Sudah satu minggu ini aku belum bertemu kembali dengan seseorang itu. Dan satu minggu ini pula rasa penasaranku tak kunjung surut. Malah semakin membuncah menggebu - gebu. Tlah ku coba tuk mencari tapi hasilnya nihil. Aku tak menemukan keberadaan laki - laki tersebut.
Sebenarnya, aku ingin sekali bertanya kepada ketiga gadis cerewet yang duduk disekitarku, tapi aku malu. Karena selama ini, selama aku duduk ditempat ini, aku belum pernah menyapa mereka. Bahkan jarang berbicara dengan mereka. Hanya mengangguk atau menggeleng bila gadis yang duduk disebelahku bertanya.
Namanya Nita, gadis yang cukup cerewet. Yang selalu tak pernah kehabisan topik untuk bahan gosip mereka. Nita duduk disebelahku. Yang kadang sesekali memyempatkan bertanya padaku ketika dia asyik mengobrol dengan dua gadis dibelakangnya. Sarah dan Juli. Yang kelakuannya juga tak beda jauh dengan Nita. Sama - sama cerewetnya.
Sebenarnya, sudah dari beberapa hari yang lalu aku ingin bertanya pada mereka. Kenalkah mereka pada laki - laki itu? Tapi, aku masih ragu. Maju mundur untuk bertanya. Sampai tak terasa, bel pulang kembali berbunyi. Kembali menyurutkan niatku.
Aku bergegas memberesi buku - buku ku. Dan bergegas beranjak dari dudukku. Berjalan keluar kelas tanpa pamit meninggalkan semua penghuni kelas yang masih beberes. Dan langkahku terhenti, ketika kulihat rintik - rintik air tlah menetes dari langit. Tanpa sadar aku menghela nafas.
Hujan lagi, batinku.
Tapi, untung kali ini aku tak lupa membawa payung. Payung lipat yang bisa kumasukkan kedalam ranselku. Saat hendak membuka payung tersebut, tiba - tiba saja ada yang menepuk pundakku dari belakang. Membuatku langsung berbalik. Dan dengan sedikit kaget, ku lihat Nita tlah berdiri dibelakangku. Dengan senyum lebarnya khas iklan pasta gigi ditelevisi.
"Ada apa?" tanyaku. Kepada gadis cerewet didepanku ini.
"Pulang nanti saja, ayo ikut kami dulu." katanya sambil mengapit lenganku. Dan menyeretku untuk mengikutinya.
"Eh, kemana?" tanyaku bingung.
"Nongkrong bareng anak - anak yang lain." jawabnya masih sambil menarik lenganku. Berjalan ke arah Sarah da Juli yang ternyata sedang menunggu kami.
"Tapi, aku enggak bisa." kataku berusaha menolak.
"Sambil nunggu hujan reda, ayo!" kata Nita tak bisa ditolak. Membuatku hanya pasrah. Apalagi ketika melihat senyum lebar dari Sarah dan Juli saat menyambut kami. Membuatku tak bisa berkata - kata.
"Yey, akhirnya Tari ikut ngumpul juga." kata Sarah sambil merangkul lenganku yang satu. "Pulang sore kamu enggak dimarahin kan?" tanyanya lagi.
"Memang kita mau kemana?" tanya ku masih bingung.
"Sekali - kali nongkrong bareng kita, diwarung depan sana." Sarah menjelaskan. Yang dibarengi dengan anggukan kepala Juli dan Nita. "Tapi bentar, masih nunggu satu orang lagi." Sarah melanjutkan.
"Nunggu siapa?" tanyaku.
"Aris." jawab Sarah. Yang hanya ku balas dengan anggukan saja. Karena aku tak mengenal siapa Aris yang Sarah maksud. Mungkin teman Sarah dari kelas lain.
"Kamu enggak dimarahi kan kalau nanti pulang sedikit sorean?" ulang Sarah lagi.
"Nanti pulang jam berapa?" tanyaku.
Sebenarnya, kedua orang tua ku tak akan marah bila aku pulang sebelum adzan berkumandang. Tapi ada rasa canggung bila ku ikut dengan mereka. Ingin ku tolak ajakan ketiga gadis yang berdiri didepanku ini, tapi takut mereka tersinggung. Aku harus bagaimana?
"Sebenarnya, aku ada acara." kataku akhirnya. beralasan. "Aku harus pulang cepat."
"Acara apa? Ayolah sekali - kali ikut ngumpul kita. Ya, ya, ya. ." bujuk Sarah. Kini, aku semakin tak enak. Otakku semakin berputar mencari berbagai alasan yang pas untuk menolak mereka.
"Tapi. . ."
"Ayolah, Tar. Nanti kita yang akan bicara pada kedua orang tuamu. Bilang saja ada tugas gitu." giliran Juli yang bersuara. Membuatku semakin tersudut. Bingung harus bagaimana.
Diam - diam aku menghela nafas pelan sebelum mengangguk mengiyakan.
"Yeii, gitu dong. Nanti kalau kedua orang tuamu marah, bilang saja. Besok kami akan kerumahmu untuk bilang." kata Sarah meyakinkan. Dan aku hanya bisa mengangguk.
"Bilang apa?" tanya seseorang. Membuat kami semua menoleh ke arahnya.
Dan begitu mataku melihat sosok itu, seketika seakan waktu berhenti. Membuat jantungku kembali berdegup kencang.
Dia. .
"Lama banget sih, Ris!" Sarah memprotes.
"Belum ada satu jam kan kalian nunggu?" Laki - laki itu tak menjawab pertanyaan dari Sarah. Malah melontarkan pertanyaan lain.
"Udah enggak usah debat. Yuk, buruan cuss!" Juli menengahi. Membuat laki - laki bernama Aris itu melangkah lebih dulu mendahului kami.
Dan tahukah kalian, bagaimana keadaan jantungku ketika laki - laki itu melewatiku? Semakin berdegup kencang. Ya, Tuhan, semoga dia tak mengingatku. Aku malu.
"Tunggu!" Aris tiba - tiba saja berbalik dan menatapku. Iya, menatapku.
"Dia siapa?" tanyanya.
"Tari. Yang kemarin kami ceritakan." jawab Nita, yang hanya dibalas anggukan dari Aris.
"Tari kami bujuk buat nongkrong sama kita. Sekali - kali sambil nunggu hujan reda." lanjut Nita lagi.
"Buat apa nunggu hujan reda. Membosankan, karena kita tak tahu kapan akan berhentinya. Akan lebih baik kita menikmatinya, sambil membiarkan waktu berlalu. Akan lebih menyenangkan." katanya tiba - tiba. Yang anehnya, dalam hati aku langsung mengangguk setuju.
Ya, lebih baik menikmati hujan turun, akan lebih menyenangkan. Apalagi, bersama dengan seseorang yang istimewa. Malah akan lebih terkenang.
Dan mulai detik ini, aku benar - benar sadar, bahwa aku benar - benar tlah terpesona oleh laki - laki ini.