Malam ini adalah malam yang paling dinanti olah para penduduk sekitar, kaum remaja khususnya. Tiga tahun sekali, sebuah acara yang bebas dimasuki oleh siapa saja dilaksanakan di tempat yang disetujui seperti tanah lapang atau rumah bangsawan terpilih. Pesta dansa tepatnya. Malam ini pesta dansa akan dilaksanakan di kediaman keluarga Havisham. Tentu saja semua orang ingin menunjukan penampilan terbaik mereka, tak terkecuali Halona.
Suara gaduh terdengar di dalam rumah sempit itu. Di dalam kamar, seorang anak muda membongkar lemarinya untuk menemukan baju yang pantas dikenakan dihari itu, sia-sia. Dia tidak mempunyai satu lembar pun pakaian yang cocok dikenakan nanti malam. Ingin menyewa? Tidak punya uang, apalagi menjahit.
Halona berjalan keluar kamar, “Ibu!” teriak Halona.
Ibunya datang tergopoh-gopoh “Ada apa nak?” sang Ibu bertanya lembut. Dia melihat gurat kekesalan pada raut wajah anak satu-satunya itu.
“Bagaimana aku akan pergi ke pesta, Ibu?aku tidak punya gaun!” Halona kesal. Kenapa dia harus terlahir dari keluarga serba kekurangan seperti ini.
“Halona, kau bisa memakai gaun yang ibu jahitkan tahun kemarin dan lagipula kau tau kita tidak punya uang untuk membeli gaun baru, nak.” ucap sang Ibu.
Halona berdecak kesal, “Gaun itu sudah sangat kuno! ” ucap sang anak marah. “Aku tahu Ibu punya uang! Jangan berbohong lagi padaku!”
“Bukan begitu, Halona…”
“Aku ingin gaun baru!”
“Aku ingin perhiasan!”
“Aku ingin seperti mereka, Ibu!”
“Halona, kau tau kita tidak bisa…”
“Ya! Ibu selalu mengatakan itu! Ini kesempatanku untuk berjumpa dengan para bangsawan, dan Ibu mengacaukannya!” teriak Halona kepada Ibunya sambil terengah-engah.
"Aku hanya ingin tampil bagus nanti malam Ibu! Aku malu! aku malu menjadi miskin. Aku tidak ingin dipandang rendah pada hari yang kutunggu-tunggu Ibu!” setitik air mata meluncur di pipi Halona.
Setelah beberapa saat, kemarahan Halona memuncak kembali. “Dimana Ibu sembunyikan uang itu hah?! Ibu pasti menyembunyikannya!”
“Tentu saja tidak nak, Ibu sangat menyayangimu,” jawab sang Ibu dengan mata menahan tangis.
“Terus saja berbohong padaku Ibu! aku melihat Ibu menghitung uang, dua hari yang lalu.”
“Uang apa yang kau bicarakan, Halona. Ibu tidak mengerti.” Jawab sang ibu dengan mata berkaca-kaca.
“Ibu pura-pura bodoh ya?! Dimana ibu sembunyikan uang itu hah?! Dimana?!” teriak Halona.
“Sudahlah, tidak usah dijawab, kucari sendiri saja uangnya.” ujar Halona seraya berlari menuju kamar Ibunya. dia memeriksa laci-laci,kolong tempat tidur dan lemari. Pada saat mengacak-acak pakaian Ibunya, dia menemukan dompet lusuh berwarna merah jambu, dia membuka dompet lusuh itu dan- terlihatlah uang dalam jumlah cukup besar. ‘Tentu saja Ibu berbohong.’ batin Halona.
“Kembalikan dompet itu pada tempatnya Halona, Ibu mohon. Uang itu untuk membayar hutang kita nak, bahkan itu belum sampai setengahnya.” Ucap sang Ibu memohon dan berusaha melunakkan hati anak semata wayangnya.
“Tidak akan kukembalikan! Aku tidak perduli dengan hutang kita!” dengan itu Halona berlari keluar rumah dan tidak memperdulikan teriakan Ibunya yang menyuruhnya mengembalikan uang itu. Sekarang yang ada di pikiran Halona hanya satu, pergi ke rumah mode dan membeli gaun yang bagus.
***
Halona mematut dirinya di cermin rumah mode. Dia terlihat sangat cantik mengenakan gaun berwarna merah darah dengan sedikit taburan bunga dibagian pinggang dan bawahnya. “Pasti mereka akan terkagum-kagum denganku nanti. Lihat saja.” gumam Halona penuh percaya diri.
***
Musik terdengar di setiap penjuru ruangan, para pelayan sibuk menawarkan minuman. sebagian besar orang disana berbincang-bincang. Mata Halona sibuk mencari teman-temannya yang juga datang ke pesta ini. Halona menemukan mereka sedang berbincang dengan seseorang di sisi sudut ruangan sebelah kiri.
“Hai Amber, Mia, Sophie.” sapa Halona saat tiba di tempat teman-temannya berkumpul.
“Halona! Hai! Kau terlihat fantastis dengan gaun itu,” seru Sophie yang diangguki oleh Amber dan Mia.
