendengus kasar.
Bas mulai berjongkok membetulkan kancing baju Anne dengan tangan yang gemetar. Ia sering menyentuh perempuan dimasa ia menjalani kehidupan hedonis, tetapi Anne... ia bahkan takut memikirkan hal itu. Ia sangat berhati-hati jika itu menyangkut tentang Anne. Ia tidak ingin menyakiti Anne.
Setengah jam kemudian Bas sudah bersama Anne dalam Mustang merahnya menuju kediamannya di Jakarta Selatan. Ia tidak bisa mengirim Anne pulang ke asramanya karena itu asrama khusus perempuan. Ia berpikir akan lebih mudah membawa Anne ke hotel terdekat dan membiarkan Anne beristirahat disana, namun Anne mungkin akan berpikir macam-macam mengenai kejadian semalam ketika ia tidak sadar. Jadi Bas memutuskan membawa Anne pulang, toh rumahnya mirip hotel mewah juga.
"Anne, bangun. Anne." Bas mengguncang tubuh Anne esok paginya. Anne membuka mata perlahan dan terkejut. "Tenang, kau aman."
"Bas," mata Anne seakan-akan ingin menceritakan seseuatu pada Bas. Wajah Bas mengkhawatirkan sesuatu, apakah ada yang terjadi padanya? Anne berusaha untuk duduk dan dia meringis kesakitan.
"Anne, kau tidak apa-apa?" Bas menopang punggungnya. Satu tangannya lagi mengatur bantal-bantal dibelakang Anne dan kemudian merebahkan Anne lagi disana.
"Tangan dan kaki kiriku sakit sekali Bas. Aku jatuh dari tangga." Buku-buku jari Bas memutih, ia menyesal tidak mematahkan kaki dosen itu. "Kemudian..." suara Anne menghilang.
"Bas apakah... apakah aku..." air mata Anne turun, suaranya tercekat. Susah payah Anne menelan ganjalan yang menggumpal di tenggorokannya. Ia ingin jawaban walaupun ia takut mendengarnya. "Apakah aku diperkosa?"
Bas tersenyum, lesung pipitnya timbul tenggelam dengan cepat. "Tidak Anne, aku datang tepat pada waktunya." Bas tidak bisa menceritakan pada Anne bahwa dosen itu sudah setengah jalan menelanjanginya. Anne akan hancur berkeping-keping dan Bas yakin Anne akan melarikan diri darinya.
Dengan kelegaan, Anne menangis tersedu-sedu. Ia merasa bodoh sudah jatuh ke perangkap dosen cabul itu. Ia harusnya sudah tau bahwa dosen itu tidak berniat baik ketika ia datang lagi ke perpus dengan foto-fotonya. Bas membiarkann Anne menangis.
"Kau pingsan Anne, aku tidak membawamu ke asrama. Aku membawamu ke rumahku. Kau tenang saja, ayah ibuku hampir tidak pernah tinggal disini. Hanya ada kakakku dan pelayan. Kamarku di sebelah."
Anne menghentikan tangisnya dan mengeringkannya dengan bed cover yang menutupi tubuhnya. Ia baru sadar bahwa ini bukan asramanya, dan kalau ini asramanya Bas tidak akan berada disini, disampingnya. "Bas, aku ingin pulang. Aku belum menelpon orang tuaku kemarin dan mereka pasti khawatir."
Bas tergelak, "kupikir ada sesuatu yang penting kau harus lakukan di asrama." Bas berdiri ke meja kerja di ujung ruangan dan kembali kesamping Anne, "pakailah HP-ku kalau begitu Anne. Aku sudah memanggil tukang urut, sebentar lagi dia kemari."
Bas keluar dan membiarkan Anne mendapat ruang privasi untuk menelpon keluarganya. Bas mengabari Liam dan Dru sesampainya dia ke rumah. Liam dan Dru akan datang menjenguk Anne siang nanti. Hari ini ia memutuskan untuk bolos kuliah.
Teriakan Anne berkumandang di lorong-lorong rumah Bas dan itu terasa menyakitkan hati Bas. Anne sedang diurut, pastinya sakit karena Bas sudah sering diurut karena cidera olah raga.
Lyn berlari-lari kecil dalam balutan gaun tidurnya berwarna emas. Kamarnya berjarak dua kamar dari kamar Bas, ia mencari sumber suara menakutkan itu, "Bas, hewan apa lagi yang kau bawa pulang?"
"Lyn!" Bas bisa minta bantuan Lyn. "Lyn, kau tolong aku ya. Tolong lihat kedalam kondisi Anne. Sekarang, tolonglah!"
