Suhu yang mencapai 3 derajat celcius membuatku meringkuk kedinginan dengan memeluk lututku di depan perapian yang merupakan satu-satunya sumber cahaya di sini.
Ini sudah berjalan setahun sejak makhluk itu menerorku. Makhluk menjijikkan yang terus menerus mengikutiku kemanapun aku pergi.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, makhluk itu sangatlah menggangguku. Ia selalu membisikkan hal jahat kepadaku, menyuruhku untuk melakukan hal-hal yang kejam; memperkosa, membunuh, mencuri, dan masih banyak lagi.
Parahnya lagi, ia mengancam bahwa ia akan terus menerorku seumur hidup jika aku tidak menuruti keinginannya.
Ha. Itu semua omong kosong. Buktinya saja aku sudah melakukan semua yang ia perintahkan tetapi makhluk menjijikkan itu masih menerorku.
Sekarang aku hanya bisa melarikan diri dan bersembunyi agar tidak tertangkap oleh polisi yang mengejarku karena banyaknya kasus pembunuhan yang kulakukan. Argh! Aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku perbuat dengan tubuh seorang anak laki-laki di sampingku ini. Ususnya yang terburai keluar dari perutnya membuatku muak, tetapi aku tidak sanggup memindahkannya—tidak dengan wajah membiru yang membuatku kasihan itu.
Tidak terhitung lagi jumlah korban pembunuhanku ini, atau lebih tepatnya aku tidak sanggup lagi menghitungnya. Sungguh, bukan aku yang menginginkan ini semua, tetapi makhluk itu.
Aku menangis di depan perapian—menyesal terhadap semua yang sudah kulakukan—dan direspon oleh suara letupan kayu dari bara api tersebut. Aku tidak sanggup lagi, aku ingin mengakhiri semua ini. Aku ingin menghilangkan makhluk lembek menjijikkan itu dari hidupku. Aku ingin membunuhnya.
Aku pun mengambil kapak yang tergeletak di samping mayat anak laki-laki itu. Aku memotong kaki mayat tersebut untuk menguji ketajaman kapak itu—untuk tahu apakah pisau itu bisa membunuh makhluk laknat itu. Setelah merasa cukup dengan memotong betis mayat itu menjadi empat, aku bangkit menuju kamar mandi.
Di depan cermin, aku dapat melihat diriku yang kewalahan—lelah dengan semua ini. Aku mulai mengangkat kapak setinggi mungkin dan menancapkannya tepat di kepala. Aku mencabut lalu menancapkannya berulang kali tepat di tempurung kepalaku. Darah muncrat dan merembes setiap kali ujung kapak mengenai kepalaku.
Sampai akhirnya makhluk itu terlihat. Wujud yang menjijikkan dengan darah yang menutupinya itu membuatku naik pitam. Maka dengan sekuat tenaga aku menghantam makhluk itu dengan kapak untuk terakhir kalinya.
Aku dapat melihat diriku tersenyum bahagia di cermin sebelum aku terjatuh ke lantai dengan darah yang masih mengalir deras di kepalaku, dan seketika semuanya menjadi gelap.
Ya, makhluk itu sudah mati.