Berhati-hatilah dengan segala pemikiran gelap di dalam kepalamu.
Hari ini, aku menghadiri acara pemakaman kakekku tersayang. Kakek tua renta yang sekalipun masih merokok, beliau terlihat seperti kembali menjadi bayi yang baru pertama kali merasakan udara bumi, tersenyum bahagia pada siapa pun.
Hanya saja ada sebuah rahasia. Dan akan kutulis di atas catatan harianku.
Apa yang menyebabkan kakekku meninggal bukanlah kanker paru-parunya. Ibarat sebuah cerita fiksi yang tidak bisa ditebak alurnya, kakekku meninggal karena ada seorang rentenir keparat yang sok memberi pelajaran pada beliau. Pria psikopat itu menculik kakekku, membawanya ke sebuah muara di dekat rumahnya dan kemudian ... tentu saja, menenggelamkannya. Berjam-jam polisi mencari, akhirnya beliau ditemukan sudah tewas. Mengapung di permukaan danau.
Aku, sebagai cucu laki-laki kesayangannya hanya bisa memanjatkan doa agar beliau diterima di sisi-Nya. Karena begini, kalau diingat-ingat, baru saja sekitar sebulan yang lalu, ada beban lain yang harus kakekku pikul.
Tak sengaja ketika beliau sedang mengemudikan truk, beliau menabrak seorang pengendara motor yang dengan sembrono menyeberang jalan. Ya, sampai meninggal dunia, bahkan kepalanya tergilas ban truk hingga pecah berkeping-keping, memuntahkan seluruh isinya yang lunak dan menjijikkan.
Dapat kubayangkan betapa frustrasinya kakek pada malam itu. Ketakutan memberangus tubuh ringkihnya. Bayangan-bayangan menakutkan menghadapi pengadilan dan kemungkinan tidak selamat dari jeruji penjara berpusar di benaknya. Itu pasti alasan yang menyebabkannya kabur. Berhari-hari setelahnya beliau mengurung diri di kamar, bahkan tidak mengizinkan istrinya masuk.
Rupanya, pria yang malam itu kakek tabrak adalah seorang perampok. Ia menjarah sebuah keluarga kelas atas dan meninggalkan satu korban anak perempuan berusia enam tahun. Anak perempuan yang katanya menjadi saksi pertama pada tengah malam, yang diduga hendak membuang air kecil. Ia menjerit kencang mendapati kehadiran orang-orang asing. Dan si pria ini, pria yang kakek tabrak, adalah pemegang handgun yang meletuskan peluru pada dada anak perempuan itu.
Lagi-lagi, kubayangkan betapa hancur perasaan keluarga tersebut. Anak bungsu sepasang suami istri di keluarga itu harus menjadi korban di usia sangat muda. Saudara-saudaranya terpukul oleh kejadian yang tidak bisa diterima oleh mereka. Apa pun itu, mereka pasti berdoa untuk sang kecil bungsu agar dapat tiba di surga, bermain bersama para bidadari dan bidadara, menjadi anak yang paling bahagia.
Kemudian ... berharap agar perampok tersebut mendapatkan balasan setimpal.
Itu doa mereka—anggap saja begitu. Karena pada malam-malam berikutnya, doa mereka terkabul. Secara tidak langsung kakekku berperan sebagai sang pencabut nyawa. Bagus kalau begitu? Tidak juga. Kuharap malam itu yang melakukannya bukanlah kakekku.
Sang perampok memiliki keluarga, seorang istri dan seorang anak. Mengetahui suami sang istri, juga ayah sang anak, meninggal karena ditabrak lari, serangan mental yang mereka alami pasti cukup parah. Apa saja yang mereka pikirkan saat itu? Semoga sang perampok berbahagia di akhirat? Menyusul si perempuan kecil yang sedang bermain di surga?
Kemudian, mereka juga berharap sang pembunuh—yaitu kakekku—mendapatkan hal yang setimpal.
Ini hanyalah buah pemikiran .... Mungkin saja memang begitu sistemnya, atau mungkin tidak juga.
Yang jelas, aku menginginkan keluarga korban perampok, juga keluarga perampok tersebut mati. Jika memang sebabnya adalah doa mereka, maka mereka adalah pembunuh kakekku yang sebenarnya, bukan?