“Dengan siapa kalian berbicara tadi?” tanya Halona basa-basi.
“itu tadi tetanggaku, Grace.” jawab Amber singkat.
“Hei, lihat siapa yang datang,” ucap suara yang tiba-tiba muncul.
“Apa masalahmu, Valentine?” Halona menatap Valentine tajam.
“Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa kau membeli gaun sebagus itu? Jangan-jangan kau mencuri? Kuperingatkan Halona, mencuri itu tidak baik, lho.” Ucap Valentine mencemooh.
Melihat temannya yang sudah naik darah, cepat-cepat Mia berkata “Sudahlah Valentine, jangan suka mencari masalah.”
“Ayo, kita cari tempat lain saja.” Ucap Amber sambil menarik tangan Halona pergi dari sana yang langsung diikuti oleh Mia dan Sophie.
Yang tadi itu Valentine, musuh Halona. Pertengkaran mereka diawali dengan pria yang disukai Valentine adalah pria yang disukai oleh Halona juga, pada saat itu. Sejak saat itu mereka mulai bertengkar mengenai masalah kecil, seperti tak sengaja menyenggol bahu satu sama lain, memperebutkan tempat duduk, dan masih banyak lagi.
“Seharusnya kau tidak mudah terpancing olehnya Halona.” ucap Sophie memberi nasihat.
“Tapi dia sangat menyebalkan!” ujar Halona dengan mata berkilat marah.
“Hey, dengarkan musiknya.” Ujar Amber.
Musik yang mulanya hanya instrumen-instrumen lembut, berubah menjadi instrumen salah satu lagu romantis sepanjang masa. Para pria mulai mencari-cari pasangan untuk berdansa. Seorang pemuda mengulurkan tangan kepada Sophie yang langsung Sophie dengan senang hati.
Seorang pria tinggi dan gagah berjalan ke arah Halona dan mengulurkan tangannya kepada Halona. “Buatlah pria ini senang dengan menerima uluran tangannya, nona.” Halona hanya tertawa kecil dan menerima uluran tangan pria itu.
Dansa pertama selesai. Pria tadi bernama Ashton. Dansa pertama Halona tidak terlalu mengesankan, hanya diisi dengan obrolan ringan tentang orang tua, warna kesukaan, dan sepertinya Ashton tidak terlalu pandai membuat percakapan yang menarik. Obrolan Halona dan Ashton sepanjang dansa tadi bisa dibilang membosankan.
Mata Halona mencari-cari keberadaan Albert- bangsawan yang terkenal baik hati, dermawan serta idaman wanita. Itu dia! Albert ada di bagian sudut kanan ruangan. Albert juga salah satu alasan Halona berada di pesta ini dan ingin tampil menarik. Halona sudah lama menaruh hati kepada Albert, inilah saat yang tepat. Dengan cepat dan tanpa pamit kepada teman-temannya, Halona menghampiri Albert yang beruntungnya sedang sendiri. “Bukankah saya cukup pantas untuk menemani anda berdansa Yang Mulia?” tanya Halona sambil tersenyum semanis mungkin.
“Tentu saja,” jawab Albert sambil tersenyum sopan dan mengulurkan tangan yang dengan senang hati langsung disambut oleh Halona.
Sejak awal berdansa sampai selesai, Halona memperhatikan Albert. mata albert jelalatan seperti mencari-cari seseorang . “Siapakah yang anda cari Yang Mulia, jika saya boleh bertanya.” tanya Halona sesopan mungkin.
Alih-alih menjawab pertanyaan Halona, Albert justru tersenyum-tidak, bukan pada Halona. Halona mengikuti arah pandang Albert dan menemukan Albert tersenyum pada seorang wanita yang mengenakan gaun sederhana berwarna biru di sudut ruangan. ‘Wanita itu bahkan tidak lebih cantik dariku.’ pikir Halona.
“Maafkan saya nona, tapi saya harus undur diri,” ucap Albert menatap Halona dengan penuh permohonan maaf.
Halona menahan lengan Albert. “Anda ingin kemana Yang Mulia kalau saya diizinkan bertanya?”
“Saya ingin bertemu kawan lama.” Jawab Albert sekenannya.
“Apa yang anda maksud wanita bergaun biru yang sangat sederhana itu Yang Mulia? Atau barangkali saya salah memperhatikan? Ya mungkin saya salah memperhatikan. Mana mungkin anda berteman dengan yang seperti itu, bukan Yang Mulia? Bahkan dia tidak lebih cantik dari saya.” ucap Halona sombong seolah dia adalah bangsawan.
“Nona, anda salah. wanita yang anda remehkan itulah justru wanita tercantik yang pernah saya lihat, Dan saya tidak suka melihat sahabat baik saya diremehkan orang.” Albert menatap Halona datar. “Lagipula, Saya tidak perduli dengan kasta ataupun rupa. “Sesungguhnya yang saya lihat hanyalah hatinya.” sambung Albert sambil tersenyum sopan dan meninggalkan Halona yang termenung menyadari kata-kata Albert yang menusuknya tepat di hati.