Lyn masih bingung dengan maksud adiknya, Bas. Bas mendorong Lyn masuk ke kamar yang ditempati Anne dan sepuluh menit kemudian dia keluar, tertawa. Lyn jarang tertawa. "Lyn ada apa?"
"Dia lucu sekali Bas. Kau tau dia menggeliat-geliat begitu di lantai." Lyn mencontohkan gerakan menggeliat Anne dengan tangannya dan ia tertawa lagi.
"Di lantai?"
"Ya, kata si bibi dia tidak mau kasur kita menjadi kotor karena lotion urutnya." Lyn tertawa. "Dari mana kau dapatkan dia Bas?" Lyn berusaha menelan tawanya.
Bas tertawa lega mendapati Anne tidak apa-apa, kemungkinan Anne belum pernah diurut. "Anak baru di kampus Lyn, FSRD."
"Kenapa kau tidak masuk sendiri, kamukan sudah familiar dengan tubuh perempuan." Lyn menyindir Bas, kakaknya tau kalau dulu ia sering berpesta sebagai pelarian dari absennya keberadaan orang tua mereka. "Yang ini lain ya Bas?"
Bas tergelak, "kau bisa melihatnya?"
"Aku kan psikolog. Apa yang terjadi sampai dia ada disini?" Lyn bertanya dan Bas menceritakan yang sebenarnya pada kakaknya, siapa tau Anne nanti perlu teman berbicara, mungkin kakaknya bisa membantu. Bas bisa memanfaatkan gelar psikolog cum-laude kakaknya. Lyn mengangguk penuh pengertian. "Yang kau lakukan sudah benar Bas, hanya aku khawatir tindakan brutalmu akan sampai ke mom and dad, mereka akan marah."
"Aku tidak peduli. Mom and dad bisa pulang dan menghajarku. Aku terima konsekwensinya." Bas mendengus. Ada kemarahan yang bangkit di dadanya.
"Kau tau mom and dad itu lebih sayang padamu daripada aku tau." Anne meletakkan tangannya di punggung Bas. Mereka berbicara di depan kamar Anne sambil menatap lantai bawah tempat ruang makan dan ruang keluarga berada, dua ruangan yang jarang digunakan mereka. "Mereka sering menelpon menanyakanmu. Kau tidak pernah menjawab telepon mereka sejak SMP."
Bas membuang muka, ia membenci orang tuanya. "Kalau mereka sayang pada kita Lyn, mereka akan berada disini--mengasuh kita, mencium kening kita sebelum tidur, mengurut punggung kita sambil mengatakan semuanya akan baik-baik saja." Bas menggertakkan rahangnya. Ia tidak mengerti jalan pikiran kakaknya. Mereka tumbuh sendiri seperti rumput liar--tidak, bukan--Bas lah yang tumbuh seperti rumput liar, sementara kakaknya tumbuh seperti teratai yang jauh dari lumpur.
Lyn menyentuh Bas, dilihatnya mata adiknya yang berkaca-kaca. Bas mengusir kasar air matanya dengan punggung tangannya. Lyn mengerti Bas berbeda darinya. Bas yang walaupun lelaki, ia adalah pribadi yang rapuh, Bas membutuhkan kasih sayang dan sentuhan yang tidak didapatkan darimanapun semasa kecilnya. Lyn cukup bersyukur Bas tumbuh besar dengan baik, basket benar-benar membantunya mengalihkan perhatiannya dari pergaulan bebas yang menyesatkan dan narkoba. Lyn mendekati Bas dan memeluknya.
"Kau mencintainya? Atau Anne ini mainanmu yang lain?" Pertanyaan Lyn yang memeluknya membuat Bas tertawa di rambut Lyn yang disemir pirang. Mungkin dia juga perlu psikolog untuk mendefinisikan perasaannya terhadap Anne.
Bas menatap Lyn serius. "Aku tidak tau... mungkin. Perasaanku terhadap gadis ini berbeda dari yang lain Lyn. Aku menghormatinya."
"Yah, kalau begitu selamat! Kau sudah jatuh cinta." Lyn tergelak.
"Ah~ kau Lyn, seperti orang yang tau cinta itu apa. Kau bahkan belum punya pacar." Lyn cemberut mendengar sindiran bas. Giliran Bas yang tertawa.
Liam dan Dru terlihat masuk ke ruang keluarga. Bas memanggil mereka dari lantai mezanin tempat kamar-kamar berada. "Lyn aku turun dulu ya. Aku titip Anne padamu." Bas meninggalkan Lyn.
@deborahana hugs... terima kasih Deb
Comment on chapter 21. Semester Baru Bersama Anne