(Maret, 2016)
Kemarin aku pergi ke toko buku hanya untuk membeli salah satu buku yang sedari dulu kau dambakan dan belum sempat kau beli karena banyaknya hal yang lebih penting untuk dibeli.
Sebuah karya yang bercerita tentang betapa banyaknya polemik yang selalu kita temui dalam menjalani hidup, entah soal agama atau politik yang merajalela.
Kau yang selalu peduli dengan apa saja progress yang sedang terjadi di negeri kita ini, dan aku yang masa bodo dalam menjalani hidup selalu merasa senang ketika kau ingin berbagi tentang pengetahuanmu yang terlalu sulit ku pahami, dan terlalu berat untukku cerna. Apakah saat kau bersama dia juga akan begitu ? Ataukah dia yang sekarang mendampingimu sama-sama menyukai hal yang seperti itu ? Aku bisa tebak bahwa itu tidak, karena kau sekarang malah mengajakku untuk berdiskusi tentang karya itu yang langsung kuperlihatkan padamu saat setelah aku membeli itu dan aku yang lebih tertarik pada dirimu yang sangat bersemangat untuk meminjam karya itu yang padahal memang aku sengaja ingin memberikannya untukmu.
Kuharap kau tidak menjadi orang lain saat bersama dia, karena berusaha menjadi yang bukan dirimu sendiri itu lebih tidak menyenangkan dibanding aku yang harus rela melihat kamu yang bersandiwara memasang topeng didepannya. Dirimu yang sekarang didepanku ini yang tenggelam dalam serunya alur didalam sebuah karya novel membuat aku tak bisa berpaling melihat indahnya kota Bandung dikala senja dibawah rindangnya pepohonan dan ramainya taman seakan sunyi kala aku melihat damaimu bersama duniamu. Tak merasa canggung yang hanya nyaman kudapati ketika berada disisimu yang kemudian terganggu oleh suara telepon genggammu menandakan bahwa telah harus berakhir kebersamaan kita disenja yang semakin gelap ini karena kau harus segera berbagi waktu untuk menemui dia disuatu tempat yang sudah kalian sepakati sebelum engkau menemui aku yang sangat menunggumu setelah sekian lamanya.
Aku yang tak ingin pulang ketika kau menawarkan untuk mengantar, duduk terdiam menatap novel yang teronggok bisu ditanganku yang entah harus kuapakan dan belum sempat kuberikan padamu karena kau yang terburu-buru tak sabar menemuinya. Lama aku terdiam, tak sadar bahwa langit telah menggelap segera aku berdiri lalu melangkahkan kaki dengan berat untuk kembali kerumah dan kembali kemalam sebelumnya yang selalu dihiasi dengan "Kau sedang apa dengannya ?" atau "Apa kau masih bahagia dengannya ?' dan berakhir dengan "Semoga kau tak berpura-pura didepannya," karena aku tahu bahwa kekasihmu itu selalu banyak pinta padamu yang kadang kau sendiri kewalahan melayani kekasihmu yang posesif itu.
Kadang aku ingin tak peduli padamu, tapi apa daya aku tak bisa begitu, yang kemudian aku selalu ingin memarahimu seperti dulu dengan kekasihmu sebelum-sebelumnya kau mau diperbudak oleh kekasihmu itu. Aku malah yang tak terima selalu ikut campur yang bodohnya aku malah ikut campur urusanmu, namun kau tak pernah keberatan karena kau juga sadar bahwa aku begitu adalah karena menyayangimu yang selalu kau anggap sebagai rasa sayang kepada sahabatnya padahal bukan. Aku selalu menasihatimu bukan ? Bukannya aku begitu terlalu protektif tapi aku lebih suka kau yang leluasa dalam menjalani hubungan dan bukannya seperti menjadi tahanan dalam penjara. Coba kau pikirkan lagi, yang membuatmu bahagia apa seperti ini ? Yang selalu kau ceritakan padaku keluh kesahmu karena lelah dengannya yang harus selalu membuat dia bahagia dan bukannya bahagia bersama.
***
Aku tahu kau dari luar dan dalam dirimu.
Yang selalu ingin membuat orang lain bahagia ketika kau tak merasa bahagia.
Aku tahu kau dari tingkahmu yang selalu aku pantau.
Yang tak pernah lelah dalam menjalani skenario hidup.
Tapi ternyata aku tak tahu.
Kalau kau kuat dalam bersandiwara didepannya.
Yang aku tahu kau selalu apa adanya didepanku.
Bukan menjadi yang terbaik tetapi menjadi yang lebih baik saat kau bersamaku.
Maka aku harap kau bisa bersikap seperti kau sendiri didepannya.
***