Sudah hampir pukul lima sore dan aku masih menunggu angkutan untuk pulang. Semoga nanti aku sampai rumah sebelum adzan maghrib berbunyi. Sebenarnya, jarak rumah dan sekolahku tak terlalu jauh. Tapi, akan terasa jauh bila kita naik angkutan umum. Kenapa, karena kita harus melewati rute - rute yang tlah ditetapkan oleh para sopir angkutan tersebut. Belum lagi, bila macet, sudah pasti akan terasa lebih lama lagi.
Dan sekarang aku hanya bisa berharap, semoga nanti jalanan tidak macet parah. Semoga. Entah yang lain bagaimana, Nita, Sarah, dan Juli. Yang sudah lebih dulu pulang karena angkutan yang menuju kedaerah mereka tadi tiba lebih dulu. Apakah mereka sudah sampai rumah masing - masing atau masih dijalan? Atau sedang terjebak macetnya Jakarta.
Aku menatap langit, yang masih tampak mendung. Tanpa sadar menghela nafas kecil. Lalu kembali teringat dengan sosok Aris dan kata - katanya tadi. Membuatku tersenyum sendiri.
"Jadi namanya Aris." kataku lirih. Masih sambil tersenyum, geli menertawai takdir yang tak terduga. Berhari - hari yang lalu aku dibuat penasaran oleh sosoknya, berhari - hari yang lalu aku dibuat gelisah oleh sosoknya, dan berhari - hari yang lalu aku dibuat kelimpungan untuk mencari tahu siapa sosoknya. Ternyata dia cukup dekat.
"Ahh, aku seperti dipermainkan oleh takdir." kembali ku berkata. Lirih.
"Takdir memang sering kali seperti itu." kata seseorang tiba - tiba dibelakangku. Membuatku langsung menoleh. Dan betapa terkejutnya aku begitu sosok Aris tlah berdiri dibelangkangku.
"Dari kapan berdiri disitu?" tanyaku. Tak dapat membendung rasa kagetku.
"Baru beberapa detik yang lalu." jawabnya santai. Sambil berjalan pelan menjajari tubuhku. "Belum pulang?" tanyanya. Dan aku hanya membalasnya dengan gelengan kepala saja. Tak sanggup berkata - kata karena aku sibuk mengontrol jantungku yang kembali berdegup kencang. Sibuk menerka - nerka apakah tadi Aris mendengar ucapanku atau tidak.
Dalam hati, aku mengutuki diriku sendiri. Kenapa tadi bisa berbicara seperti itu. Tanpa toleh kiri toleh kanan dulu. Memastikan keadaan sekitar dulu. Ahh, bodohnya aku.
Tapi, tadi seinggatku halte ini sepi. Hanya ada aku, Nita, Sarah, dan Juli. Sebelum ketiga gadis itu pergi. Sedang Aris, tadi ia pamit pergi lebih dulu. Kenapa sekarang ada disini?
"jadi ini maksudmu dipermainkan takdir, karena angkotmu tak kunjung datang?" tanyanya lagi. Kali ini sukses membuatku melongo.
Dia mendengarnya. Sampai mana dia mendengarnya?
Aku masih membisu ketika Aris dengan tiba - tiba menoleh kearahku. Dan tanpa sengaja kedua mata kami bertemu. Saat itulah, kembali aku terhanyut kedalam mata cokelatnya yang indah. Membuatku lupa akan pertanyaannya.
"Bukan ya?" tanyanya lagi. Menyeretku kembali dalam dunia nyata.
Aku menggeleng cepat. "Bukan." jawabku menutupi kegugupanku.
"Lalu?" Aris masih bertanya. Penasarankah dia? "Apa ingin hujan kembali turun seperti waktu itu?" Lanjutnya. Membuatku langsung menoleh menatap laki - laki tersebut.
Dia juga ingat saat itu.
"Hujan tidak masuk dalam hal yang kusukai." jawabku. Dan Aris hanya mengangguk mengiyakan.
"Makanya dulu kau lari menghindar." katanya. Tatapannya kini menerawang jauh menatap langit.
"Tak ada manusia yang suka saat hujan turun, bukan?" kataku meminta persetujuan.
"Tapi bumi dengan lapang dada menerimanya, karena hujan juga sebagian dari hidup." sanggah Aris cepat. Dan aku hanya bisa diam, tak bisa membalas perkataan Aris barusan. Dalam hati kembali ku mengangguk menyetujui perkataan Aris barusan. Sekarang yang terlintas dibenakku hanya serangkaian percakapan dengan Sarah tadi. Tentang Aris.
Laki - laki bernama lengkap Aristya Pramono. Yang dulu satu SMP dengan Sarah. Yang katanya jago bermain kata. Dan benar, aku mengakuinya. Terbukti sudah dua kali ini, tanpa sepengetahuannya, aku menyetujui apa yang laki - laki ini utarakan.
"Ahh, angkot ku sudah datang." kataku tiba - tiba ketika melihat mobil berwarna hijau tua tampak melaju menuju halte tempatku dan Aris menunggu. "Aku pulang dulu." lanjutku lagi.
Ku lihat Aris hanya mengangguk mengiyakan.
"Oh, ya, hampir lupa lagi. Terima kasih untuk payungnya waktu itu. Dan maaf langsung pergi tanpa mengucapkan terima kasih terlebih dahulu." kataku. Akhirnya terucap juga. Melepas satu beban dalam hati.
"Oh, iya. Tak Apa."